Ibu Bunuh Diri Bersama Balita, Negara Gagal Menjamin Rasa Aman


Oleh Maya Dhita E.P., S.T.
Pegiat Literasi


Tidak akan tega seorang ibu membunuh anaknya sendiri. Namun lain halnya jika keadaan menuntutnya melakukan hal itu. Sungguh tragis peristiwa yang terjadi di Desa Tanjungsari, Kecamatan Karangrejo, Tulungagung, Jawa Timur. Seorang ibu dan balitanya ditemukan dalam kondisi terbujur kaku tak bernyawa setelah menenggak racun tikus. Diduga penyebabnya karena depresi setelah bercerai dengan suaminya dan masalah ekonomi karena tidak ada pekerjaan.

Fenomena bunuh diri memang menjadi masalah serius di negara-negara berkembang. Bahkan menjadi penyebab kematian terbesar kedua pada rentang umur 15-29 tahun di Indonesia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), setiap 40 detik ada satu orang meninggal karena bunuh diri. Hal ini setara dengan 800.000 kasus meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Sedangkan data kepolisian di Indonesia pada tahun 2020 dilaporkan terdapat 671 kasus kematian akibat bunuh diri. Sumber data lain yaitu dari Potensi Desa (Podes) Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, terdapat 5.787 korban bunuh diri maupun percobaan bunuh diri. (www.pusdatin.kemkes.go.id)

Tingginya angka bunuh diri ini tak lepas dari sistem kehidupan sekuler (pemisahan antara agama dan kehidupan) di negeri ini. Tentu saja akan sangat memengaruhi kondisi masyarakat, khususnya umat muslim. Tidak hanya melemahkan keimanan, tetapi menjauhkan muslim dari aturan Islam. Menjauhkan tata nilai kehidupan dari fitrah manusia sebagai makhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada penciptaNya. Sehingga manusia cenderung berpikiran sempit, terbatas, lemah karena tidak memiliki pegangan hidup yang kuat. Mereka akan mengambil jalan pintas, cara paling cepat untuk terlepas dari permasalahan hidup yang sedang mereka hadapi (versi mereka) dengan jalan bunuh diri. Semua ini terjadi karena masyarakat tidak memahami standar benar dalam kehidupan. Standar yang berasal dari sang pencipta yaitu, halal haram.

Pergeseran tata nilai kehidupan di mana standar halal haram tidak digunakan, mendorong masyarakat berperilaku secara bebas (sesuka hati) atau liberal (lahir dari paham sekulerisme). Mereka akan bertindak berdasarkan akal dan kata hati yang bersumber dari hawa nafsu semata. Ketidakmampuan memahami hakikat kehidupan menjadikan solusi yang diambil malah semakin memperkeruh masalah.

Hal ini diperparah dengan tidak adanya kepedulian dari masyarakat di sekitarnya. Sifat cuek dan hanya memikirkan urusan sendiri dari orang-orang terdekat menjadikan seseorang yang sedang tidak baik-baik saja mentalnya semakin terpuruk dan merasa tidak ada gunanya lagi hidup. 

Sementara negara yang seharusnya berkewajiban mengurus rakyatnya tidak mampu mengambil perannya. Negara hanya sibuk membuat regulasi yang sejalan dengan kepentingannya. Negara gagal dalam membentuk masyarakat yang berkepribadian Islam karena tidak sesuai dengan sistem kehidupan sekuler yang dianutnya.

Berbeda dalam sistem Islam. Dalam Islam, khilafah akan mengkondisikan individu dan masyarakat selalu dalam suasana ketakwaan kepada Allah Swt. Syariat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan. Sikap peduli dan kasih sayang kepada sesama direalisasikan dalam konsep amal makruf nahi mungkar oleh dan untuk warga negara khilafah.

Hal terpenting dalam membangun sebuah generasi yang kuat baik mental maupun kepribadiannya adalah pendidikan. Khilafah akan menjalankan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam sejak dini. Melalui sistem pendidikan Islam, rakyat dididik agar memiliki kepribadian Islam, memahami tsaqafah islam dan menguasai iptek.

Ibnu Katsir dalam menjelaskan makna surat At-taaghabuun ayat 11, bahwa ketika seseorang ditimpa musibah dan ia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, lalu ia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah) disertai (perasaan) berserah diri kepada ketentuan tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allah akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya.”

Dengan adanya keyakinan ini, masyarakat tidak akan rapuh ketika ditimpa ujian. Mereka memiliki visi yang lebih tinggi, yaitu visi akhirat. Selalu berlomba-lomba dalam beramal saleh, dan tidak pernah terbersit untuk bunuh diri.

Menurut Saad Riyadh, di dalam hadis-hadisnya, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa kesehatan dan kestabilan jiwa (mental) seseorang memiliki beberapa indikasi, antara lain adalah adanya rasa aman. (Buku Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah saw.)

Sesungguhnya, sebagian besar kaum muslim saat ini tidak merasa aman; faktor kemiskinan, penyakit yang tak kunjung sembuh, kelaparan, ketidakharmonisan dalam rumah tangga, trauma pengasuhan masa kecil, kehilangan orang yang dicintai dan banyak lagi lainnya yang bisa memicu depresi hingga sakit mental yang berujung keinginan bunuh diri.

Khilafah akan mengusahakan rasa aman bagi seluruh rakyatnya. Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang berlandaskan syariat Islam. Mengelola kekayaan alam yang melimpah ruah dan memanfaatkan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat berupa fasilitas pendidikan, kesehatan, listrik, dsb. Khilafah tidak akan menyerahkan pengelolaannya kepada swasta.

Sudah seharusnya agama tidak boleh dijalankan terpisah dari kehidupan. Agama adalah fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt. Sehingga saat umat menghadapi berbagai masalah dan beban kehidupan maka ia akan mendekat kepada Allah Swt. Hidup dalam negara yang menerapkan syariat Islam secara sempurna akan mewujudkan kebahagiaan, ketenangan dan rasa aman. 

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.” (QS. Al-Ra’ad: 28)

Post a Comment

Previous Post Next Post