Haruskah Konversi Kompor dan Mobil Listrik Dilakukan?


Oleh Yuli Ummu Raihan
Pegiat Literasi

Lagi-lagi pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dengan dalih kekurangan dana pembiayaan negara, program konversi kompor dan mobil dinas listrik diluncurkan saat kondisi ekonomi rakyat semakin sulit. Masyarakat masih berjuang menghadapi kenaikan harga komoditi pangan, BBM, dan efek domino yang ditimbulkan. 

Tentu program ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh perencanaan yang matang, kesiapan dana, dan lain sebagainya. Haruskah kebijakan ini dipaksakan untuk saat ini? 

Dilansir dari Liputan6.com (18/9/2022), Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada kepada seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk menggunakan mobil listrik sebagai kendaraan dinas. Perintah ini dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2022 tentang Percepatan Penggunaan Kendaraan Listrik Berbasis Baterai di instansi pemerintah pusat maupun daerah. 

Menanggapi Inpres ini, Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jatim langsung menyiapkan strategi anggaran untuk pengadaan mobil listrik ini. Khofifah menilai hal ini sangat penting untuk mencapai cita-cita besar Indonesia tentang emisi karbon yakni visi "net zero emissions" pada 2060. Ia juga menjelaskan bahwa, Jatim telah mengupayakan konversi energi ke penggunaan sumber terbarukan dengan capaian bauran energi terbarukan Jatim pada tahun 2021 sebesar 6,72 persen atau setara 1270 MW melebihi target 6,5 persen. Kegiatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) juga sedang dilakukan. Jatim juga memiliki banyak potensi energi terbarukan di antaranya energi air, angin, panas bumi, gelombang laut, biomasa, biogas, dan lain-lain. 

Konversi gas ke kompor listrik ini mengingatkan kita bagaimana konversi minyak tanah ke gas pada tahun 2007 lalu. Polanya minyak tanah mulai langka, harganya melambung, pemerintah merasa subsidi yang diberikan membebani negara, lalu mulai dilakukan penyuluhan, kemudian bagi-bagi kompor gas gratis. Setelah kebijakan ini mulai diterima masyarakat, perlahan minyak tanah menghilang dari pasaran.   Kemungkinan kali ini ceritanya akan berulang. 

Kebijakan yang Dipaksakan

Kebijakan yang dibuat pemerintah seharusnya bertujuan untuk memudahkan rakyat. Apa pun kebijakannya, seharusnya penuh dengan pertimbangan dan perhitungan yang matang. Bukan kebijakan yang dipaksakan atau karena tekanan berbagai pihak yang berkepentingan. 

Semua ini akibat diterapkannya sistem Kapitalisme, sehingga seluruh kebijakan berdasarkan standar untung rugi atau materi. Sistem Kapitalisme juga memberikan peluang agar sumber daya alam bisa dikuasai swasta lokal dan asing. Kekayaan alam yang seharusnya menjadi harta milik umum, yang manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat sekarang diprivatisasi. Kekayaan alam yang melimpah ruah di negeri ini seharusnya dikelola secara mandiri oleh negara. Hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah bisa memberikannya langsung berupa harga yang murah bahkan gratis, atau dengan menyediakan berbagai sarana dan prasarana untuk kemaslahatan rakyat. 

Subsidi untuk membantu meringankan beban rakyat dianggap membebani negara, membuat masyarakat tidak mandiri, dan merusak persaingan pasar. Rakyat terus dijadikan kelinci percobaan dari satu kebijakan ke kebijakan lainnya. 

Jangankan untuk memasak, kebutuhan listrik untuk penerangan saja masih belum dinikmati semua rakyat. Belum lagi biaya yang akan dikeluarkan untuk membeli peralatan memasak untuk kompor listrik, keamanan, dan kesiapan masyarakat. 

Ekonom "Institute of Development of Economics and Finance" (Indef) Abra Talattov  menilai, ambisi pemerintah untuk mendorong penggunaan listrik ini lebih banyak dilakukan di hilir. Hal ini menjadi tanda bahwa ada masalah dalam pasokan listrik yang berlebih atau "oversupply". 
(CNNIndonesia.com) 

"Oversupply" memang terjadi di wilayah Jawa-Bali. Menurut Dirut PLN Darmawan Prasodjo, awal 2022 ini saja akan ada tambahan pasokan 6 gigawatt (GW) di Jawa. Padahal, tambahan permintaan hanya 800 megawatt (MW). Kelebihan ini diproyeksi bisa meningkat menjadi 7,4 GW pada 2023, bahkan lebih seiring dengan penerapan Energi Baru Terbarukan (EBT). 

Setiap 1 GW, PLN harus menanggung beban sekitar Rp3 triliun per tahun karena dalam kontrak jual beli listrik dengan produsen listrik swasta terdapat skema "take or pay". Artinya, listrik yang terpakai atau tidak yang diproduksi IPP, PLN tetap harus membayar sesuai kontrak. 

Sempat beredar isu bahwa pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI sepakat akan menghapus daya 450 VA dan menaikkan menjadi 900 VA untuk rumah tangga. Meski baru sebatas isu, hal ini mungkin saja akan menjadi kenyataan. Jika konversi gas ke kompor listrik diberlakukan, tentu hal ini membutuhkan daya listrik yang lebih besar. 

Sebenarnya kebijakan konversi ini sah-sah saja dilakukan pemerintah.  Namun, haruskah dilakukan saat ini, ketika kondisi masyarakat semakin sulit? Infrastruktur penunjang juga belum memadai. Seharusnya pemerintah bisa membuat kebijakan yang pro rakyat, tidak memberatkan, dan benar-benar dibutuhkan masyarakat.

Wallahu a'lam bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post