Oleh: Iswatun Hasanah
(Aktivis Muslimah)
Pada tahun 2019 badan Meteorologi Climatology dan Geophysics Agency (BMKG) telah menginformasikan akan terjadi kekeringan meteorologis atau iklim dengan level kekeringan panjang hingga ekstrem di sejumlah wilayah. Jawa merupakan salah satu wilayah yang diprediksi mengalami potensi tersebut.
Dilansir dari media online jawapos.com pada satu September 2022, berdasarkan data terakhir Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD Jatim hingga saat ini tercatat 622 Desa mengalami kering kritis. Warga setempat harus mencari air di radius lebih dari 3 km, semua desa yang termasuk kategori kering kritis itu tersebar di 232 Kecamatan pada 23 Kabupaten, sejauh ini 9 daerah diantaranya telah menetapkan status tanggap darurat sementara, yang lainnya masih menunggu perkembangan.
Kekeringan menjadi salah satu bencana rutin di sejumlah wilayah Jawa Timur. Bencana kekeringan bisa disebabkan karena faktor alam, sebab secara iklim Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim monsoon tropic yang sangat sensitif terhadap anomali iklim El-Nino southern oscillation ( ENSO), Enso menyebabkan terjadinya kekeringan, jika kondisi suhu permukaan laut di Pacifik Equator bagian tengah hingga Timur menghangat atau kondisi El-Nino.
Hanya saja selain faktor alam kondisi bencana kekeringan, semakin diperparah dengan pengaruh perubahan iklim, perubahan iklim terjadi sebab bumi mengalami efek rumah kaca yang disebabkan adanya peningkatan emisi gas CO2, efeknya terjadi peningkatan suhu udara di atmosfer.
Cikal Bakal Penyebab Kekeringan
Meningkatnya suhu udara dari waktu ke waktu rata-rata per tahun mencapai 1,4-5,8 °C hingga tahun 2100. Peningkatan emisi gas CO2 ini sebenarnya diawali dari revolusi industri yang dimotori oleh semangat kapitalisme. Kapitalisme mengajarkan secara fasih bahwa orientasi tertinggi adalah materi. Hal ini membuat manusia melakukan eksploitasi berlebihan terhadap kekayaan alam beserta potensinya.
Kerusakan akibat perubahan iklim pun sebenarnya sudah diindera oleh manusia saat ini, mereka berkumpul pada tahun 2005 membuat dokumen yaitu Kyoto protokol. Dokumen ini menjadi landasan dan kerangka kerja bagi seluruh negara di dunia untuk menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim. Namun karena paradigma kapitalisme yang masih menjadi landasan berpikir maka solusi yang dihasilkan tidak akan merugikan negara-negara penghasil emisi gas CO2. Mereka masih tetap eksis dengan kegiatan eksploitasi mereka.
Negara-negara eksploitasi dan pencemar tersebut hanya dihukum dengan skema carrbon trading atau kampanye optimalisasi blue carbon maupun revegetasi. Karenanya tidak seharusnya memandang bahwa bencana kekeringan bukan lagi masalah faktor alam dan perubahan iklim tapi lebih dari itu, kekeringan adalah salah satu masalah cabang akibat penerapan ideologi kapitalisme.
Islam Atasi Kekeringan
Islam sebagai pembanding ideologi kapitalis mampu menyelesaikan permasalahan tersebut, sebab Islam diturunkan bukan sekedar agama ritual melainkan sistem kehidupan yang secara praktis diterapkan oleh negara bernama Khilafah Islam.
Dalil ini membuat kaum muslimin menyadari bahwa dunia dan seisinya adalah milik Allah ta'ala. Allah yang memberikan hak kepada manusia untuk mengelolanya, namun jangan berbuat kerusakan atasnya, sehingga sistem Islam Kekhilafahan akan melarang pembangunan maupun eksploitasi lahan industrialisasi yang berlebihan dan tidak memperhatikan lingkungan.
Kaum muslimin menyadari bumi memiliki Qadar, mengalami bencana alam akibat siklus alamnya maka untuk mengantisipasi kekeringan akibat faktor alam, Khilafah akan mengambil tindakan teknis secara akademis dan keahlian. Khilafah akan memilih tim dengan melibatkan badan meteorologi klimatologi dan geofisika terbaik untuk melakukan kajian menyeluruh, cermat dan akurat mengenai pemetaan iklim, kondisi cuaca, potensi panas, hujan, termasuk dampak dan pemanfaatan keduanya untuk tanaman, semisal dari hasil kajian tersebut ditemukan bahwa faktor penyebab kekeringan disebabkan: Pertama; adanya penyimpangan iklim. Kedua; adanya gangguan keseimbangan hidrologis. Ketiga; kekeringan agronomis.
Maka tim ahli akan diperintahkan untuk merancang mitigasi dan solusi yang dibutuhkan untuk menghadapi kondisi ekstrem tersebut. Rancangan tersebut bersifat jangka pendek menengah maupun jangka panjang. Hasil kajian riset dan rekomendasi Tim Ahli ini akan ditindaklanjuti oleh khilafah atau badan negara terkait.
Selain diselesaikan secara teknis, Khilafah juga mengambil tindakan secara non teknis yakni memimpin masyarakat untuk memohon kepada Allah ta'ala, mendekatkan diri pada Allah, meninggalkan kemaksiatan baik melalui salat Istisqa' ,berdoa di waktu-waktu mustajab, agar Allah menurunkan hujan untuk kemaslahatan manusia.
Inilah yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, ketika Madinah mengalami kekeringan. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pun mengajak penduduk Madinah untuk melakukan shalat istisqoh di lapangan yang kini dibangun Masjid Ghomamah, setelah itu hujan pun turun tak henti-henti sepanjang hari sampai mereka pun datang kembali kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam untuk berdoa, agar hujan berhenti. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pun berdoa "Allahumma hawailana wa la a'laina", hujan pun berhenti.
Hal yang sama juga terjadi pada masa Khalifah Umar Bin Khattab, Khalifah Umar tidak hanya meriayah warganya dengan sebaik mungkin di tengah paceklik kekeringan, namun juga mengajak mereka untuk shalat Istisqo', hingga Allah menurunkan hujannya.
Inilah Solusi yang ditawarkan Islam kepada umat manusia yang secara praktis membutuhkan institusi Khilafah. Oleh karena itu, menjadi sebuah kebutuhan ummat islam selain sebuah kewajiban, untuk kembali menerapkan sistem islam, dalam naungan daulah Khilafah. Wallahu a'lam bi showab.
Post a Comment