DEMOKRASI : SISTEM RAMAH KORUPTOR


Oleh : Ika Wulandriati 

Publik kini tengah menyoroti soal eks napi korupsi atau koruptor yang ternyata masih bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR, DPRD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Hal itu dimungkinkan karena dari regulasi yang ada, termasuk UU Pemilu tidak melarang eks koruptor untuk kembali menjadi caleg.
Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur soal persyaratan yang mesti dipenuhi untuk menjadi bakal caleg baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota. Hanya saja, pasal tersebut tidak spesifik melarang eks napi, termasuk dari kasus korupsi, untuk kembali maju menjadi caleg. (Beritasatu.com, 27/08/2022)

Kalau kita soroti, vonis hukuman yang dipangkas mengindikasikan bahwa nasib koruptor di negeri ini begitu baik. Penyakit yang sudah menjalar dan membudaya ini terasa sulit dibabat habis.
Kenapa hukum itu bisa lemah? Logikanya hukuman saat ini memberi peluang bagi para pelaku korupsi untuk memperalat dan memperdaya hukum dan lembaga penegaknya. Ingin selamat, harus banyak ‘pelicin’nya, yaitu menyuap siapapun yang bisa menjadi penyelamat bagi koruptor. Beginilah kerja sistem demokrasi. Tidak berlandaskan pada keimanan dan ketakwaan sehingga para pejabat.bahkan penegak hukum mudah terbeli dengan lembaran rupiah. Sistem hukumnya lemah karena tidak memberi efek jera bagi pelaku.Dalam demokrasi, hukum bisa dibeli. Aturan bisa diganti seperti revisi UU KPK yang mengerdilkan peran KPK sebagai lembaga yang terdepan memberantas korupsi. Dalam demokrasi, melakukan korupsi berjamaah sangatlah bisa terjadi. Dikarenakan kontrol dan pengawasan negara lemah. 
Dan kalau kita lihat calon anggota legislatif eks napi korupsi, apa bisa memperjuangkan aspirasi rakyat yang memilihnya? Banyak sekali pertanyaan - pertanyaan yang sepatutnya menjadi renungan dalam menilai, tokoh individu tersebut apakah memang mereka seorang politikus yang dapat dipercaya, ditambah sikap amanahnya yang harusnya terjaga, mengurusi, serta menangani seluruh keperluan  masyarakat, baik secara langsung kepada masyarakat maupun tidak langsung dalam bentuk kebijakan yang berpihak kepada masyarakat secara luas.

Didalam penerapan sistem sekuler seperti saat ini, yaitu memisahkan antara agama dan kehidupan, telah menjadikan politik kering dari nilai-nilai agama. Orientasi pejabat bukan lagi amanah Allah dan ibadah, melainkan keuntungan dunia. Sekularisme juga menjadikan demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan.

Pejabat dipilih rakyat melalui serangkaian pemilihan: pilkada dan pemilu, yang membutuhkan biaya besar. Maka tak heran, setelah menjadi pejabat, mereka akan berusaha untuk balik modal, baik untuk dirinya maupun untuk partai pengusungnya.

Dalam pemerintahan Islam (Khilafah), aturan yang diterapkan adalah syariat Islam.  Undang-undang yang dihasilkan bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah. Karena aturan yang berlaku adalah aturan Allah, tidak mungkin aturan ini berubah-ubah mengikuti kehendak manusia. Dalam demokrasi, benar dan salah diukur berdasarkan pandangan manusia. Dalam Islam, benar dan  salah tolok ukurnya adalah syariat Islam. Keputusan benar dan salah akan dikembalikan pada pengaturan syariat Islam, bukan kehendak manusia. Allah berfirman, “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus.” (TQS Yusuf: 40)
Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwanya, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan takwanya pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah subhanahu wa ta’ala pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Ketakwaan ini juga ditanamkan kepada seluruh pegawai negara tanpa terkecuali.

Post a Comment

Previous Post Next Post