BBM Naik, Menguntungkan Siapa?


Fatimatuz Zahro 
(Komunitas Muslimah Rindu Jannah)

Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) resmi naik mulai 03/09/2022 pukul 14.30 WIB. Presiden Jokowi mengumumkan harga Pertalite naik dari Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000/liter.

Harga solar bersubsidi naik dari Rp 5.150/liter  menjadi Rp 6.800/liter. Adapun harga pertamax naik dari  Rp 12.500/liter menjadi Rp 14.500/liter. Pemerintah beralasan bahwa keputusan menaikkan harga BBM dilakukan seiring melonjaknya harga minyak dunia. Muslimah  News. (10/09/2022)

Merespon kebijakan kenaikan harga BBM, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress) Marwan Batubara M.Sc. menyatakan, "yang untung adalah pengusaha tambang dari rantai produksi sampai ekspor ada biaya yang bisa dihemat, apalagi mereka mempengaruhi sampai kebijakan,"  ungkapnya dalam "BBM Naik untuk Siapa?" di kanal UIY Official, Ahad (04/09/2022).

Ia mengulas, jika berbicara Pertalite,  ketika negara memiliki kesulitan anggaran dan utangnya banyak, sudah sewajarnya orang yang mampu tidak menggunakan Pertalite.

"Namun, bukan berarti yang mampu ini tidak berhak menikmati. Yang jadi masalah adalah kondisi keuangan negara mengalami defisit di atas Rp 500 triliun dan ditutup dengan utang. Sayangnya, jika sudah tahu masalahnya seperti ini, seharusnya ada upaya sejak dahulu. Namun tidak dilakukan," jelasnya.


Rakyat Bukan Beban

Mengutip Buletin Kaffah edisi 258 (02/09/2022), mengurus negara memang bukan pekerjaan mudah. Namun, sungguh keterlaluan apabila menganggap hak rakyat untuk mendapatkan subsidi sebagai beban. 

Negara yang memandang rakyat sebagai beban, pada hakikatnya adalah negara kapitalisme. Doktrin kapitalisme mengajarkan bahwa negara menyerahkan kegiatan ekonomi sepenuhnya pada mekanisme pasar, minim campur tangan negara. Negara hanya sebagai regulator. Warga yang hidup di bawah kapitalisme harus menjalani skema “survival of the fittest”.

Sehingga tidak aneh jika rakyat sering mendengar pernyataan politisi dan pejabat negara yang meminta rakyat untuk berjuang sendiri. Ketika harga minyak goreng meroket dan langka di pasaran, rakyat dianjurkan mengurangi memasak dengan cara menggoreng. 

Begitu pun ketika harga cabai naik, rakyat diminta untuk menanam cabai sendiri di rumah. Ketika harga beras naik, ada seruan agar rakyat miskin melakukan diet dan jangan banyak makan. Ketika harga telur naik, rakyat diminta juga jangan meributkannya.

Kalaupun ada bantuan,  pemerintah memberikan secara tidak merata alias tebang pilih, bukan untuk setiap individu rakyat. Dalam kasus BBM, pencabutan dana subsidi BBM sebesar Rp502 triliun akan diganti dengan tambahan bantalan sosial menjadi Rp24,17 triliun untuk 20,65 juta kelompok keluarga penerima manfaat. Pemerintah menutup mata bahwa dampak kenaikan tarif BBM sesungguhnya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.

Dan sangat bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah terkait urusan pembangunan. Di tengah beragam krisis ekonomi yang menimpa rakyat, rencana pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tetap akan dilanjutkan. Padahal, pembangunan IKN menelan biaya Rp486 triliun. Sebesar 20%-nya diambil dari APBN atau sekitar Rp97 Triliun.

Demikian juga pembangunan infrastruktur banyak yang mangkrak, bahkan ada yang membengkak pembiayaannya. Namun, pemerintah tetap ngotot melanjutkan. 

Pembangunan jalur Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung juga, yang mulanya diperhitungkan membutuhkan biaya Rp86,5 triliun dan “haram” menggunakan duit APBN. Kini, biaya proyek tersebut menjadi Rp114,24 triliun alias membengkak Rp27,09 triliun. 

Dengan dana sebesar ini, Pemerintah Cina meminta agar Pemerintah Indonesia turut membantu pembiayaan tersebut. Belum lagi pembangunan infrastruktur yang dibangun dengan biaya triliunan rupiah yang malah tidak bermanfaat untuk masyarakat.

Demikian pula, ketika negara mengeluhkan beban dana pensiun yang sebenarnya hak para ASN karena potongan gaji semasa bekerja, pemerintah justru banyak mengangkat tenaga kerja tambahan, seperti wakil menteri, staf khusus dan stafsus milenial, serta mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan baru, seperti BPIP dan BRIN. Rata-rata, mereka digaji hingga puluhan juta rupiah.
Ironis!

Bagaimana dalam Islam 

Dalam sistem Islam, pelayanan kepada rakyat adalah prioritas utama. Rasulullah saw. bersabda, pemerintah adalah raa'in (pengurus) dan penanggung jawab urusan rakyatnya," (HR Bukhari).

Dalam mengelola migas, sebagai bahan baku BBM, harus ditetapkan berdasarkan syariat Islam, yaitu kepemilikannya milik rakyat dan negara berkewajiban mengelolanya untuk dikembalikan hasilnya kepada rakyat. Dengan begitu, rakyat dapat menikmati BBM dengan harga murah dan terjangkau. 

Dalam Islam, harga BBM bisa murah karena rakyat hanya mengganti biaya produksinya. Prinsip pendistribusian BBM adalah pelayanan negara kepada rakyat, bukan motif ekonomi layaknya bisnis yang hanya mencari untung semata.

Sungguh sebuah kezaliman, apabila cara pandang “rakyat sebagai beban” dan “negara boleh mengurangi hak-hak rakyat”. Pelayanan dan pemenuhan kebutuhan untuk rakyat semestinya berlaku sama dan adil, apa pun status ekonomi maupun agamanya.

Dalam Islam, semua warga, baik muslim ataupun nonmuslim, miskin ataupun kaya, berhak mendapatkan pelayanan dan jaminan hidup, seperti pendidikan, kesehatan, listrik, air bersih, termasuk BBM berkualitas dengan harga yang sangat ekonomis bahkan gratis. Ini karena dalam Islam, Negara (Khilafah) tidak menempatkan hubungan penguasa dan rakyat layaknya penjual dan pembeli.

Sedangkan dalam sistem kapitalisme, pemberian subsidi selalu ditujukan untuk warga ekonomi lemah dengan mengabaikan kelompok masyarakat lain. Padahal, ini adalah cara penguasa kapitalis berkelit dari kewajiban mengurus rakyat. Mereka menentukan sendiri besaran bantuan, jumlah penerimanya dan kriteria orang yang berhak mendapatkan bantuan.

Akibatnya, banyak orang yang sebenarnya terdampak tekanan ekonomi dan membutuhkan bantuan, tetapi diabaikan. Alasannya, mereka bukan orang miskin. 

Di samping itu, Islam juga melarang penguasaan SDA oleh  swasta nasional maupun asing. SDA adalah komoditas yang berstatus kepemilikan umum sehingga tidak layak dibisniskan kepada rakyat, apalagi sampai menyebabkan rakyat harus membayar mahal untuk mendapatkan semua itu.

Sebagai refleksi, dalam Islam, Khalifah dan para pejabat negara membatasi jaminan hidup mereka demi mendahulukan kesejahteraan rakyat. 

Diriwayatkan, Khalifah Umar ra. pernah menolak kenaikan tunjangan hidup dari Baitulmal untuk keluarganya karena malu dan ingin mencontoh Rasulullah saw. Beliau saw. mengingatkan para penguasa agar tidak memiliki kehidupan yang lebih mewah dibandingkan rakyatnya. 

Beliau bersabda, “Tidak halal Khalifah memiliki harta dari Allah, kecuali dua piring saja. Satu piring untuk kebutuhan makannya bersama keluarganya dan satu piring lagi untuk ia berikan kepada rakyatnya.” (HR Ahmad)

 Wallahu a'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post