Balada Kesejahteraan Guru dalam Pusaran RUU Sisdiknas


Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)

Lengkap sudah penderitaan, ibarat telah jatuh tertimpa tangga pula. Di tengah prank nasional seputar polemik kenaikan harga BBM dan di tengah arus wacana perubahan skema dana pensiun, kini tunjangan profesi guru terancam hilang. Sebab, aturan tentang Tunjangan Profesi Guru tidak tercantum secara eksplisit dalam Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) sebagaimana dalam UU Guru dan Dosen. 

Penyusunan RUU Sisdiknas ini menggabungkan tiga UU, yakni UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam siaran persnya, Kemendikbudristek menyatakan bahwa RUU Sisdiknas ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2022.

Dalam pasal 105 RUU Sisdiknas hanya menyebutkan guru berhak memperoleh penghasilan/pengupahan dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Walhasil, pemerintah mengeklaim bahwa RUU Sisdiknas justru merupakan upaya agar semua guru mendapat penghasilan yang layak. 

Sebaliknya, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, pasal ini menjadi karet dan multitafsir jika dikaitkan dengan hak mendapat tunjangan profesi guru (Beritasatu.com, 2/9/2022).

Sekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Ali Rahim turut melontarkan pernyataan keras. Pihaknya akan melakukan aksi  jika pemerintah tidak mencantumkan kembali pasal terkait tunjangan profesi guru dan dosen serta tunjangan kemaslahatan dosen sampai dengan usia pensiun dalam RUU Sisdiknas (Beritasatu.com, 5/9/2022).

Senada dengan Sekjen PB PGRI, kecaman juga datang dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). P2G memberikan minimal enam poin kritis terkait RUU Sisdiknas selain hilangnya pasal TPG. Pertama, RUU ini minim melibatkan pemangku pendidikan. Bulan Februari 2022 lalu dilakukan uji publik, namun terkesan formalitas saja. Pasalnya organisasi yang diundang hanya diberi waktu lima menit untuk berkomentar dan memberi masukan.

Kedua, RUU Sisdiknas ini omnibus law “setengah hati”. RUU ini hanya memasukkan tiga UU pendidikan, padahal masih ada UU lain yang berkorelasi dengan pendidikan, seperti UU Pesantren dan UU Pendidikan Kedokteran.

Ketiga, dikhawatirkan nasib RUU Sisdiknas ini sama dengan UU IKN dan UU Cipta Kerja yang dikebut pembahasan dan pengesahannya oleh pemerintah dan DPR. Sehingga, menuai kritikan karena tidak aspiratif, ibarat RUU Roro Jonggrang, dikebut semalam langsung jadi.

Keempat, masih banyak PR terkait pendidikan dan guru yang harus dibenahi oleh Kemdikbudristek daripada sekadar membuat UU Omnibus. Pemulihan pembelajaran usai pandemi masih menjadi persoalan besar. Dampak jangka panjang akibat pandemi pada pendidikan akan dirasakan beberapa tahun ke depan.

Kelima, Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) lebih urgen dan lebih vital dibuat terlebih dahulu sebelum RUU Sisdiknas. PJPN ini merupakan gambaran rancangan besar pengelolaan pendidikan nasional.

Keenam, RUU Sisdiknas ini belum memberikan solusi konkret terhadap permasalahan guru honorer, guru swasta, dan guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Ratusan ribu guru honorer masih menerima upah yang sangat rendah, bahkan jauh di bawah UMP/UMK. Tak satu pun pasal di dalamnya yang memuat klausul tentang upah minimum guru non-ASN

Balada kesejahteraan guru ini justru terbit dari enam poin kritis RUU Sisdiknas. Tampak sekali RUU ini belum mampu menjadi solusi berbagai persoalan pendidikan di Tanah Air. Mengingat stakeholder pendidikan sangat minim berkontribusi dan berperan, lantas prosesnya yang terkesan buru-buru menjadikan RUU ini menuai kecaman dari berbagai kalangan. 

Sangat beruntun, saat para pemangku kebijakan memandang banyaknya beban yang ditanggung negara sehingga perlu memangkas segala apa yang ditanggung negara. Sudah menjadi rahasia umum pula, ada upaya pemangkasan anggaran belanja negara karena APBN terus defisit. Hal ini juga bisa jadi berimbas pada bidang pendidikan, terkait tunjangan para guru.

Guru adalah ujung tombak estafet peradaban. Lewat tangan guru, peserta didik akan dididik dengan baik. Namun, jika tunjangan guru dipangkas, tak terjamin pemenuhan kebutuhan hidup, dan kehidupannya jauh dari kesejahteraan, maka para guru akan tersibukkan dengan urusan pribadi. Guru akan sibuk urusan pribadi dengan mencari usaha sampingan, tak semata mendidik peserta didik.

Ideologi kapitalisme dengan akidah pemisahan agama dari kehidupan, sekularisme, menjauhkan pelayanan negara dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat, salah satunya pendidikan. Kapitalisme memandang pendidikan di ranah bisnis yang bermuara untung dan rugi. Asas manfaat mencabut ruh pendidikan di negeri ini. Ikatan negara dan rakyat seperti ikatan produsen dan konsumen. Kapitalisme mendorong negara memandang para guru yang bertugas mulia itu tak lebih dari sekadar karyawan atau buruh yang diberikan upah seadanya.

Balada kesejahteraan guru dalam pusaran RUU Sisdiknas tak akan terjadi dalam sistem Islam. Dalam sistem pendidikan Islam, kesejahteraan guru sangatlah diperhatikan. Sepanjang abad sejarah kekhikafahan Islam, guru mendapat gaji amat fantastis. Masyhur kisah Khalifah Umar Bin Khaththab yang memberi upah pada guru mengaji di Madinah sebanyak 15 dinar, 1 dinar setara 4,25 gram emas, setiap bulannya. Apabila harga emas murni 24 karat Rp800 ribu, maka 15 dinar setara Rp51 juta. MasyaAllah.

Masa Shalahuddin Al-Ayyubi, guru diberi upah 11-31 dinar. Hal ini tentu akan mendatangkan kesejahteraan pada guru sang pencetak generasi peradaban mulia. Guru akan dihargai betul dalam sistem Islam. Tak ada bedanya guru ASN, honorer, dan lainnya. Semua akan dijamin kesejahteraannya oleh negara.

Selain gaji guru yang menyejahterakan, negara akan menyediakan sarana dan prasarana pendidikan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Berbagai laboratorium untuk riset, perpustakaan,  dan fasilitas lainnya akan dibangun negara di seluruh penjuru negeri, kota ataupun pelosok desa.

Tak akan ada balada kesejahteraan guru lagi dalam naungan negara yang menerapkan sistem Islam. Sistem pendidikan Islam ini akan tegak dalam naungan negata yang sempurna menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Dengan demikian, kaum muslim wajib beruoaya melanjutkan kembali kehidupan Islam.

Wallahu a'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post