Oleh Leihana
(Ibu Pemerhati Umat)
Tanpa izin dan tiada permisi kepada rakyat yang memberi mandat kekuasaan, tiba-tiba saja pemerintah memberi remisi kepada puluhan koruptor dengan alasan telah memenuhi aturan. Aturan yang dimaksud adalah Permen (Peraturan Menteri) dari Kementerian Hukum dan HAM (kemenhukam) No. 7 Tahun 2022 yang mengatur aturan remisi bagi para koruptor.
Aturan ini menyusul pembatalan yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2021 atas Peraturan Presiden (PP) NO. 99 Tahun 2012 tentang Pengetatan Remisi Koruptor. Maka aturan baru yaitu Permen No. 7 Tahun 2022 tentang remisi koruptor ini yang menjadi landasan hukum bagi pemerintah memberikan remisi pada 23 koruptor yang diklaim telah memenuhi syarat yang tercantum di dalam permen tersebut.
Atas dasar aturan tersebut 23 koruptor bahkan bebas bersyarat karena remisi yang mereka dapatkan masa tahanan mereka lebih pendek dan bahkan bisa bebas bersyarat. Berdasarakan Permen No.7 Tahun 2022 para koruptor bisa mendapatkan remisi dengan memenuhi syarat yang disebutkan dalam peraturan tersebut seperti yang tertuang dalam pasal 10 permen No.7 Tahun 2022;
“Narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi untuk mendapatkan remisi, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juga harus telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan."
Sehingga berdasarkan aturan baru ini para koruptor bisa mendapatkan remisi hingga bebas bersyarat hanya dengan membayar denda dan uang pengganti.
Tentu saja aturan ini melukai hati rakyat yang dirugikan dengan tindak korupsi para pejabat tersebut. Koordinator Indonesia Coruption watch (ICW) menyesalkan aturan tersebut. Ia menganggap pemberian remisi terhadap pelaku kejahatan serius (kejahatan kerah putih) yang ternyata dianggap pelaku kejahatan biasa.” (detik.com, 7/9/2022)
Selain koordinator ICW ada juga tokoh peniliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rahman tidak setuju pemberian remisi dan bebas bersyarat pada pelaku Tipikor (tindak pidana korupsi), ungkapnya. “Harusnya Kejaksaan dan KPK setiap menuntut terdakwa tipikor (tindak pidana korupsi) itu harus memberi tuntutan salah satunya pencabutan hak-hak tertentu. Salah satu hak tertentu itu adalah hak pembebasan bersyarat dan hak remisi (beritasatu.com, 11/9/ 2022).
Selain aturan yang memberi peluang para koruptor mendapatkan remisi hingga bebas bersyarat, ada juga aturan yang tidak dikehendaki oleh rakyat secara umum. Yaitu aturan tentang pemilu yang tidak melarang para mantan narapidana tipikor untuk mencalonkan kembali dalam pentas pemilihan umum tahun 2024 baik menjadi menjadi calon anggota DPR maupun DPRD. Aturan yang mengatur tentang persyaratan calon anggota legislatif maupun eksekutif tidak membatasi dan melarang mantan narapidana khususnya tipikor. Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur soal persyaratan yang mesti dipenuhi untuk menjadi bakal caleg baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota. Hanya saja, pasal tersebut tidak spesifik melarang eks napi, termasuk dari kasus korupsi, untuk kembali maju menjadi caleg.
Peraturan ini hanya mengarahkan kepada para tipikor yang ingin mencalonkan kembali hanya perlu mempublikasikan dirinya adalah mantan narapidana tipikor di media masa.
Koruptor dibebaskan bersyarat tanpa penjelasan yang cukup ke publik. Pemerintah berdalih ini sesuai aturan. Sehingga permasalahannya aturan itu sendiri yang berpihak dan ramah terhadap para pelaku tipikor. Jelas saja aturan dengan mudahnya memihak mereka sebab bisa jadi aturan itu dibuat dan dilegalkan oleh para tipikor yang merancang aturan kelak jika mereka tertangkap sebagai tipikor dan ingin mencalonkan kembali, dengan mudahnya aturan memberi ruang bagi mereka mendapat remisi bahkan kebebasan bersyarat.
Hal ini tentu menjadi kekhawatiran besar di tengah masyrakat. Karena ringannya hukuman mereka dengan adanya remisi, maka tidak ada efek jera bagi para tipikor. Kelak pintu menjadi pejabat masih terbuka dan dapat mengulang kembali tindak korupsi yang mungkin jauh lebih besar nilainya dan makin merugikan rakyat.
Begitu pula mantan koruptor tidak kehilangan hak mencalonkan diri dalam kontestasi politik. Ini makin menegaskan bahwa sistem demokrasi sangat ramah terhadap koruptor dan memberi banyak kesempatan agar koruptor tetap memiliki kedudukan tinggi di mata publik. Sehingga pangkal masalahnya adalah sistem demokrasi memberi ruang untuk menetapkan aturan yang berpihak pada kepentingan segelintir orang saja, seperti para koruptor ini.
Korupsi bukan kejahatan kecil yang bisa ditoleransi begitu saja. Sebab, kejahatan korupsi ini adalah pengkhianatan dari amanah yang diberikan rakyat, para pejabat yang korupsi padahal sudah diberikan gaji dan tunjangan dari uang rakyat untuk menjalankan amanahnya, tetapi justru mengambil hata milik rakyat untuk kepentingan pribadinya.
Maka, korupsi ini termasuk kejahatan besar yang merugikan rakyat banyak.
Sangat berbeda dalam sistem Islam yang tidak akan membiarkan disahkannya aturan buatan manusia apalagi yang merugikan umat. Apalagi hukum Islam adalah sistem sempurna yang sudah memiliki seperangkat aturan lengkap termasuk kejahatan korupsi.
Meski tindak korupsi tidak dapat dihukumi dengan kejahatan mencuri yang hukumnya dalam Islam jika memenuhi syarat pencurian melebihi seperangkat dinar adalah potong tangan. Sebab, tindak korupsi adalah mengambil harta yang diamanahkan kepadanya, sehingga ada kesalahan sistem dan orang yang mengangkat pelaku serta memberi amanah kepada pelaku.
Dalam Islam, korupsi termasuk tindakan mengkhianati amanah harta yang dititipkan kepadanya. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad saw.
"Orang yang mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya." (HR. Tirmidzi).
Akan tetapi, korupsi termasuk aktivitas kemaksiatan yang dapat dihukum takzir, yaitu sanksi yang ditetapkan pada pelaku kejahatan yang tidak ditetapkan hukumannya oleh Allah. Maka hukum takzir ini diberikan kepada khalifah untuk menetapkan sanksi yang paling sesuai dan membuat jera, dapat berupa hukuman fisik.
Selain itu, dalam Islam pelaku pengkhianatan amanah tidak boleh diberi kepercayaan lagi. Jika memberi amanah yang sudah pernah berkhianat adalah bentuk kecerobohan. Sehingga untuk menghilangkan tindak korupsi di negara ini tidak ada jalan lain selain dengan mengganti sistem demokrasi yang ramah koruptor ini dengan sistem Islam yang menjaga harta dan kepemilikan umat sebaik-baiknya.
Wallahu a'lam bissawab.
Post a Comment