Utang Menggunung, Masih Bermimpi Untung?


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam Akademi Menulis Kreatif

Allah Swt. dan Rasulullah saw. melarang riba karena merupakan dosa besar yang membinasakan. Ironisnya, para pemimpin negeri ini kecanduan utang riba hingga jumlahnya menggunung. Jerat utang ribawi yang terus berlanjut harus dibayar mahal, rakyat yang harus menanggung bebannya. Padahal, banyak proyek yang buntung dan mangkrak. Bahkan, banyak negara yang bangkrut. Hal ini membuktikan bahwa riba dapat mengundang azab, menghancurkan, dan membinasakan. Masihkah berani menantang Allah dan Rasul-Nya?

Dikutip dari Republik.co.id. Menteri Koordinator Bidang  
Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengakui utang Indonesia terbilang besar Rp7.000 triliun. Menurutnya, tingkat utang pemerintah Indonesia saat ini jauh lebih aman dibandingkan negara-negara lain di dunia karena hanya 41 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Di samping itu, negara Indonesia bisa membayar utang dan mampu mempertahankan nilai tukar rupiah berkisar Rp14.000 terhadap dolar Amerika Serikat.

Lebih dari itu, Luhut menegaskan bahwa utang tersebut merupakan utang produktif digunakan untuk proyek yang mendorong pertumbuhan perekonomian negara. Jika digunakan untuk membangun proyek tol maka simpul-simpul ekonomi akan timbul, artinya untung dan akan membayar sendiri utangnya. Adapun utang Indonesia merupakan salah satu yang terkecil di dunia, kata Luhut pada acara peletakan batu pertama tol Serang-Panimbang Seksi 3 Cilekes-Panimbang, pada 8/8/2022. 
Benarkah pernyataan Luhut Binsar Panjaitan ini?

Menurut data International Debt Statistics (IDS) 2022 World Bank, Indonesia termasuk 10 negara berpendapatan menengah rendah dengan utang tertinggi pada tahun 2020. Adapun World Population Review, mencatat utang Indonesia terhadap PDB menduduki peringkat 130 dari 168 negara. Artinya, pernyataan Luhut bahwa utang Indonesia terkecil di dunia adalah tidak mendasar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Begitu pula dengan pernyataan yang lainnya. 

Proyek Buntung, Utang Menggunung

Sepertinya Luhut lupa atau pura-pura lupa? Rezim begitu ambisius membangun infrastuktur. Ratusan triliun uang APBN tersedot untuk membiayainya. Adapun sebagian besar infrastuktur dibiayai dari utang luar negeri. Celakanya, infrastruktur yang dibangun tidak memberikan dampak nyata kepada masyarakat, justru dinikmati oleh pemilik modal, asing, dan aseng. 

Ironisnya, banyak proyek infrastruktur yang mangkrak artinya buntung, sedangkan  utang menggunung, contohnya:

1. Proyek Light Rail Transit (LRT) Palembang. Sepi peminat. Proyek ini menelan biaya Rp12,5 triliun berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Selain itu Kementerian Perhubungan telah menggelontorkan uang sebesar Rp603 miliar untuk operasional LRT. Sedangkan tarif LRT jarak dekat Rp5.000, tarif jarak jauh Rp10.000. Dengan sepinya penumpang LRT bukannya untung tetapi malah buntung.

2. Bandara Udara Kertajati, Majalengka, yang diresmikan pada 24 Mei 2018 oleh Presiden Jokowi, menelan biaya Rp4,9 triliun. Merupakan bandara udara terbesar kedua di Indonesia, tapi sepi peminat. Sehingga sejak April 2020, bandara Kertajati tidak melayani penumpang dan kini terbengkalai. Begitu juga dengan Bandara Jenderal Soedirman di Purbalingga, dan lainnya, saat ini tidak digunakan lagi alias mangkrak.

3. Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Merupakan proyek kerja sama Indonesia dengan China. Proyek yang tidak jelas kapan selesainya yang banyak diselimuti sisi gelap. Pada akhirnya mengalami pembengkakan biaya sebesar Rp28,5 triliun. Sehingga keseluruhan anggaran yang dibutuhkan Rp118,5 triliun. Sudah tentu membengkaknya anggaran akan menambah bengkaknya utang, itupun masih dibebani bunga 2 persen pertahunnya.

4. Selain itu masih banyak lagi proyek yang terancam mangkrak. Bahkan bandara internasional Kualanamu Sulawesi Utara sudah dijual. Tidak hanya itu, pelabuhan dan beberapa jalan tol juga dijual karena bangkrut terlilit utang. (kompas.com. 31/03/2021)
Masihkah Luhut bermimpi di siang hari bolong? 

Di sisi lain utang luar negeri Indonesia menggunung sebesar Rp7.123 triliun (Juni 2022), dengan bunga riba tahunan sekitar Rp300 triliun. Untuk membayar bunganya saja harus utang. Belum lagi untuk menutupi defisit APBN yang disebabkan penerimaan APBN berbasis pajak 82 persen tidak memenuhi target. Pada hakikatnya utang yang menggunung akan menyengsarakan rakyat karena harus menanggung beban pajak yang tinggi. Sampai kapan utang Indonesia bisa lunas?

Kapitalis-Sekuler Biang Keroknya

Semua itu akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis sekuler, yang menafikan agama. Sudah tentu kebebasan sebagai tolok ukurnya. Terutama kebebasan kepemilikan, akibatnya kepemilikan umum dan kepemilikan negara dikuasai oleh individu-individu pemilik modal dan korporasi. Mereka dapat memengaruhi kebijakan negara melalui undang-undang yang dibuat oleh manusia bersumber pada akalnya yang terbatas dan berdasarkan asas manfaat. Maka wajar jika semua cara dilakukan tanpa memedulikan halal dan haram. Oleh karenanya, berbohong, korupsi, menipu, memakan barang haram, menzalimi rakyat, dan lainnya, merupakan perbuatan yang dianggap hal biasa. 

Utang Luar Negeri, Alat Penjajahan

Sejatinya pintu masuk penjajahan melalui IMF dan Bank Dunia.  Jebakan dan jeratan utang menjadikan petaka bagi negara gagal bayar utang, seperti negara Sri Lanka. Utang luar negeri sebagai senjata politik bagi negara-negara kapitalis kepada negara peminjam untuk menjajah dengan cara memaksakan kebijakan.

Tidak ada makan siang gratis, ada syarat yang ditentukan oleh Bank Dunia dan IMF yang mengharuskan negara peminjam menjalankan program Struktural Ajusment Program, meliputi: 
1. Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas. Inilah yang membuat Indonesia sebagai negara agraris dan maritim mengimpor beras, kedelai, garam, gula, dan lain-lain. Sungguh ironis. Akibatnya, menciptakan kekacauan ekonomi di dalam negeri. Rakyat jadi tumbal.

2. Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk penghapusan subsidi, peningkatan suku bunga kredit, dan menekan untuk tidak menaikkan upah dan gaji. Dampaknya, beban rakyat makin berat karena subsidi untuk pendidikan, kesehatan, listrik, BBM, dan lainnya dicabut. 

3. Lebih dari itu, mereka mampu mengendalikan negara  peminjam untuk mengintervensi dan memrivatisasi proyek publik dan Sumber Daya Alam (SDA) melalui undang-undang. Misalnya, UU Cipta Kerja, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan, UU Minerba, dan lain-lainnya. 

Wajar jika satu persen orang terkaya menguasai 49 persen kekayaan nasional. Akibat dari kapitalistik, ketimpangan ekonomi  Indonesia menempati peringkat keempat di dunia. 

Maka menjadi jelas dan gamblang bahwa IMF dan Bank Dunia sesungguhnya alat penjajahan negara kapitalis global yang dapat membuat negara bangkrut dan menyengsarakan rakyat. Saatnya kita campakkan dan kembali ke sistem Islam (khilafah) yang dapat memberikan solusi tuntas karena aturannya berasal dari Allah Swt. 

Oleh sebab itu, untuk menjadikan ekonomi negara stabil dan tangguh khilafah menerapkan sistem ekonomi syariah, yakni:

Pertama, khilafah akan melarang praktek riba dan transaksi dalam bentuk apapun karena hukumnya haram (QS. al-Baqarah [2]: 275). Sehingga sirkulasi mekanisme ekonomi berjalan lancar.

Kedua, khilafah menata APBN dengan sistem Baitul Mal yang memiliki tiga pos pendapatan utama, yakni pengelolaan harta milik umum, milik negara, dan pengelolaan zakat mal. Masing-masing memiliki jalur pengeluaran sendiri, sehingga pertumbuhan ekonomi akan stabil tanpa intervensi pajak dan utang.

Ketiga, khilafah akan menata ulang dalam kepemilikan berdasarkan syariat, yaitu kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan kepemilikan individu. Kebijakan ini harus diatur sebab aset di permukaan bumi akan berpengaruh terhadap metode pengelolaannya. Contohnya, kepemilikan umum berupa SDA haram dimiliki oleh individu apalagi dikelola oleh swasta atau diprivatisasi karena kaum muslimin berserikat atasnya. Maka khilafahlah yang mengelola untuk kemaslahatan rakyatnya.

Keempat, menata ulang sistem moneter dengan menggunakan mata uang emas dan perak atau dinar dan dirham sebagai alat tukar. Karena emas dan perak mempunyai nilai intrinsik (qimah dzatiyah) pada dirinya sendiri. Beda dengan uang kertas yang tidak memiliki nilai intrinsik pada barangnya sendiri. (Thabib, 2003: 326).

Kelima, menata ulang kebijakan fiskal dengan menghapus pungutan pajak yang bersifat permanen. Dibolehkan memungut pajak dalam kondisi darurat dan ketika Baitul Mal kosong. Jika kondisi telah stabil maka pajak akan dihentikan.

Keenam, memastikan fungsi negara selalu berada dalam jalur pelayanan kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya.

Ketujuh, memegang prinsip efisiensi anggaran dengan audit yang ketat dan melakukan pengawasan para pejabat publik agar tidak terjadi korupsi.

Semua itu hanya akan terwujud dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah) yang menerapkan syariat Islam secara kafah (menyeluruh). Oleh sebab itu, umat Islam wajib memperjuangkan tegaknya khilafah. 
Sebab, jika tetap menganut sistem kapitalis sekuler utang riba akan terus menggunung dan dipastikan tidak beruntung.

Nabi Muhammad saw. telah melarang umatnya dari riba dan memberitakan bahwa riba termasuk tujuh perbuatan yang menghancurkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda:

“Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah itu?” Beliau saw. menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan hak, _memakan riba,_ memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. [HR. al-Bukhari, no. 3456; Muslim, no. 2669]
Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post