Aktivis Dakwah Perindu Perubahan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan utang pemerintah akan selalu dikelola secara berhati-hati dengan mengedepankan tata kelola yang berlaku. "Pemerintah akan terus mengelola utang secara hati-hati dan bertanggung jawab sesuai standar pengelolaan yang dianut oleh negara-negara.
Menko Luhut menyebutkan bahwa utang Indonesia merupakan utang produktif, misalnya untuk pembangunan tol. Benarkah demikian?
Salah satu indikator bahwa utang digunakan untuk sektor produktif adalah mengecilnya rasio utang terhadap PDB. Jadi, PDB meningkat sebagai hasil dari sektor produktif tersebut. Faktanya, rasio utang Indonesia terhadap PDB justru kian meningkat.
Bahkan, Indonesia ditengarai terjebak skema Ponzi, yakni utang baru untuk membayar utang lama, alias gali lubang tutup lubang. Pembayaran bunga utang saja sudah mencapai Rp405,9 triliun pada 2022. Jumlah ini mencapai 20,87% dari total belanja pemerintah. Hal ini berdampak mempersempit ruang fiskal.
Lagi-lagi, rakyat yang harus menjadi korban, riayah (pengurusan) terhadap rakyat akan makin minim. Di satu sisi target pajak makin besar, di sisi lain negara makin berlepas tangan terhadap pemenuhan hajat rakyat. Akhirnya beban hidup rakyat makin berat.
Lain hal dalam prahara utang luar negeri kita. Di saat utang semakin membengkak menyentuh angka fantastis, justru pemerintah mengklaim bahwa utang Indonesia masih dalam batas wajar dan pasti dibayar. Bahkan utang tersebut diklaimnya utang produktif. Padahal beberapa proyek sebetulnya tidak begitu penting namun pemerintah bersikukuh untuk berutang. Seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, yang sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan. Biaya pembangunan membengkak dan akhirnya ditanggung oleh APBN negara.
Dikutip dari Kompas.com (6/8/2022), dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan bahwa total utang Indonesia saat ini 7000 triliun. Apakah jumlah segitu merupakan jumlah yang kecil? Apakah perkara hutang merupakan perkara remeh?
Membangun Negara dengan utang merupakan cara pandang ekonom kapitalis. Dampak peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban berat pada generasi mendatang. Pemerintah tentu akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan peningkatan pajak. Penekanan pengeluaran biasanya dengan mengurangi subsidi untuk rakyat. Di sisi lain pajak makin tinggi.
Efisiensi pengeluaran Pemerintah sangat jarang dijadikan sebagai kebijakan utama. Pemerintah lebih sering memilih menambah utang dan menaikkan pajak dalam jangka panjang, serta mencetak uang sebagai jalan terakhir.
Utang yang diberikan negara-negara kapitalis kepada negeri-negeri berkembang pada hakikatnya adalah salah satu cara yang ditempuh untuk menjajah secara ekonomi negara-negara yang menerima utang tersebut. Dengan kata lain, negara penerima utang akan dijadikan “sapi perahan” belaka, yang diambil dan disedot segala harta dan kekayaan oleh negara-negara pemberi hutang. Faktanya, jumlah pembayaran kembali cicilan dan bunga hutang-hutangnya telah menyedot porsi yang sangat besar dari belanja negara.
Jadi utang yang menggunung jangan pernah di anggap sebagai hal yang wajar atau malah menjadi ajang kebanggaan dengan tersedianya insfratruktur. Jelas ini adalah suatu hal yang sangat berbahaya ketika negara sudah terbelit hutang luar negeri yang mengandung unsur Ribawi.
Kita semua telah melihat dan merasakan bagaimana sistem ekonomi ini berjalan selama ini. Juga realita utang LN yang secara turun-temurun sejak negeri ini memproklamirkan kemerdekaannya hingga hari ini akan terus membawa kita dalam perjalanan yang sangat panjang untuk menjadi negara yang bebas utang! Kini sudah waktunya kita menyatakan “Stop Utang LN!” Lalu kita bersiap-siap untuk menerapkan Sistem Ekonomi Islam secara kâffah sebagai gantinya.
Penerapan Sistem Ekonomi Islam adalah bagian dari ketakwaan yang akan membawa kita pada harapan yang jauh lebih baik dan mendapatkan keberkahan Allah dari langit dan bumi.
Wallahu a'lam Bishshawwab
Post a Comment