Tendangan Berujung Maut, Pendidikan Karakter saja tidak Cukup


By : Maryam Sakinah 
Pegiat Literasi

Pada hari Selasa, tepatnya tanggal 23/8/2022, seorang siswa kelas 10 di SMK Negeri 2 Jember tewas ditendang oleh temannya. Korban diduga tewas karena tendangan di bagian leher kanannya. Menurut Kepala SMK Negeri 2 Jember, Suprihartono, korban yang berinisial RAP (16) merupakan siswa jurusan Teknik dan Bisnis Sepeda Motor (TBSM), sedangkan pelaku yang berinisial MRR (16) juga duduk di kelas 10, tetapi ia di jurusan Teknik Kendaraan Ringan (Otomotif Mobil).

Peristiwa mengenaskan ini terjadi sekitar pukul 12.00 WIB ketika pergantian jam pelajaran. Masih menurut Suprihartono yang dikutip dari Detik.com, korban akan berangkat ke bengkel (laboratorium), sedangkan pelaku yang bersandar di pintu kelasnya memanggil korban. Selanjutnya terjadi percakapan yang diakhiri salaman. Namun, tidak lama setelahnya, pelaku menendang korban di bagian leher sebelah kanan. Korban sempat akan bangun, tetapi pingsan. Korban dinyatakan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Kejadian ini sangat tragis dan miris. Bagaimana sebuah sekolah yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi seorang anak, justru menjadi tempatnya menjemput ajal. Kejadian yang menimpa siswa SMK Negeri 2 Jember ini makin melengkapi deretan panjang kasus kekerasan fisik dan psikis di sekolah.  

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2019 menerima 153 pengaduan kekerasan fisik dan psikis di lingkungan sekolah dan 17 kasus kekerasan di sisa tahun pelajaran 2020-2021 setelah pandemi. Masih basah ingatan kita di bulan Juli 2022,  perundungan terjadi pada salah satu siswa kelas 6 SD di Tasikmalaya yang mengakibatkan kematiannya. 

Deretan peristiwa kekerasan fisik dan psikis di sekolah menunjukkan bahwa hasil pendidikan di Indonesia tidak ada bedanya dengan hasil pendidikan di negara-negara Barat. 

Pendidikan Karakter dan Budi Pekerti belum Cukup
Setiap pemberlakuan kurikulum, pendidikan karakter, moral, dan budi pekerti selalu diikutsertakan bahkan mendapat perhatian khusus dengan harapan masa depan generasi ini akan lebih baik. Akan tetapi faktanya, siswa semakin merosot moralnya. Perilakunya pun  makin brutal dan beringas. Perbuatan yang tidak pernah terbersit akan mereka lakukan, nyatanya terjadi. Itu artinya, pendidikan karakter dan budi pekerti saja tidak cukup. 
Mengapa masih terjadi padahal sudah ada pendidikan karakter? Kiranya inilah pertanyaan besar yang harus dijawab. 

Selama ini siswa hanya dinasihati tentang pentingnya nilai-nilai moral tanpa disertai upaya pembentukan kerangka berpikir dan bersikap yang khas dengan sudut pandang yang benar. Dengan pembentukan kerangka berpikir dan bersikap ini, mereka dapat menentukan sebuah perbuatan itu baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan standar yang khas dan paten.

Sudut pandang yang digunakan saat ini adalah sekularisme. Sebuah pandangan hidup yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Diakui maupun tidak, nyatanya ideologi ini menjadi ruh kurikulum merdeka. Tidak boleh ikut campurnya agama dalam kehidupan telah membentuk pola pikir dan pola sikap yang menjunjung tinggi kemerdekaan dalam berbagai aspek baik dalam beragama, berpendapat, berperilaku, maupun kepemilikan. Kerangka berpikir dan bersikap ala Barat ini tentu saja bertentangan dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang memeluk Islam. 

Di Indonesia, dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam sudah selayaknya menjadikan Islam sebagai sudut pandang dalam seluruh aspek kehidupan termasuk kepada para siswa. Sekolah sebagai tempat menimba ilmu idealnya menjadi tempat terbaik menanamkan Islam sebagai sebuah ideologi (mabda’). Siswa dibentuk kerangka berpikir dan bersikapnya dengan Islam. 

Hanya Islam yang membentuk kerangka berpikir dengan merenungi tentang hakikat keberadaan sang Pencipta, Allah swt. yang menciptakan langit, bumi, dan seisinya lengkap dengan aturannya sehingga tidak ada kisahnya matahari telat terbit. Demikian pula saat menciptakan manusia, Allah swt. telah sertakan Al Quran dan As Sunah untuk dijadikan pedoman hidup karena setiap perbuatan manusia terikat hukum Allah. Kedua pedoman inilah yang seharusnya ditanamkan kepada para siswa agar menjadi pola pikir dan sikapnya karena karena kelak di akhirat akan ada timbangan amal baik dan buruk. 

Islam Wujudkan Generasi Cemerlang

Ketika Islam menjadi mercu suar dunia, peradabannya gemilang, rakyatnya sejahtera, angka kriminalitas sangat rendah, anak-anak sangat terjamin pemenuhan hak dan kewajibannya. Selama 13 abad, lahir cendekiawan dan ilmuwan peletak berbagai disiplin ilmu dan teknologi saat ini. Sebut saja Al khawarizmi, penemu algoritma dan aljabar, Al Battani adalah ilmuwan di balik ketentuan hari dalam satu tahun, Ibnu Sina dikenal sebagai Bapak Kedokteran, Jabir Ibnu Hayyan dikenal sebagai Bapak Kimia.
.
Deretan panjang cendekiawan dan ilmuwan muslim di masa kejayaan Islam menunjukkan selain faqih fiddiin, mereka juga menguasai sains dan teknologi. Semua itu dilakukan demi meraih sebesar-besarnya kemaslahatan umat. Halal dan haram tetap menjadi pedomannya. 

Kini, ketika Islam semakin dijauhkan dari upaya pengaturan kemaslahatan manusia, maka malapetaka yang dituai. Alih-alih menciptakan generasi gemilang, yang ada justru anak-anak yang kehilangan jati diri, brutal, dan beringas. Maka sudah saatnya untuk kembali menjadikan Islam sebagai satu-satunya ideologi yang memimpin dunia. Yang dengannya kehidupan masyarakat dan negara ini diatur dalam tata nilai dan kehidupan bernama khilafah.

Post a Comment

Previous Post Next Post