Oleh: Varida Ummu Azka
(Aktivis Muslimah)
Dikutip dari media online Merdeka.com, banjir yang melanda Garut pada Jumat (15/7) malam menyebabkan hanyutnya sembilan rumah. Selain itu, puluhan rumah mengalami kerusakan
BPD kabupaten Garut mencatat sebanyak 4035 unit rumah terdampak dengan 11 unit lainnya rusak berat. Kemudian 13 kantor pemerintahan rusak sedang, 10 kantor pemerintahan rusak ringan. (m.republika.co.id, (18/7/22))
Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum menilai, banjir yang terjadi di Garut tidak hanya akibat curah hujan yang tinggi. Lebih dari itu, banjir karena adanya pembabatan dan alih fungsi lahan di kawasan hulu sungai.
Pemerintah propinsi Jawa Barat meminta masyarakat melakukan penggarapan secara rasional agar aktivitasnya tidak menyebabkan bencana. Pemerintah juga meminta warga yang selama ini tinggal di sempadan sungai untuk segera pindah agar tidak kembali menjadi korban saat banjir akibat luapan air sungai terjadi. Selain itu program untuk perbaikan sungai akan digalakkan. (m.merdeka.com, (17/7/22))
Bencana alam yang terjadi seharusnya bisa menyadarkan manusia dan menjadi muhasabah bersama negeri ini. Terutama terkait pertanyaan, kenapa bisa langganan terjadi banjir? Kenapa banjir tidak bisa terselesaikan? Setiap musim hujan maka banjir selalu datang? Sudah tepatkah solusi yang dilakukan mengatasi banjir? Atau mungkinkah negeri Pertiwi ini harus menilai bahwa banjir bagian dari takdir semata?
Akar Masalah Banjir
Terjadi bencana alam, termasuk banjir hampir menjadi langganan tiap tahunnya negeri ini. Beralihnya fungsi hutan menjadi permukiman, perkebunan serta bangunan lain, hingga penebangan pohon secara besar-besaran menjadi alasan utama terjadinya banjir.
Ironisnya, pemerintah sebagai pengatur tata kelola negeri belum memberikan solusi terbaik untuk mengatasi banjir. Sebaliknya, pemerintah menganggap penduduk yang bermukim di sekitar hulu sungai sebagai penyebab banjir. Padahal sebenarnya penduduk itu terpaksa bermukim di bantaran sungai yang tidak layak huni, karena berjuang susahnya hidup di ibu kota.
Adanya eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang terus berjalan tanpa kendali, banyak yang bablas dari pengawasan pemerintah. Celakanya, ketika terjadi bencana, penguasa hanya melakukan imbauan pada masyarakat dan teguran untuk rakyat kecil yang hidup di bantaran sungai. Pemerintah tidak terlihat mengupayakan untuk menghentikan eksploitasi besar-besaran yang berupa alih lahan hutan menjadi pemukiman, bangunan lain, perkebunan hingga penebangan liar.
Islam Solusi Terbaik
Bencana alam yang terjadi di negeri ini seharusnya menuntut manusia menyadari ke-Mahakuasaan Allah. Mengevaluasi perilaku individu dan sistem kehidupan yang diberlakukan terhadap alam. Menjaga kelestarian alam adalah salah satu bentuk syukur kita kepada Allah.
Namun, faktanya pengelolaan alam dengan basis Kapitalisme justru menghasilkan kerusakan hingga bencana. Sistem ini hanya peduli dengan manfaat dan keuntungan ekonomi meski harus mengorbankan lingkungan.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam menempatkan keselamatan rakyat di atas kepentingan lain. Negara yang menerapkan sistem Islam disebut Khilafah.
Penanganan bencana yang disebabkan faktor alam atau ulah tangan manusia harus berlangsung secara fundamental. Yaitu dengan tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitative. Inilah yang akan dilakukan Khilafah yang merupakan perisai dan pelindung umat.
Dalam aspek preventif, Khilafah menetapkan kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan. Pemanfaatan SDA untuk kemaslahatan umat manusia, serta politik ekonomi yang berbasis syari’at Islam. Khilafah memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam mencegah bencana seperti bendungan, kanal, pemecah ombak, tanggul, reboisasi atau penanaman kembali. Penanaman daerah aliran sungai dari pendangkalan. Relokasi, tata kota yang berbasis amdal. Serta pengaturan memelihara kebersihan lingkungan.
Khilafah akan menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai cagar alam, hutan lindung, dan kawasan buffer. Hal itu tidak boleh ada yang memanfaatkannya kecuali atas izin negara. Mensosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan dan memelihara lingkungan dari kerusakan. Serta mendorong kaum Muslimin untuk menghidupkan tanah mati. Sehingga bisa jadi buffer lingkungan yang kokoh.
Khilafah juga akan memberlakukan sistem sanksi tegas pada siapapun yang mencemari dan berupaya merusak lingkungan. Dalam aspek kuratif jika terjadi bencana, Khilafah akan melakukan langkah berikut:
Pertama, melakukan evakuasi korban secepatnya. Kedua, membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban. Ketiga, memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke tempat yang mana tidak dihuni manusia atau menyalurkan kepada saluran-saluran yang sudah siap sebelumnya. Keempat, mempersiapkan lokasi pengungsian, pembentukan dapur umum, dan posko kesehatan. Serta pembukaan akses jalan maupun komunikasi untuk memudahkan tim SAR berkomunikasi dan mengevakuasi korban yang terjebak bencana.
Adapun dari aspek rehabilitative, Khilafah melakukan recovery yaitu manajemen pasca bencana. Seperti memberikan pelayanan terbaik pada korban selama di pengungsian. Memulihkan psikis mereka agar senantiasa bersabar, tidak stres atau depresi atas cobaan yang menghampiri. Memenuhi kebutuhan vital mereka yaitu pakaian,makanan, obat-obatan, tempat istirahat yang layak, dan layanan kesehatan lainnya. Serta memberi nasehat dan tausiah untuk menguatkan akidah dan nafsiyah para korban.
Dalam mengatasi krisis iklim dan lingkungan yang menimpa negeri ini tidak akan pernah tercapai solusi tepat selama akar masalahnya belum terselesaikan. Yakni penerapan ideologi Kapitalisme. Oleh karena itu hari ini umat membutuhkan penerapan ideologi Islam di bawah institusi Khilafah Islam. Lalu, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?(Q.S. Al-Ma’idah : 50)
Wallahu’alam bisshawab
Post a Comment