Oleh: Rahmawati Ayu Kartini
(Pemerhati Sosial)
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengatakan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) menjadi salah satu program unggulan pemerintah dalam mengatasi permasalahan dunia
pendidikan tinggi saat ini, yaitu penyerapan tenaga kerja dan relevansi lulusan dengan dunia industri.
pendidikan tinggi saat ini, yaitu penyerapan tenaga kerja dan relevansi lulusan dengan dunia industri.
Program MBKM ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas dan mutu lulusan perguruan tinggi. Program MBKM tersebut dapat menjadi simulasi awal bagi mahasiswa sebelum memasuki dunia kerja dan dunia usaha.
Melalui program MBKM, mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk 1 (satu) semester (setara dengan 20 SKS) menempuh pembelajaran di luar program studi pada perguruan tinggi yang sama; dan paling lama 2 semester atau setara dengan 40 SKS menempuh pembelajaran pada program studi yang sama di perguruan tinggi yang berbeda, pembelajaran pada program studi yang berbeda di perguruan tinggi yang berbeda; dan/atau pembelajaran di luar perguruan tingginya.
Pertukaran pelajar, magang, riset, dan proyek kemanusiaan adalah beberapa kegiatan yang dapat diikuti dalam program MBKM. ( _Antara News_)
Saat ini program MBKM tersebut telah mulai diterapkan oleh sejumlah perguruan tinggi. Namun untuk dapat menerapkan kebijakan ini, perguruan tinggi harus mempersiapkan diri agar dapat menjalankan program ini sesuai dengan karakteristik perguruan tinggi dan sumberdaya yang dimiliki.
*MBKM Produk Kapitalisme*
Mungkin terlihat seperti sebuah tuduhan, tetapi demikianlah kenyataannya. MBKM adalah produk sistem kapitalisme. Ini karena nyatanya sistem yang melingkupi kita hari ini adalah kapitalisme, bukan sosialisme, bukan pula sistem Islam.
Oleh karenanya, tidak heran jika berbagai tata aturan dan kebijakan (tataran suprasistem maupun subsistem) tidak lepas dari standar dalam kapitalisme, yakni sekularisasi yang menjadikan materi sebagai tujuan di setiap aktivitasnya atau “money oriented”. Semua hal dikomersialkan demi teraihnya keuntungan materi.
Begitu pun dalam dunia pendidikan. Jauh sebelumnya, perguruan tinggi (PT) telah ditetapkan sebagai badan hukum. Konsekuensinya, berkurangnya subsidi di bidang pendidikan sehingga kampus berkewajiban mendanai dirinya sendiri.
Mendikbudristek Nadiem menjamin tidak ada penghapusan subsidi, bahkan justru PT akan lebih dinamis dan mandiri dan bisa bebas melakukan kontrak dengan pihak ketiga tanpa berbelit birokrasi. Namun, nyatanya, PT sibuk mencari pemasukan untuk operasional kampus, baik membuat unit usaha lebih kreatif, juga tarikan UKT yang bervariatif pada mahasiswa.
Kini, kurikulum MBKM juga tidak lepas dari mengejar keuntungan materi semata. Ini bisa terlihat dari penggalan latar belakang munculnya kurikulum MBKM, “Dalam rangka menyiapkan mahasiswa menghadapi perubahan sosial, budaya, dunia kerja, dan kemajuan teknologi yang pesat, kompetensi mahasiswa harus disiapkan untuk lebih gayut dengan kebutuhan zaman. Link and match tidak saja dengan dunia industri dan dunia kerja, tetapi juga dengan masa depan yang berubah dengan cepat.”[i]
Tingginya populasi penduduk Indonesia dengan jumlah usia mahasiswa (19—23 tahun sebesar 80—107 juta atau 68,7% total penduduk) merupakan pasar potensial industri pendidikan dunia.
Jika MBKM dinarasikan dalam rangka menyiapkan lulusan PT yang tangguh dalam menghadapi perubahan, pada kenyataannya sebatas menyiapkan lulusan PT untuk siap kerja semata.
Artinya, dengan kurikulum MBKM, capaian pembelajaran di PT ditentukan oleh pengguna atau pasar. Jika demikian, wajar jika muncul pandangan, “Untuk apa sekolah susah-susah jika belum tentu dapat kerja?” Dorongan menuntut ilmu pun hilang. Seperti baru-baru ini, tawaran beasiswa sekolah Menparekraf Sandiaga Uno ditolak oleh “artis” remaja SCBD. Si remaja berdalih takut mengecewakan jika nanti justru malas-malasan sekolah. Ia lebih memilih “berkarier” sebagai influencer dengan konten, di-“endorse”, dan hal-hal yang membuat uang cepat datang.
Selain itu, MBKM berjanji akan memberikan lembaga pendidikan (kampus) kebebasan dan otonomi, merdeka dari birokratisasi. Dosen dibebaskan dari birokrasi berbelit dan mahasiswa diberikan kebebasan memilih bidang yang mereka suka.
Ternyata, justru itu bisa mengantarkan pada tidak kompetennya mahasiswa pada bidang yang awalnya ia tekuni. Contohnya, mahasiswa FKG yang menghadapi ujian kompetensi dokter gigi. Apabila ia mengganti 20 SKS dengan salah satu program MBKM, semisal program pertukaran pelajar atau wirausaha, jelas tidak “nyambung”. Oleh sebab itu, janji semu kebebasan senyatanya mengantarkan pada ketakkompetenan lulusan di semua bidang.
Juga kalau kita runut lebih jauh, yakni pada tuntutan agar lulusan pendidikan siap kerja, nyatanya negara tidak menyiapkan lapangan kerja untuk mereka. Justru sebaliknya, keran terbuka lebar bagi TKA masuk ke Indonesia. Ini terbukti pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur.
Salah satunya pada proyek Kereta Cepat Jakarta—Bandung (KCJB). Deputi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Pungky Sumadi yang ikut dalam kunjungan kerja Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) beberapa waktu lalu, kaget menyaksikan banyaknya TKA asal Cina yang terlibat dalam pengerjaan megaproyek tersebut. Bahkan, untuk pekerjaan mengelas rel KA.
Jika tenaga siapa kerja saja tidak terserap, lantas mau dikemanakan mahasiswa lulusan PT? Kalaupun di MBKM mereka mendapatkan kesempatan magang di industri, tetapi tetap saja berbeda posisi dengan pekerja tetap.
Lagi-lagi, justru keuntungan besar kembali dikeruk oligarki sebab mahasiswa magang memang tidak perlu digaji. Mereka seolah robot untuk mencetak uang bagi industri. Begitu pula link and match antara industri dan PT, makin menyempurnakan keuntungan oligarki dengan hak memiliki laboratorium penelitian tanpa perlu membangun dari awal. Semua sudah disediakan oleh PT.
*Kikis Jati Diri Muslim*
Kurikulum MBKM tidak hanya mempersiapkan mahasiswa menjadi sekrup-sekrup ekonomi kapitalisme. Ada yang lebih parah dari itu, yakni jati diri mahasiswa muslim terancam terkikis dengan kurikulum ini. Ini tampak dalam salah satu program MBKM, yakni pertukaran pelajar.
Pertukaran yang setara dengan 20 SKS ini ditujukan untuk meningkatkan wawasan kebangsaan, integritas, solidaritas, dan wadah perekat kebangsaan antarmahasiswa se-Indonesia melalui pembelajaran antarbudaya. Selain itu, mengembangkan kemampuan kepemimpinan dan soft skills mahasiswa yang mampu bergaul dengan beragam latar belakang untuk meningkatkan nilai persatuan dan nasionalisme.
Pada praktiknya, mahasiswa akan saling mengunjungi tempat ibadah agama lain dan mempelajari praktik ibadah mereka. Setelah ditutup dengan penugasan, para mahasiswa diharapkan muncul rasa toleransi, tidak merasa agamanya yang paling benar, dan bersikap terbuka dengan pemahaman dan pendapat yang lain.
Demikianlah, tidak akan muncul lagi sosok pemuda Islam yang bangga dengan agamanya yang kukuh memegang kebenaran yang bersumberkan Al-Qur’an dan Sunah. Mereka menjadi generasi lemah dan mudah menyerah; membebek arus kuat di lingkungannya.
Tingkat intelektualitas mereka pun menjadi merosot ketika menjadikan materi sebagai orientasi dalam menuntut ilmu. Tradisi orang berilmu akan hilang saat hati mereka digenggam materi duniawi.
Imam Al-Ghazali menggambarkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, “Tradisi orang berilmu adalah mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Mereka mengikhlaskan niat. Pernyataannya pun membekas di hati. Namun sekarang, terdapat penguasa yang zalim, tetapi orang-orang berilmu hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa akibat kerusakan orang-orang berilmu. Adapun kerusakan orang-orang berilmu akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapa pun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk mengingatkan penguasa dan pembesarnya.”
*Keberkahan Pendidikan Hanya dengan Islam*
Tidak kita pungkiri, kemajuan Industri merupakan salah satu indikator kemajuan sebuah negara. Dengan mencermati fakta di lapangan, setiap negara maju selalu ditandai dengan dua hal.
Pertama, memiliki persentase sumber daya manusia cerdas, seperti para ilmuwan, insinyur, peneliti, ataupun penemu.
Kedua, menguasai sains dan teknologi maju karena inovasinya. Namun, bukan berarti meraihnya melalui jalan pintas dengan menjadikan orientasi pendidikan dengan masuk dunia kerja semata.
Ada hal mendasar yang harus terwujud terlebih dahulu dalam suatu negara, yakni kekuatan ruhiyah. Inilah yang ditunjukkan dalam kehidupan bernegara pada masa Rasulullah saw. ketika Negara Islam baru berdiri di Madinah.
Kala itu, belum banyak manusia cerdas yang menguasai sains dan teknologi. Akan tetapi, kekuatan ruhiyah telah memberi energi pada mereka untuk berburu sains dan teknologi ke berbagai penjuru dunia. Mereka pun dibekali motivasi agar menjadi umat terbaik di dunia, membawa misi menyebarkan rahmat ke seluruh alam.
Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Anbiya: 107,
ÙˆَÙ…َØ¢ اَرْسَÙ„ْÙ†ٰÙƒَ اِÙ„َّا رَØْÙ…َØ©ً Ù„ِّÙ„ْعٰÙ„َÙ…ِÙŠْÙ†َ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”
Dari sini, kita bisa melihat bahwa kunci keberkahan dalam kehidupan—termasuk di dunia pendidikan—adalah menjadikan akidah Islam sebagai landasan dalam membangun manusia dan bertujuan membentuk sosok yang berkepribadian Islam. Segala kecakapan ilmunya ditujukan untuk menjadi sebaik-baik hamba Allah Taala.
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)
Menghadirkan landasan tersebut pada hari ini menjadi suatu hal yang dipandang mengancam dalam tatanan kapitalisme. Namun, mendiamkannya terus berlangsung merupakan tindak kemaksiatan.
Oleh karenanya, wajib bagi mahasiswa membangun arus politik sendiri, bukan sebaliknya, malah larut dan mengukuhkan proyek mereka. Berangkat dari mengukuhkan akidah serta membangun kekuatan ruhiyah dengan terlibat aktif dalam megaproyek membangun peradaban Islam yang mampu berhadapan “apple to apple” dengan peradaban Barat.
Memang, membangun proyek ini tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh kerja keras, pengorbanan, dan kesabaran berlipat. Tidak ada waktu untuk menunda. Harus dimulai sekarang. Wallahualam bissawab.
Post a Comment