(Anggota Komunitas Sahabat Hijrah Balut-Sulteng)
Baru-baru ini seorang siswi SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, DIY, mengalami depres. Diduga depresi usai dipaksa gurunya memakai jilbab. Peristiwa itu terjadi pada masa pengenalan lingkungan sekolah atau MPLS.
Siswi tersebut saat mengikuti MPLS disebut nyaman-nyaman saja. Hanya saja pada tanggal 19 Juli, anak tersebut dipanggil oleh tiga guru Bimbingan dan Konseling (BK)--istilah baru dari Bimbingan dan Penyuluhan (BP). Saat itulah, diduga siswi tersebut dipaksa untuk menggunakan jilbab. Akibatnya, ia terkena, depresi, dan mengurung diri di kamar. (kumparannews.com, 31/07/2022)
Namun, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY baru-baru ini telah melakukan klarifikasi ke pihak SMAN 1 Banguntapan terkait aduan memaksa siswi pakai hijab. Hasilnya, Disdikpora mengungkap tak ada pemaksaan siswi untuk mengenakan jilbab atau hijab.
"Tidak ada pemaksaan dalam memakai jilbab itu," kata Wakil Kepala Disdikpora DIY, Suhirman, usai klarifikasi terhadap SMAN 1 Banguntapan di Kantor Disdikpora DIY. (Detikjateng, 01/08/2022).
Sehingga, penggiringan opini yang menyatakan seorang siswi SMA di Banguntupan yang dipaksa menggunakan jilbab atau hijab oleh pihak sekolah jelas keliru dan tidak benar.
Aturan seragam sekolah sejak Indonesia merdeka sering berubah-ubah terutama menyangkut penggunaan hijab. Sempat ada pelarangan menggunakan hijab pada dekade 1970-an. Kemudian tahun-tahun setelahnya muncul lagi kebijakan wajib hijab pada 1990-an.
Kini, diketahui situasi berubah sejak tiga menteri Jokowi menerbitkan kebijakan baru yakni melarang mewajibkan sekaligus melarang pengekangan pemakaian seragam agama tertentu kepada siswa hingga guru. Ketiga Menteri tersebut yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, dan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Institusi sekolah tidak boleh lagi mewajibkan siswa maupun tenaga kependidikan menggunakan seragam dengan atribut keagamaan tertentu. Artinya bahwa penggunaan seragam keagamaan tertentu merupakan keputusan murid dan guru secara individu. (tirto.id, 04/04/2021)
Peraturan wajibnya penggunaan hijab di sekolah memang telah dicabut sejak SKB tiga Menteri diterbitkan dan disetujui. Dengan demikian, siswi maupun guru yang beragama Islam secara bebas memilih untuk menggunakan hijab ataupun tidak dilingkungan sekolah itu sendiri.
Namun demikian, sekolah dan guru juga pada dasarnya punya hak untuk mengajarkan dan membiasakan para siswi muslim untuk menggunakan hijab. Apalagi negeri ini adalah mayoritas muslim. Lantas jika melihat kasus diatas benarkah ini termasuk pelanggaran HAM?
Sistem Sekuler Membentuk Generasi yang Jauh dari Aturan Syariat
Memakai hijab seperti yang kita ketahui adalah wajib bagi wanita muslimah yang sudah balig. Hal ini adalah aturan Islam. Namun, realitanya banyak sekali kita dapati para wanita yang enggan menutup auratnya. Padahal mereka adalah seorang muslimah dimana kewajiban mereka adalah menutup auratnya secara sempurna ketika sudah balig.
Pemahaman terkait menutup aurat sangat jauh dari benak muslimah pada saat ini. Sehingga mereka pun enggan untuk menutup aurat. Keengganan para muslimah untuk menutup auratnya adalah hasil dari didikan sistem sekuler. Sistem sekuler yang memisahkan antara agama dan kehidupan pada hakikatnya akan melahirkan generasi yang minim pemahaman dalam mengamalkan syariat. Bahkan dalam perkara menutup aurat bagi muslimah.
Dalam sistem sekuler, meniscayakan terbentuknya generasi dengan karakter liberal, yakni bebas melakukan apa yang dikehendaki sekalipun itu harus bertentangan dengan syariat. Contohnya, menutup aurat ataupun tidak dikembalikan kepada individu masing-masing. Begitupun dengan kewajiban lainnya seperti salat, puasa, zakat dan sebagainya. Semua dibalut dengan nama hak asasi manusia (HAM).
Hal tersebut menjadikan manusia dengan mudahnya menentukan kehidupannya sendiri. Kebebasan berekspresi juga tidak bisa dimungkiri terjadi, sehingga batas-batas yang ditentukan syarak cenderung dilupai. Semua Lagi-lagi dengan mengatasnamakan HAM dan kebebasan berekspresi. Akibatnya, dalam mengamalkan syariat dikembalikan kepada pilihan individu masing-masing yang tidak boleh diganggu gugat. Inilah realita yang terjadi sekarang.
Sistem Islam Mendidik Generasi untuk Taat Syariat
Jika melihat dalam sistem sekuler, HAM seolah-olah menjadi tameng kebebasan berekspresi. Sementara dalam Islam tidak demikian. Dalam Islam, tidak mengenal yang namanya HAM dan kebebasan. Sebab, semua harus tunduk pada syarak. Dalam artian, syariat yang turun dari Allah Sang Pencipta menjadi tolak ukur entah berpenampilan, bersikap maupun berpikir.
Sistem Islam akan membina masyarakat dan generasi muda dengan akidah yang benar. Hal ini bertujuan agar mereka memahami tujuan hidup di dunia dan untuk apa Allah menciptakan mereka. Bila sudah terjawab, maka implementasi keimanan dan tauhid mereka adalah tidak lain dengan tunduk sepenuhnya kepada apa yang Allah Swt. turunkan (Syariat).
Salah satu contohnya wanita yang telah balig. Ia akan menutup auratnya secara sempurna (kafah) atas dasar kesadaran dan keimanannya kepada Allah Swt. Di samping itu, negara dalam Islam akan memperlakukan sanksi tegas kepada masyarakat yang dengan sengaja melanggar hukum syarak.
Karena dalam sistem Islam setiap aturan yang diterapkan pemimpin adalah bertujuan agar masyarakat dan generasi beriman dan bertaqwa tunduk sepenuhnya pada syariat, menjauhkan liberalisme dan kekufuran lainnya yang dapat mengakibatkan rusaknya akidah.
Islam juga mencegah yang namanya sifat individualis. Sebab, masyarakat dalam sistem Islam akan senantiasa beramar makruf nahi mungkar. Mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar sebagaimana Allah Swt. telah mewajibkan.
Maka dari itu, apakah saat ini kita mau tetap pada kekufuran sekularisme, atau kembali kepada Islam sebaik-baik aturan yang diturunkan dari Allah Swt.?
Wullahua'lam bishshawab
Post a Comment