Siswi di DI Yogyakarta diakui depresi karena dipaksa mengenakan hijab
oleh pihak sekolah pada masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS). Selepas
kejadian, siswi SMAN 1 Banguntapan tersebut mengurung diri di kamar. Ombudsman
RI DIY pun menilai bahwa perintah mengenakan hijab di sekolah nonagama termasuk
dalam perundungan. Evaluasi pun mulai dilakukan pada semua SMA negeri di DI
Yogyakarta. Peristiwa ini pun menuai banyak komentar dari berbagai sudut
pandang. Beberapa menilai bahwa sudah sepatutnya sekolah mengajarkan
menggunakan hijab sebagai kewajiban muslim. Namun, lebih banyak netizen yang beropini
mengenai perlunya kebebasan berpakaian di sekolah.
Sebagai umat muslim, kita sadar bahwa hijab adalah kewajiban bagi
Muslimah. Namun, arus isu yang mengalir membuat kita mulai bertanya-tanya,
bagaimana jika hijab adalah bentuk pemaksaan yang membuat orang tertekan secara
mental? Sisi opini manakah yang harus kita ambil?
Kewajiban hijab di beberapa sekolah negeri di Indonesia sudah mulai diterapkan
tak kurang dari satu dekade yang lalu. Kebijakan sekolah ini muncul karena kesadaran
guru akan penerapan kewajiban agama. Sebagai pendidik, para guru merasa
bertanggung jawab akan pengambilan keputusan siswa-siswinya dalam berbagai
aspek, terutama berpakaian. Para guru ingin siswanya berilmu dunia serta
akhirat dengan menerapkan “pemaksaan” hijab di sekolah. Akan tetapi, hal ini
pun dipandang salah oleh masyarakat karena sekolah yang tidak berbasis Islam
dianggap tak memiliki dasar dalam pewajiban hijab.
Secara umum, sekolah negeri diharapkan pemerintah untuk dapat menjadi
pusat pendidikan kebhinekaan. Dengan itu, ditanamkan pula bahwa agama tak boleh
ikut campur dalam penentuan tata tertib sekolah karena hal tersebut dianggap menyalahi
konsep keberagaman. Ketaatan beragama pun menjadi urusan masing-masing siswa. Merasa
familier? Benar, pemisahan agama dari kehidupan mulai masuk dalam alam bawah
sadar generasi kita. Sistem sekuler pun menjadi dasar pengambilan keputusan
dalam kehidupan.
Dilema antara keinginan sekolah dalam mengajarkan kebaikan pada murid
dan dugaan indoktrinasi ideologi pun muncul dalam sektor pendidikan kita. Sekolah
seharusnya menjadi pusat pendidikan yang komprehensif, dimana sains diajarkan secara
bersamaan dengan moral. Sudah sepatutnya sekolah memperhatikan masa depan murid
didiknya dengan mengajarkan panduan hidup, termasuk dalam berpakaian. Pewajiban
hijab adalah bentuk dari keprihatinan sekolah terhadap generasi yang sudah tererosi
oleh derasnya arus sekularisasi dari barat. Tak ubahnya pewajiban seragam agar
tak ada kesenjangan antarsiswa serta pemberian pekerjaan rumah agar siswa terbiasa
belajar mandiri, perintah berhijab di sekolah ditujukan agar siswi Muslimah terbiasa
melaksanakan kewajibannya.
Pendidikan adalah bagian dari fokus negara yang ditangani langsung oleh pemerintah. Dengan demikian, kebijakan mengenai sistem yang diterapkan pun tak lepas dari keputusan pemerintah. Dalam Islam, pendidikan dipandang sebagai kebutuhan primer bagi setiap individu. Sistem Islam memungkinkan akses tak terbatas pada pendidikan. Bersamaan dengan itu, artinya negara pun turun tangan dalam penyelenggaraan sekolah yang bertanggung jawab akan semua aspek pengajaran. Rakyat paham betul bahwa semua yang datang dari sekolah adalah untuk kebaikan anak-anak didik semata. Istilah “guru adalah orang tua di sekolah” tak hanya menjadi slogan. Dengan pemahaman penuh akan peran masing-masing pihak, sekolah dapat berkembang menjadi pusat pembangunan generasi. “Pencekokan ide” pun menjadi penting agar siswanya berada dalam jalan kebenaran, bukan untuk diperdebatkan atau digugat. Selain itu, tujuan pendidikan dalam Islam jelas untuk mencetak kepribadian Muslim. Sehingga kewajiban menutup aurat akan menjadi bagian yang dikondisikan dalam pembelajaran.
Post a Comment