Oleh: Endah Fitri Lestari
(Aktivis Dakwah)
Tok! RUU TPKS resmi disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada April 2022 lalu. Keputusan ini tentunya disambut dengan sangat baik oleh kaum perempuan, terkhusus para aktivis perempuan yang sudah lama mengawal RUU TPKS ini. Suasana haru seketika meliputi ruang rapat yang dipimpin oleh Puan Maharani saat itu. Puan berkata pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang adalah hadiah yang dipersembahkan untuk seluruh perempuan Indonesia dan kemajuan bangsa Indonesia. Menurutnya, UU TPKS adalah hasil kerja dan komitmen bersama untuk menegaskan bahwa di Indonesia tidak ada tempat bagi kekerasan seksual (antarnews.com).
Desakan akan segera disahkannya RUU TPKS sebenarnya telah lama digaungkan oleh aktivis perempuan tanah air. Desakan tersebut bukanlah tanpa sebab dan alasan. Hal ini menjadi bukti masih buruknya peran negara ini dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan. Roos Diana Iskandar, Asisten Deputi Pemenuhan Hak, Perlindungan, dan Pemberdayaan Perempuan Kemenko PMK dalam suatu kesempatan mengungkapkan bahwa RUU TPKS sangat urgen dirasakan sebab regulasi nasional yang ada belum cukup untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual. Para aktivis perempuan memandang UU TPKS adalah salah satu upaya yang tepat dalam mengatasi kasus kekerasan seksual yang kian hari kian memprihatinkan.
Tiga bulan berlalu setelah RUU TPKS disahkan, mari kita lihat apakah keadaan perempuan hari ini sudah membaik? Dalam beberapa bulan terakhir ini saja, kasus pelecehan seksual secara massif masih terus terjadi di sekitar kita. Di bulan Juni 2022 lalu misalnya, seorang perempuan melalui akun twitter miliknya mengunggah sebuah video pelecehan yang ia dapatkan di dalam kereta api. Dalam video tersebut tampak seorang laki-laki yang duduk bersebalahan dengannya itu berusaha untuk meraba-raba paha sang perempuan. Pada awal bulan Juli 2022, Kembali terjadi kasus pencabulan yang dilakukan oleh salah seorang anak kiai pengasuh Pondok Pesantren Shiddiqiyah Ploso, Jombang. Bechi yang diduga telah mencabuli lima santriwati yang tengah menimba ilmu di pesantren tersebut pun saat ini dikabarkan tengah menjalani pemeriksaan terkait kasus yang menjeratnya tersebut. Setelah itu, publik kembali dibuat geram dengan munculnya kembali kasus pelecehan yang dilakukan oleh seorang motivator terkenal Bernama Julianto Eka Putra. Jika dulu para korban memilih untuk bungkam, kini satu persatu korban dari aksi bejat sang motivator mulai berani untuk speak up di media. “Beberapa dari kita ada yang tidak berani speak up karena memang sangat takut sama orangnya, karena JE ini sangat berpengaruh” ujar salah satu korban saat diwawancara dalam sebuah podcast.
Dilansir dari suara.com, Julianto Eka Putra telah dilaporkan pada Mei 2021, dan telah ditetapkan sebagai tersangka pada 5 Agustus 2021. Namun hingga kini sang predator seks tersebut masih bebas melanglang buana dan tak kunjung ditahan oleh pihak berwenang. Maka tak heran jika akhirnya banyak orang yang berasumsi bahwa ada Julianto ini adalah “orang kuat” karena terkesan kebal hukum. Dimana kah keadilan?
Kejadian ini pun kembali mengingatkan saya pada kisah seorang ibu di Bekasi. Pada bulan Desember 2021 lalu, seorang ibu berinisial DN menangkap sendiri pelaku pencabulan anaknya yang merupakan tetangganya sendiri (vice.com). Singkatnya, dengan alasan prosedur polisi menolak untuk mengusut kasus pelecehan yang menimpa anaknya dan meminta sang ibu untuk menangkap sendiri pelakunya. Sekali lagi, dimana kah keadilan? Di tengah bobroknya kepercayaan publik kepada polisi, dengan adanya berita demikian saya yakin image polisi akan semakin buruk di mata publik. Tagar #percumalaporpolisi adalah salah satu buktinya. Sepertinya, sudah banyak dari kita yang mulai muak dan lelah dengan sistem yang sakit ini.
Pelecehan Seksual dalam Islam
Kasus pelecehan seksual pun pernah terjadi di masa kepemimpinan Islam. Dulu di masa kekhalifahan Al-Mu'tasim Billah, ada seorang budak perempuan yang dilecehkan oleh pemuda Romawi. Kemudian perempuan itu refleks berteriak memanggil Al-Mu'tasim Billah untuk meminta pelindungan. Sesaat setelah berita itu sampai ke telinga sang khalifah, beliau pun langsung mengutus ribuan pasukan ke Ammuriah (Turki) hanya untuk membela kehormatan satu budak perempuan.
Begitulah gambaran ketika syariat Islam diterapkan secara keseluruhan, bukan hanya untuk mengatur kehidupan individu namun juga mengatur kehidupan bernegara. Islam begitu memuliakan perempuan, sehingga wajib bagi negara untuk melindungi siapa saja yang patuh pada aturan Sang Pencipta, termasuk para kaum perempuan. Bayangkan saja, seorang kepala negara menyeru ribuan pasukan untuk membela kehormatan satu perempuan. Coba bayangkan betapa sejahteranya perempuan-perempuan yang hidup pada masa itu.
Tentunya, kisah di atas sangat berbanding terbalik dengan realita yang ada saat ini. Saat syariat Islam dicampakkan, dibuang, dan dianggap sesuatu yang dapat merusak keutuhan negara. Lihat, apakah dengan sistem yang kita pilih dan pakai hari ini (sistem demokrasi), negeri kita menjadi lebih baik? Silakan jawab sendiri.
Yuk kembali kepada sistem Islam, kembali kepada aturan Sang Pencipta.
Post a Comment