NIK Jadi NPWP, Stop Bayar Pajak Hanya Ilusi

Oleh: Dyandra Verren

Aktivis Muslimah

 

Mulai 14 Juli 2022, Nomor Induk Kependudukan (NIK) digunakan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku. Peraturan ini berangsur masa transisinya hingga berlaku penuh pada 1 Januari 2024. Pemerintah mengambil keputusan ini karena dinilai akan memudahkan transaksi pajak masyarakat yang termasuk dalam kelompok bisa membayar pajak.


Dijelaskan bahwa tidak semua masyarakat yang memiliki NIK, KTP dan berumur 17 tahun termasuk wajib pajak melainkan tetap mengacu pada UU HPP. Di dalam UU HPP, warga yang penghasilan per bulannya tak lebih 4,5 juta tidak wajib membayar pajak. Konsep integrasi nomor ini diadopsi dari Amerika Serikat yang mana AS telah menggunakan satu social security number untuk menangani berbagai macam keperluan dan meminimalisir keribetan birokrasi.


Tak berselang lama masyarakat pun dibuat heboh dengan viralnya hashtag #stopbayarpajak yang tersebar luas di media sosial twitter. Hal ini langsung ditanggapi oleh Menteri Keuangan dengan mengatakan bahwa masyarakat yang tidak bayar pajak berarti tidak ingin tinggal di Indonesia atau melihat Indonesia menjadi bagus. Namun, dilansir oleh Continuum Data Indonesia, hashtag tersebut muncul sebab berbagai macam kepelikan yang kini terjadi, karena pemerintah memberhentikan subsidi bahan bakar dan bahan pokok, harga-harga kebutuhan di pasar yang melambung tinggi, pembiayaan proyek IKN yang dinilai belum merupakan urgensi dan biaya buzzer yang siap kapan saja membela pemerintah atas segala kritikan.


Masyarakat menilai stop bayar pajak agar negara mandiri dengan utangnya. Selain itu, sekalipun sudah taat bayar pajak tetapi fasilitas yang didapat tidak sama, ini menggambarkan kinerja pemerintah yang belum maksimal. Belum lagi pajak malah tajam ke bawah tumpul ke atas, semakin kaya malah belum tersentuh pajak. Permasalahan ini merefleksikan beratnya beban rakyat yang semakin menghimpit dengan beragam pajak karena pajak telah dijadikan sumber utama pemasukan negara selain utang.


Alih-alih mengundang simpati para penguasa, tidak membayar pajak hanyalah ilusi. Masyarakat malah diancam pidana maupun sanksi moral. Pemerintah membuat identitas kependudukan diintegrasikan menjadi kartu wajib pajak. Kebijakan yang jelas jauh dari pemberi riayah dan solusi bagi rakyat.


Indonesia yang katanya memiliki potensi sumber daya yang besar mulai dari pertambangan, pariwisata, perikanan merana karena hasil kekayaan alam itu tidak bisa dinikmati maksimal masyarakat kita. Kekayaan tersebut sebagian besar malah dikuasai asing sebagai bentuk liberalisasi ekonomi, sehingga negara hanya mendapat pajak yang tidak seberapa. Negara yang mengadopsi sistem kapitalisme tidak akan bisa meraih kesejahteraan rakyat dan keadilan yang absolut bagi seluruh rakyatnya.


Kapitalisme menumpukkan pendapatan negara melalui pajak dan utang, sangat berbanding terbalik dengan Islam karena Islam bahkan melarang kedua hal tersebut dilakukan. Sistem Islam yang datang sebagai solusi segala permasalahan, mampu membiayai negara tanpa pajak dan utang. Pos pendapatan utama daulah secara umum ada 3 yaitu: pos fai dan kharaj (terdiri dari ganimah, kharaj, tanah, jizyah, fai dan dharibah), pos kepemilikan umum (terdiri dari pertambangan, perikanan, perairan, ladang, perkebunan, dan sebagainya), dan pos Sedekah (zakat uang dan dagang, zakat peternakan dan peternak dan sebagainya).


Selain itu, Islam membagi kepemilikan menjadi 3 juga yakni kepemilikan umum, negara dan individu. Masing-masing harus sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya. Dengan begini Islam bisa menyejahterakan rakyat tanpa memungut pajak. Ini sudah pernah dicontohkan selama 13 abad kekhilafahan. Salah satu sumber pemasukan negara yakni dharibah banyak sekali orang yang menyamakannya dengan pajak, padahal faktanya sangat berbeda. 

 

Dharibah hanya dipungut saat kas negara kosong atau tidak mencukupi, bersifat insidental dan hanya ditujukkan pada orang-orang kaya atau kelebihan harta. Dharibah tidak boleh diwajibkan lebih dari kebutuhan untuk pembiayaan karena bisa terkategori al-maksu atau cukai. Selanjutnya, hukum pajak dalam Islam menurut kesepakatan ulama Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah haram. Jadi, sudah sepantasnya sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar pemerintah Indonesia berpindah dari kapitalisme pajak dan menggunakan Islam sebagai solusinya.[]

 

Post a Comment

Previous Post Next Post