NIK JADI NPWP, STOP BAYAR PAJAK HANYA ILUSI

Oleh : Helmy Agnya

Pemerintah bagai nelayan yang mencari ikan. Menghalau ikan untuk memaksa masuk dalam perangkap, kurang lebih seperti itu kebijakan yang tengah diresmikan oleh pemerintah saat ini. Memasang berbagai perangkap untuk menjerat rakyatnya dengan berbagai beban yang berat.

Seperti yang terlansir di Bisnis.com. Pemerintah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh.

Dengan diresmikannya penggunaan NIK sebagai NPWP justru dinilai mempermudah administrasi bagi kedua belah pihak, baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Penggunaan NIK Sebagai NPWP akan memudahkan masyarakat. Masyarakat tak perlu lagi mencatat begitu banyak nomor identitas sedangkan pemerintah akan mudah memberikan pelayanan masyarakat lantaran hanya menggunakan NIK sebagai identitas tunggal.

Merespon hastag Stop Bayar Pajak. Akhirnya ramai diperbincangkan di media sosial. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan turut merespons persoalan ini, Sri Mulyani menyampaikan mereka yang tak mau bayar pajak artinya tidak ingin melihat Indonesia maju. Menurutnya, ajakan-ajakan tersebut juga lebih baik tidak perlu ditanggapi.

Seruan #stopbayarpajak menandakan begitu beratnya beban rakyat, yang semakin menghimpit dan menambah daftar panjang kesulitan rakyat dengan beragam pajak. Sebab, pajak telah dijadikan sumber utama pemasukan negara selain utang. Alih-alih dirasakan oleh para penguasa, malah diancam pidana maupun sanksi moral di saat rakyat menyuarakan keinginan bebas dari beban pajak. Malah pemerintah menerapkan aturan yg memastikan tidak ada yg lolos dari jerat pajak. Karena identitas kependudukan diintegrasikan menjadi kartu wajib pajak.

Kebijakan tersebut telah jelas menggambarkan, betapa rezim sekuler kapitalis adalah rezim pemalak. Bukan pemberi riayah dan solusi bagi rakyat. Memaksakan sesuai keinginan penguasa. Tak peduli lagi rakyat kesusahan, asal keuntungan cuan dinomorsatukan. Tersebab sistem kapitalisme, bukan Su'uunil Ummah dalam menjalankan kekuasaan, melainkan cuan alias asas manfaat yang menjadi tujuan.

Seperti halnya pajak yang menjadi salah satu jalan bagi mereka untuk meraup keuntungan. Karena, dengan menarik cuan dari pajak inilah bisa membayarkan hutang-hutang negara atas keserakahan mereka.

Persoalan rakyat mampu berbayar ataukah tidak, rakyat kelaparan ataukah tidak ? Tidak akan terselipkan dalam dada-dada mereka, semasih aturan yang mereka pakai adalah aturan buatan manusia, yang lahir dari pemikiran dan hawa nafsu manusia. Yakni, sistem kapitalisme yang segala kebijakannya mencekik hidup rakyat secara perlahan, lalu mati.

Padahal kekayaan sumber daya alam di dalam negeri ini begitu luarbiasa. Negara yang berpotensi cadangan mineral sangat tinggi, cadangan nikel yang menempati posisi ketiga teratas dunia. Dan Indonesia mencatat kontribusi sebesar 39% untuk produk emas. Belum lagi hutan yang luas, dan kekayaan lautan yang dimiliki Indonesia yang sangat luas, dll nya. Namun sayang, semua kekayaan itu hanya profil negara. Yang hanya dinikmati oleh swasta dan asing, bukan dinikmati rakyat secara cuma-cuma.

Berbeda halnya, jika Islam yang menjadi sistem yang mengaturnya. Dalam Islam dikenal penguasanya yakni seorang khalifah yang menjalankan roda kekuasaan yang tentu berlandaskan akidah Islam.

Yang kepemimpinannya dihiasi rasa takut kepada sang pencipta, Allah Swt. Tentu segala kebijakannya adalah sesuai apa yang menjadi hukumnya. Yaitu yang berasal dari Islam saja, bukan yanglain apalagi mengadopsi hukum paham barat. Yakni kapitalisme, ataupun isme-isme lainnya.

Dalam Islam persoalan pajak memang ada. Namun, di dalam kekuasaan Islam pajak bukanlah jalan untuk memalak rakyat. Melainkan pajak dibutuhkan saat kas baitulmal di dalam negara itu dalam keadaan kosong, atau benar-benar tidak ada. Maka disitulah khalifah memerintahkan untuk mengambil pajak kepada rakyat yang mampu. Yang mampu, bukan yang tak mampu alias di kalangan orang-orang kaya saja.

Negara Khilafah yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Mampu membiyai negara tanpa bersandar pada pajak ataupun hutang. Sebab, Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam. yang dimana Khilafah memiliki 12 pos pemasukan negara, yakni yang terdiri dari : ghanimah, kharaj, tanah, jizyah, fai, dan dharibah. Dan pos kepemilikan umum yakni ; migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, hutan, tempat khusus. Dan pos sedekah yakni, zakat uang, perdagangan, zakat pertanian, buah-buahan, dan zakat ternak. Inilah sumber utama negara Khilafah, sehingga khilafah mampu membiayai negara tanpa hutang dan pajak.

Khilafah mampu memberikan kesejahteraan yang hakiki yang tidak hanya dirasakan dan dinikmati oleh umat Islam saja. Namun kesejahteraan itu dapat dinikmati juga oleh nonmuslim. Begitu pula sekarang, seharusnya umat sadar bahwa, yang mampu memberikan periiyahan yang baik itu adalah ketika Islam yang menjadi aturannya. Bukan sistem demokrasi kapitalisme yang setiap kebijakannya bagai racun yang berbalut madu.

WallahuAlam Bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post