(Pemerhati Sosial)
Penggunaan Nomor Induk Kependudukan untuk pelayanan perpajakan telah direalisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Dengan demikian NIK yang biasa di KTP dapat digunakan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Dirjen Pajak Suryo Utomo memastikan upaya ini dapat memudahkan masyarakat ke depan. Dalam berbagai aktivitas, masyarakat tidak perlu mengingat dua nomor lagi, namun cukup satu. Dirjen Pajak juga terbantu sinergi data dan informasi yang terkumpul di K/L dalam sistem administrasi (Cnbcindonesia.com/23/7/2022).
Cek NIK KTP secara online juga biasanya dibutuhkan sebelum mengurus beberapa hal. Seperti pembukaan rekening bank, pendaftaran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, saat ingin mengikuti seleksi CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil), hingga mengikuti Pemilu.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan, data harta wajib pajak akan tetap menjadi rahasia meskipun terjadi perpaduan sistem.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah bakal mengimplementasikan NIK sebagai NPWP pada 2023. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk memaksimalkan pendapatan negara dari perluasan basis pajak.
“Pemerintah mematok pendapatan negara sebesar Rp 2.255,5 triliun hingga Rp 2.382,6 triliun pada 2023,” ujarnya saat Rapat Paripurna di DPR, Selasa (Republik.co.id/31/5/2022).
Pajak Menjadi Tumpuan Negara
Dampak penggabungan NIK dan NPWP dampaknya bagi rakyat tentu lebih sulit untuk menghindari tidak terkena pajak hampir semua lini dalam kehidupan rakyat akan mudah dibebani dengan pajak jadi dia akan lebih efisien untuk mengontrol mana yang sudah dipajak mana yang belum, dampak yang lebih membahayakan data tersebut yang sampai daftar isi kantong rakyat berapa pendapatannya dan layak dipajak atau tidak.
Sesuatu yang wajar, ketika pemerintah mengalakkan rencana pemungutan pajak ke rakyatnya. Bahkan, membangun opini 'warga negara baik adalah taat pajak'. Jika ditelisik lebih jauh, hampir semua hajat hidup masyarakat dikenakan pajak. Hal ini dikarenakan negeri kita dibangun atas dasar ide kapitalis yang menjadikan pajak sebagai tumpuan pemasukan negara. Dalam sistem kapitalisme, penerapan kebijakan ekonomi liberal adalah suatu yang tak terpisahkan. Pajak merupakan salah satu kebijakan yang dinilai dapat membantu untuk menambah pemasukan kas negara, juga dapat membantu melunasi utang-utang negara yang terus bertambah. Dengan memperoleh pajak, maka negara dengan mudah mendapatkan dana segar. Hal ini dinilai dapat menyelamatkan ekonomi negara. Oleh sebab itu, pajak menjadi tumpuan pemasukan tetap negara.
Hal ini membuktikan sederet kebobrokan sistem ekonomi kapitalisme yang masih saja digunakan. Sistem yang menjadikan pajak sebagai tulang punggung perekonomian negara. Sehingga segala sesuatu diupayakan agar mendatangkan manfaat.
Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah situasi yang menggambarkan keadaan rakyat negeri ini.
Pajak Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam dikenal istilah dharibah atau pajak, akan tetapi sangat berbeda dengan konsep pajak dalam sistem ekonomi kapitalisme. Menurut Syaikh Abdul Qodim Zallum, dharibah adalah harta yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada kaum muslimin utk membiayai kebutuhan negara dan umat dalam keadaan tidak ada harta dalam Baitul Mal.
Dalam buku Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hal.129 karya Syaikh Abdul Qadim Zallum, pajak bukan pendapatan tetap melainkan hanya insidental, yakni ketika Baitul Mal dalam keadaan kosong. Sementara itu, yang dipungut hartanya hanya orang-orang muslim yang kaya saja. Ketika kondisi Baitul Mal kembali normal, pemungutan dharibah itu dihentikan.
Sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: fai’ (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, harta orang murtad. Kesemuanya itu merupakan pendapatan tetap negara.
Jadi, dalam Khilafah, orang-orang miskin tidak akan menderita karena harus membayar pajak dan orang-orang kaya tidak akan direbut kekayaannya oleh negara. Selain itu, Khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat, dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya.
Seperti dalam hadis Shahih Muslim nomor 1828, Nabi pernah berdoa:
اَللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ
“Ya Allah, barangsiapa yang mengurusi urusan umatku kemudian dia merepotkan umatku maka susahkanlah dia.”
Islamlah satu-satunya solusi dari masalah ini. Karena Islam tidak akan membiarkan umatnya terpuruk dan terdzalimi. Dalam naungan khilafah semua fasilitas layanan umum gratis.
Wallahu a'lam
Post a Comment