Oleh : Helmy Agnya
Pada tanggal 17 Agustus negeri ini baru saja merayakan hari kemerdekaan yang ke 77 tahun. Dari Sabang sampai Merauke, teriakan merdeka menggema diseluruh seantero Nusantara ini. Pertanda lonceng kebahagiaan yang dirasakan warga negara atas merdekanya negeri ini. Dengan membuat berbagai perayaan diberbagai kota, nan di pelosok-pelosok negeri pun tak kalah ikut memeriahkan.
Sungguh ini merupakan karunia dan nikmat dari Allah Swt. yang harus disyukuri oleh setiap muslim. Sebab, negeri ini telah merdeka. Merdeka dari penjajahan secara fisik atau militer. Namun, rasa syukur terhadap kenikmatan-kenikmatan ini tidak hanya terucap lewat lisan saja. Melainkan benar-benar direalisasikan oleh tindakan yakni mempersembahkan dengan ketaatan. Taat dengan segala perintah Allah dan meninggalkan apa yang menjadi larangannya, itulah realisasi hakiki daripada rasa syukur itu.
Negeri ini memang sudah merdeka. Namun, banyak orang tidak menyadari bahwa penjajahan telah bertransformasi menuju gaya baru atau neokolonialisme/neoimperialisme. Penjajah barat tidak lagi menggunakan kekuatan fisik untuk mengeksploitasi kaum pribumi. Mereka mendoktrinkan ideologi mereka pada negara jajahan sambil merampok kekayaannya melalui tipudaya kerjasama, lewat para pemimpin boneka dan konstitusi yang mereka rancang. Benarkah negeri ini sudah "benar-benar" merdeka ?
Sistem sekulerisme liberal yang memisahkan agama dari kehidupan memaknai kemerdekaan sebagai sebuah kebebasan. Bebas untuk menjalankan perintah agama atau tidak. Jika itu bisa menguntungkan dan bermanfaat maka diambil, bebas menjabat tangan dengan para penjajah negeri, dan kebebasan berpendapat tidak peduli pelakunya menghina agama, syariat, bahkan Allah dan Rasulnya yang menjadi bahan pelecehannya.
Di sisi lain kebebasan perilaku visi daripada sistem sekularisme adalah bertindak sesuai keinginannya, agama hanya berlaku di tempat ibadah saja. Misal berpakaian telanjang, mengumbar aurat, dan bebas menolak kewajiban berjilbab, prinsip hidup ini membuat kerusakan moral merusak di mana-mana; perzinaan, prostitusi, tukar-menukar pasangan (swinger), LGBT, pornografi, dsb. Kemerdekaan, kata mereka, adalah bebas melakukan apa saja.
Kebebasan kepemilikkan tak kalah menyedihkan, semua aset negara. Kekayaan Alam yang melimpah ruah dijadikan kepemilikan individu oleh segelintir para pemilik modal. Swasta, asing dan aseng yang berkolaborasi merebut kekayaan negeri. Sedang rakyat hanyalah menikmati sisa remah-remahnya saja, itupun yang dapat dengan susah payah penuh keringat darah. Seperti itukah negara merdeka?
Evaluasi dan refleksi kemerdekaan mesti berfokus pada makna hakiki kemerdekaan bukan semata-mata meneriakan merdeka.
Kemerdekaan itu meliputi merdeka individu, masyarakat dan negara.
Individu merdeka: berperilaku benar sesuai keyakinannya (Islam) dan mandiri bukan karena tekanan atau sekedar membebek orang lain.
Allah SWT berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menghambakan diri kepada-Ku. (TQS. Adz-Dzariyat [51]: 56). []
Kemudian dikatakan masyarakat merdeka adalah: berpola pikir dan gaya hidup lepas dari kungkungan budaya lain, selain Islam. Hanya menjadikan Aqidah Islam sebagai standar dalam menentukan perbuatan.
Selain itu juga disebut sebuah negara merdeka adalah yang terbebas dari penjajahan baik secara fisik, politik, ekonomi juga budaya. Negara yang bebas menerapkan aturannya dalam melindungi rakyatnya. Tidak lagi ada tekanan dari negara yang pernah menjajahnya atau lainnya. Dan bagi umat Islam tentu saja negara tersebut haruslah sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Yaitu sebuah Negara yang menerapkan aturan Allah dalam berbagai kebijakannya.
Kemerdekaan hakiki adalah ketika individu, masyarakat, dan negara itu menghambakan diri pada hukum Allah Swt semata. Menjadikan segala aturan yang diturunkan oleh Allah Swt melalui Rasulnya sebagai pembawa risalah terbaik bagi kehidupan umat manusia seluruhnya untuk dijadikan pijakan hidup manusia, menjadikan akidah Islam sebagai standar di segala perbuatannya. Yang tentunya itu semua dapat direalisasikan dalam sebuah negara khilafah.
Islam hadir sebagai cahaya, yang menerangi kehidupan manusia yang sebelumnya penuh dengan kegelapan (kejahiliaan). Berkat kehadiran Islam tersebut manusia sebelumnya hingga sekarang menjadi manusia. Jika dulu tidak ada Islam, maka akan seperti apa kita ?
Maka, apa yang kemudian dipikirkan oleh mereka yang menganggap bahwa kehadiran Islam. Justru, mengekang kebebasan? Menganggap kehadiran Islam sebagai pemutus keinginan mereka. Kehadiran Islam justru menjadi pengacau budaya mereka yang justru menabrak hukum Allah, Islam hadir menentang ketika mereka berbuat korupsi dan berbagai macam tuduhan dangkal oleh mereka yang katanya teriak merdeka.
Justru dengan kedatangan Islamlah yang memberikan kemerdekaan sejati kepada manusia. Islam datang di tengah penderitaan umat manusia akibat penindasan kekuasaan yang zalim dan sistem perbudakan yang berlaku. Islam lalu memerdekakan manusia dari semua itu.
Dan prinsip itulah yang kemudian tercermin. Pertama: Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk dan manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah SWT. Rasulullah saw. menulis surat kepada penduduk Najran yang berisi misi pembebasan tersebut:
أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ
Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dengan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dengan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)… (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 5/553).
Islam datang menghapuskan sikap tirani para raja, kaisar, kaum bangsawan dan kaum feodal terhadap sesama manusia. Islam mengajarkan bahwa prinsip kesetaraan dan kemuliaan hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sungguh yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (TQS al-Hujurat [49]: 13).
Wallahualam Bishawwab.
Post a Comment