Foto diambil
dari
https://www.theguardian.com/higher-education-network/2015/mar/25/university-protests-around-the-world-a-fight-against-commercialisation
Baru baru ini Kompas.id memaparkan bahwasannya peningkatan
gaji orang Indonesia tidak mampu mengimbangi biaya pendidikan tinggi untuk
anaknya di masa depan (28/07/22). Sehingga, Orangtua Indonesia kian kesulitan
untuk membiyai kuliah anaknya. Bahkan, meskipun telah menabung bertahun-tahun,
tidak semua keluarga dapat menuntaskan kuliah anaknya hingga lulus.
Dengan mengacu ke data historis biaya pendidikan tinggi
selama 10 tahun terakhir dari 30 perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS),
diprediksi kedepannya angkanya akan terus merangkak naik dengan kecepatan
pertumbuhannya sebesar 6,03 persen pertahun. Sementara itu, kenaikan upah
orangtua lulusan SMA ataupun universitas yang masing-masing hanya berada pada
kisaran 3,8 persen dan 2,7 persen per tahun. Artinya, ada pelandaian peningkatan
penghasilan dibandingkan dengan pertumbuhan biaya studi perguruan tinggi. [1]
Tingginya laju kenaikan tarif pendidikan di perguruan
tinggi tak terlepas dari restrukturisasi dan reorganisasi universitas yang kini
diklasifikasikan menjadi tiga kelas (1) PTN, (2) PTN Badan Layanan Umum, dan
(3) PTN Badan Hukum. Dengannya, universitas didorong untuk mencapai kemandirian
sehingga pemerintah bisa menerapkan kebijakan budget cuts. Sehingga di
titik otonomi yang paling ekstrem, pendidikan tinggi dijadikan sebagai suatu
perusahaan yang murni ditujukan untuk mencari keuntungan.
Maka wajarlah jika sebagian besar lulusan SMA sederajat adalah
mereka yang tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Berdasarkan
keterangan dari Ketua MPR Bambang Soesatyo pada 2021, hanya sekitar 38% saja
lulusan SMA sederajat yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Rendahnya
persentase ini, diantaranya dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. [2]
Karena memang, sebagai sebuah komoditas yang diliberalisasi institusi perguruan
tinggi tak lagi harus memenuhi prinsip aksesibilitas bagi setiap orang.
Bayangkan saja, rata-rata biaya kuliah mahasiswa angkatan 2022 jika
diakumulasikan selama 8 semester, angkanya menyentuh nominal Rp 149.863.850. [1]
Paradigma kapitalisme neoliberal yang diejawantahkan
menjadi berbagai kebijakan di negeri ini tampaknya telah berhasil membuat kita
amnesia bahwa sebenarnya pendidikan adalah hak setiap warga negara. Dalam Islam,
menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Implikasinya, Islam telah
menggariskan bahwa pendidikan merupakan hak mendasar bagi setiap warga negara.
Oleh karenanya, sudah sepatutnya pemerintah sebagai penjamin keberlangsungan
hak-hak masyarakat memahami amanah ini serta menjalankannya dengan tanggung
jawab penuh.
Untuk mekanisme pembiyaan pendidikan, akan diambil dari
baitul mal, yaitu dari pos fai dan kharaj, serta pos kepemilikan umum. Namun,
jika sumber dana dari baitul mal belum mampu memenuhinya, negara akan
memotivasi kaum muslim untuk berinfaq. Jika masih belum mencukupi, kewajiban
pembiyaan sektor pendidikan akan beralih kepada seluruh kaum muslimin. Yang
jelas, pengalihan tanggung jawab ini kepada korporasi adalah bentuk pelanggaran
syariat dan pengkhianatan atas amanah.
“Imam
adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya
itu.” (HR Muslim).
Wallahu a’lam bish showwab
Referensi:
[1] “Orangtua Indonesia Makin Sulit Biayai
Kuliah Anak,” kompas.id, Jul. 28, 2022.
https://www.kompas.id/baca/investigasi/2022/07/27/orangtua-indonesia-makin-sulit-biayai-kuliah-anak
(accessed Aug. 07, 2022).
[2] JawaPos.com, “Bamsoet Sebut Hanya 38
Persen Lulusan SMA Sederajat Lanjut Kuliah,” JawaPos.com, Jun. 25, 2021.
https://www.jawapos.com/nasional/pendidikan/25/06/2021/bamsoet-sebut-hanya-38-persen-lulusan-sma-sederajat-lanjut-kuliah/
(accessed Aug. 07, 2022).
Post a Comment