Kreatifitas Berbasis Inklusifitas, Mengancam Generasi dan Kesakralan Agama


Oleh : Evi Resmaladewi, S.P
(Aktivis Dakwah)

“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (TQS Ali imran :110)
Di dalam tafsir Ibnu katsir berkenaan dengan ayat ini disebutkan bahwa Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Sammak, dari Abdullah ibnu Umairah, dari Durrah binti Abu Lahab yang menceritakan: Seorang lelaki berdiri menunjukkan dirinya kepada Nabi ï·º yang saat itu berada di atas mimbar, lalu lelaki itu bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang terbaik?" Nabi ï·º menjawab, "Manusia yang terbaik ialah yang paling pandai membaca Al-Qur'an dan paling bertakwa di antara mereka kepada Allah, serta paling gencar dalam melakukan amar makruf dan nahi munkar terhadap mereka, Ayat ini mengandung makna umum mencakup semua umat ini dalam setiap generasinya, dan sebaik-baik generasi mereka ialah orang-orang yang Rasulullah ï·º diutus di kalangan mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka. Artinya pada setiap generasi kaum muslimin di masa manapun, harusnya mereka itu memiliki gelar sebagai umat terbaik. Pertanyaannya, apakah kondisi generasi saat ini pantas mendapat julukan umat terbaik ?
 

Generasi rapuh, rusak dan jauh dari kemuliaan
Fenomena Citayem fashion week (CFW) yang terjadi beberapa waktu yang lalu, menunjukkan fenomena rapuh dan rusaknya generasi kita secara sistematis. Bagaimana tidak, atas nama kreatifitas remaja ramai-ramai mengikuti trend dan melabrak nilai-nilai agama. Seperti menyerupai perempuan mengumbar aurat, pacaran, hingga LGBT. Belum lagi aksi hedonis menghabiskan waktu sia-sia, krisis identitas, lenyapnya rasa malu dan meresahkan masyarakat.  
Celakanya, fenomena ini mengalami masifisasi, setelah Citayem kemudian muncullah Braga Fashion Week, lalu merambah ke Surabaya, Makasar hingga ke Cianjur. Bukannya dihentikan, mirisnya, sejak munculnya CFW fenomena ini malah mendapatkan berbagai dukungan dari beberapa kalangan. Artis, menteri hingga presiden. Semuanya mendukung karena satu kata, yaitu kreatifitas. 
 

Selain itu, saat ini pun kita saksikan bagaimana aksi-aksi remaja yang mengatasnamakan kreatifitas di dunia maya berseliweran. Video aksi para ABG yang bisa membuat kita geleng-geleng kepala. Mulai dari video-video prank sampah, video remaja bercadar sedang berjoget, video ABG yang mempermainkan ibadah salat, hingga video remaja yang bertik tok ria di dalam masjid yang semuanya cukup viral.
Semua ini makin menunjukkan generasi kita mengalami apa yang disebut krisis identitas. Parahnya, bukan sekedar itu, dampaknya generasi kita terjebak dalam berbagai aksi kriminal, seperti kasus terbaru 4 bocah SD membully temannya untuk menyetubuhi kucing hingga di rekam dan di sebar. Belum aksi klitith di yogya di tahun 2020 kemarin, yang meresahkan masyarakat, dan aksi-aksi tawuran yang berseliweran beritanya.

Seruan be a moderate Muslim
Semua fakta rusaknya generasi tadi merupakan suatu kemunduran yang parah. Namun alih-alih mencari solusi terbaik memperbaiki generasi, malah muncul seruan be a moderate muslim yang menyuguhi narasi-narasi inklusifitas, toleransi, ramah terhadap budaya lokal dll. 
Seperti apa yang di sampaikan Gracia Paramitha, sebagai co-chair Youth20 Indonesia 2022, Pemuda diharapkan  PEDULI dalam merawat keberagaman binneka tunggal ika  Indonesia melalui inovasi pendidikan inklusif dan ekonomi kreatif, bahkan tema keberagaman dan inklusivitas  menjadi new legacy issue dari Presidensi Youth20 2022. 
Youth20 adalah bagian dari program kesuksesan presidensi G20 yang di terima Indonesia. Melalui Indonesia Youth diplomasi ini diselenggarakanlah KTT Youth20 dari 17-24 juli 2022 lalu yang di selenggarakan di Bandung dan Jakarta. Tema yang di bahas adalah seputar lingkungan hidup, pertanian, tenaga kerja, pendidikan dan tentu saja inklusif dan keberagaman. 
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh kementerian agama bahwa pendidikan dan kurikulum diarahkan menuju generasi moderat. Yaitu generasi yang memahami Islam secara inklusif, terbuka, dan toleran. Dan semua ini dimaksudkan untuk menjadikan dunia lebih baik. Persoalannya, Benarkah dengan inklusifitas ini menjadikan dunia lebih baik ? generasi lebih baik ? padahal fakta kerusakan generasi nampak nyata  di depan mata.
Jelaslah Indonesia telah masuk dalam kampanye global be a moderat muslim yang telah tertuang dalam dokumen RAND Corporation yang berjudul Civil Democratic Islam Partners, Resources, and Strategies dan Building Moderate Muslim Networks.

Bahaya di balik Kreatifitas berbasis inklusivitas 
Inklusi adalah Sikap terbuka menerima perbedaan keberagaman (Agama, suku, ras budaya), semuanya menjadi harmoni dalam kebersamaan tidak boleh ada yang mendominasi. Itulah makna inklusivitas yang sesungguhnya. Karena itu pemuda mesti memiliki sikap toleransi, menjunjung tinggi solidaritas dan gotong royong, serta mengembangkan karakter kesantunan dan tenggang rasa. 

Maka, arus kretifitas pemuda yang kebablasan harus di pandang baik, di terima, dan tidak boleh ada yang mendominasi dan menghakimi. Semuanya mesti di tolelir. Namun, masalahnya Bagaimana mungkin kita harus toleransi dengan menyamakan kebenaran Islam -satu-satunya agama disisi Allah- dengan 5 agama yang lainnya?

Bagaimana mungkin sakralnya ajaran agama dari Sang Kholiq pencipta alam semesta disamakan dengan nilai lokal budaya, adat, hasil akal manusia –makhluk lemah dan terbatas?
Bagaimana mungkin syariat Islam harus terbuka menerima dan harmonis dengan gagasan pemikiran barat seperti HAM dan liberalisme? Sebagaimana arus yang sedang dibuat untuk menerima LGBT, nikah beda Agama, gerakan buka aurat my body my authority , sexual consent untuk berzina, atas semua itu kita diminta toleransi atas nama HAM ?
Kreativitas berbasis inklusif jelas dapat menghilangkan kesakralan ajaran agama; Fenomena warung makan padang babi, holywings atas nama Muhammad-Maria, Citayam Fashion Week CSBD yang dipuji-puji bentuk kreativitas yang harus didukung padahal banyak hal yang tidak sesuai syariat.

Maka Layakkah INKLUSIFITAS dan KEBERAGAMAN diadopsi sebagai solusi mewujudkan kehidupan yang damai di tengah pluralitas dan dianggap sebagai kata kunci untuk dunia yg lebih baik, lebih maju, dan masyarakat yang lebih bahagia ??Inklusifitas yang di agungkan hari ini menyisakan banyak pertanyaan, Jika Inklusif atau inklusivitas  itu memberikan kesempatan  yang sama kepada siapapun  dengan segala kondisinya  untuk berpartisipasi atau  berkontribusi dalam berbagai  hal. Maka masih timbul  pertanyaan lanjutan Kesempatan  apa?? Kepada  siapa?? Kondisi  yang dimaksud  seperti apa?? Partisipasi dan  kontribusi atau  karya seperti  apa??
Sementara, saat umat islam teriak mengkritik arus kebebasan di anggap anti toleransi, anti keberagaman, radikal. Saat umat islam mengambil kesempatan untuk unjuk diri semisal mengaji bareng di Yogyakarta dianggap riya, dianggap radikal, dll. Saat umat islam menyerukan gagasan dan kontribusi pemahaman pentingnya syariat islam dan khilafah kemudian disudutkan dan di cap radikal. 
 

Sesungguhnya versi inklusifitas yang di maksud ini penuh kepentingan ideologis  yang secara mendasar berlawanan  bahkan menyerang Islam. Versi yang bernuansa sekuler liberal, yang menempatkan budaya,  realitas,  bahkan kreativitas lebih tinggi  dari aqidah Islam. Versi keberagaman dan inklusivitas  saat ini satu paket dengan ide  kebebasan yang merusak yang membentuk identitas  pemuda Islam kehilangan visi  dan kebanggaan atas dinnya bahkan  menjadi perpanjangan tangan dan  lisan dalam meragukan bahkan  menyerang keagungan dinnya sendiri 
Aturan Sang Pencipta Keberagaman Terkait Keragaman Dan Inklusivitas. 

Bagaimana kita menyikapi keberagaman yang terjadi, maka solusinya haruslah dikembalikan pada sang pencipta keberagaman itu sendiri, yaitu Allah SWT. Fakta bahwa manusia itu beragam (plural) namun Allah SWT telah menyampaikan ada standar yang harus di capai agar mampu menutup celah diskriminasi dan perpecahan, yaitu ketaqwaan. Allah SWT berfirman yang artinya :
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (TQS Al Hujurat :13)
Artinya, dengan standar taqwa ini sebenarnya Allah SWT mendidik kita agar mampu memilah mana perbedaan yang dapat di terima dan mana yang tidak, semuanya dikembalikan kepada aturan Allah. Saat perbedaan itu telah menyentuh keharaman, maka apapun itu mestinya ditolak dan dihilangkan. Hedonisme, LGBT, pengumbaran aurat, pergaulan bebas, dll- meskipun  atas nama kreatifitas- yang itu dinyatakan haram dalam agama, maka ini mestinya di tolak, dan dihilangkan serta ditutup segala celah menuju ke arahnya.

Sesungguhnya, perbedaan, pluralitas itu indah dan harmoni ketika Islam mengaturnya, dan hal tersebut tidaklah menjadi masalah dalam Islam. Justru saat Islam tidak diterapkan kemudian diganti dengan sistem yang lain, malah membawa masalah bahkan kerusakan dimana-mana. 
Islam menjaga keberagaman dan potensi generasi
Islam tidak perlu lagi mencari konsep toleransi dan keberagaman. Menurut Will Durrant dalam bukunya The Story of Civilization mengungkapkan keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi, dan  Kristen di Spanyol pada era Khilafah Bani  Umayyah. Will Durant menuturkan, orang-orang  Yahudi, yang ditindas oleh Romawi, membantu  kaum muslim yang datang untuk membebaskan  Spanyol. Mereka pun hidup aman, damai, dan  bahagia bersama orang Islam di sana hingga abad ke-12 M. 
Para pemuda Kristen yang dianugerahi  kecerdasan pun mempelajari fikih dan bahasa  Arab bukan untuk mengkritik atau  meruntuhkannya, tetapi untuk mendalami  keindahan gaya bahasanya yang luar biasa. Mereka pun membelanjakan banyak uang mereka untuk memenuhi perpustakaan mereka dengan  referensi Islam dan bahasa Arab. 
Dengan sistem Islam, pemuda muslim dijaga agar senantiasa ada dalam ketaqwaan, serta di bangun potensi mereka agar selalu kreatif dan inovatif dalam memajukan masyarakatnya. Banyak sekali teladan pemuda islam yang semestinya kita tiru. Hanya dalam ISLAM, pemuda berusia 21 tahun bisa menjadi pemimpin nomor 1 sebuah  negara adidaya dieranya…pemimpin yang  mendapat pujian dalam hadits  Rasulullaah SAW sebagai sebaik-baik pemimpin….itulah Muhammad Al  Fatih. Hanya dalam ISLAM pula, pemuda “bau kencur” menjadi penasehat Sang Amirul Mukminin Umar binKhathab…Beliau adalah Ibnu Abbas. Hanya dalam ISLAM, pemuda berusia 18 tahun bisa menjadi salah seorang panglima perang terhebat sepanjang masa, itulah Usamah bin Zaid. Hanya dalam Islam pemudi belia menjadi guru bagi orang tua, dialah sayyidah Aisyah ra.
Demikianlah, jika umat ini ingin hidup lebih baik maka mereka tidak boleh melupakan sejarahnya dan meninggalkan agamanya. Niscaya generasi pun akan baik dan menjadi sosok-sosok pembawa perubahan bagi  negara dan masyarakatnya.
Wallahu’alam bi Shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post