(Komunitas Marjan)
Sebagaimana diberitakan di berbagai media isu tentang kenaikan harga BBM bersubsidi semakin santer dibicarakan. Pemerintahan Jokowi berencana akan menaikkan harga BBM bersubsidi Pertalite di harga Rp. 10.000,00 dan Solar bersubsidi di harga Rp. 8500,00. Menurut pengamat energi Mamit Setiawan sepakat dengan kenaikan BBM bersubsidi menurutnya kenaikan itu sudah tepat dan tidak terelakkan.
Masih menurut Mamit Setiawan kenaikan itu cukup rasional dan tidak terlalu membebani masyarakat. Bahkan menurut hitung-hitungan beliau memperkirakan tingkat inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan BBM bersubsidi masih di bawah 1%. (CNNIndonesia.com,22/8/22).
Menurut hitungan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati tanpa kebijakan kenaikan harga atau pembatasan subsidi maka anggaran subsidi energi dan kompensasi kepada PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bisa tembua Rp 700 triliun atau membengkak Rp 198 triliun dari alokasi anggaran di Peraturan Presiden (Perpres) nomor 98 tahun 2022 sebesar Rp 502 triliun. Kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi atau pembatasan subsidi dinilai merupakan kebijakan yang lazim dan tepat disaat harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) terus menanjak. Pemerintah dan parlemen mengasumsikan harga ICP tahun 2022 tembus level US$ 100 per barel menanjak hamper 60% dari asumsi awal US$ 63 per barel ( Insight.kontan.id,24/8/22).
Mimpi Buruk Kenaikan BBM
Jika “mimpi buruk” kenaikan harga BBM bersubsidi benar-benar terjadi maka beban pengeluaran rakyat menengah ke bawah dipastikan membengkak. Alih-alih semakin baik pasca pandemi justru rakyat akan semakin susah. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan jumlah orang miskin akan tambah banyak jika pemerintah mengerek harga Pertalite dan Solar bersubsidi. Sebab, biaya untuk membeli BBM mau tidak mau akan bertambah.
Selain itu, tarif angkutan umum juga berpotensi naik jika pemerintah mengerek harga Pertalite atau Solar. Dengan demikian, biaya yang harus dibayar penumpang akan semakin mahal. Terlebih, beberapa truk pengangkut barang atau sayur-mayur biasanya menggunakan Solar bersubsidi. Biaya operasional pedagang tentu ikut bertambah dari sebelumnya.
Pedagang sudah pasti akan membebani kenaikan harga itu kepada konsumen dengan menjual bahan pangan lebih mahal. Sebab, tidak mungkin pedagang menjual sayur-mayur sesuai harga modal.
Dampak tidak langsungnya, harga makanan jadi lebih mahal. Beras, minyak, gula, menjadi lebih mahal karena BBM naik. Sementara itu, sebagian besar pengeluaran masyarakat kelas menengah bawah digunakan untuk makan. Tentu, kenaikan harga pangan akan berpengaruh besar terhadap hidup mereka.
Orang di sekitar garis kemiskinan ini porsi pengeluaran untuk makanan tinggi terhadap total belanja mereka per bulan, sehingga rentan dengan kenaikan harga pangan dibandingkan dengan orang kaya atau menengah. Di sisi lain, pendapatan masyarakat kelas menengah bawah tidak meningkat dari sebelumnya. Bahkan, beberapa dari mereka belum mendapatkan upah seperti sebelum pandemi.
Karenanya, ia memperkirakan jumlah orang miskin berpotensi naik, bahkan hingga ratusan ribu orang bisa menembus angka lebih dari 100 ribu orang. Pendapatan yang rendah tentu akan berimbas pada tingkat konsumsi masyarakat. Tingkat konsumsi yang rendah tentu membuat kondisi ekonomi dalam negeri semakin lesu. Tidak hanya lesu bahkan bisa mengakibatkan Indonesia berada dalam krisis ekonomi akibat tingkat inflasi yang tinggi karena sejatinya BBM adalah kebutuhan asasiyah atau kebutuhan mendasar di mana semua kebutuhan masyarat terikat secara langsung maupun tidak langsung dengan BBM.
Solusi Pemerintah
Beberapa pengamat mengatakan pemerintah harus menambah bansos berupa BLT kepada masyarakat menengah ke bawah dan masyarakat rentan miskin sebesar Rp 800 rib. Tapi ini sifatnya jangka pendek hanya sekitar 3-6 bulan. Setelah itu masyarakat kembali pada penghasilannya sendiri. Sementara untuk jangka panjang maka pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan dan pendampingan UMKM. Sebenarnya ini juga tidak solusitif karena dengan BBM subsidi naik banyak usaha atau lapangan pekerjaan yang sudah ada justru mengalami kesulitan begitu juga UMKM.
Lain lagi menurut pengamat ekonomi UGM Fahmi Radhi, Fahmi mengusulkan pemerintah lebih fokus pada pembatasan BBM bersubsidi, yang sekitar 60 persennya tidak tepat sasaran. Pembatasan BBM subsidi paling efektif pada saat ini adalah menetapkan kendaraan roda dua dan angkutan umum yang berhak menggunakan Pertalite dan Solar. (CNNIndonesia.com,20/8/22)
Di lain pihak Rusia menawarkan harga minyak mentah yang miring sekitar 30% dibandingkan dengan harga minyak mentah internasional. Jika biaya impor bisa ditekan maka pemerintah bisa tidak menaikkan secara signifikan harga BBM bersubsidi. Rusia mengatakan tidak perlu takut dengan embargo AS karena Rusia nanti meminta bayar dengan memakai rubel, jadi konversi rupiah ke rubel.
Beberapa pihak mengkhawatirkan langkah ini bisa membuat Indonesia diembargo oleh AS. Imbasnya bank asal RI akan didepak dari sistem Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunications (SWIFT). SWIFT merupakan sistem yang menghubungkan ribuan lembaga keuangan dunia, sehingga bank dapat mengirim dan menerima pesan transaksi dengan cepat dan aman. Dengan SWIFT, transaksi keuangan saat ini dapat dilakukan antar negara bahkan antar benua.
Dalam Dekapan Kapitalisme
Kenaikan harga yang mengikuti tren dunia ini tidak lepas dari perjanjian yang dilakukan Indonesia. Dengan mengikuti pasar global, mau tidak mau negeri ini harus menuruti situasi yang sudah ditentukan. Jadi, jika harga komoditas naik di dunia internasional, Indonesia juga harus menaikkan.
Kenaikan harga minyak sendiri tidak lepas dari permainan perdagangan negara yang masuk pada Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). Mereka bisa saja menurunkan harga minyak dengan menambah pasokan, tetapi itu tidak dilakukan karena salah satu negara yang berpengaruh (Rusia) tidak menginginkannya. Semua karena masalah keuntungan.
Namun, pada akhirnya, OPEC pun harus bertekuk lutut kepada AS, negara adidaya pengemban kapitalisme. Saat ini setiap transaksi di dunia internasional harus memakai dolar AS. Mau tidak mau, negara yang memiliki mata uang berbeda harus menukar uangnya dengan dolar terlebih dahulu. Ini mengakibatkan dolar menguat dan penguatan ini pun menyebabkan harga minyak dunia turun.
Sedangkan Indonesia sendiri seharusnya dengan naiknya harga minyak mentah dunia bisa membawa berkah bagi Indonesia sebagai negara yang kaya akan ladang minyak. Tapi apa mau dikata Indonesia sejak tahun 2003 posisi Indonesia sudah bergeser dari negara net ekspotir menjadi negara net importir. Bahkan Indonesia tidak lagi menjadi negara OPEC.
Padahal di tahun 1981 dengan harga minyak mentah dunia 35 dolar AS per barel Indonesia mampu menyumbang pendapatan negara dari migas sebanyak 70%.
Tahun 1998 jumlah sumur eksplorasi saat itu sekitar 250-300 sumur. Namun sejak awal tahun 1999 anjlok hanya 90 sumur, tahun 2001 menjadi 60 sumur, tahun 2003 menjadi sekitar 30 sumur. Jadi menurun terus.
Belum lagi dengan kehadiran UU Migas yang memberikan kesempatan pada asing untuk menguasai migas dari hulu sampai hilir semakin menambah carut marut persoalan migas di tanah air.
Pengelolaan Migas Dalam Islam
Dalam politik ekonomi Islam negara wajib untuk memberikan jaminan atas pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi individu dan masyarakat serta menjamin kemungkinan pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan tersier sesuai dengan kadar kemampuan individu yang bersangkutan.
Dalam Islam tidak dikenal kata subsidi. Subsidi adalah bentuk tambal sulam kapitalisme. Negara adalah periayah urusan rakyatnya tidak dibedakan kaya atau miskin.
Sementara itu minyak dan gas merupakan kebutuhan pokok rakyat. Islam tidak akan membiarkan kedua komoditas itu “mencekik” masyarakat.
Pemimpin ibarat pelayan rakyat, maka Islam mewajibkan mereka mengurusi seluruh kebutuhan rakyatnya, bukan malah mencari untung demi kepentingan penguasa dan pengusaha.
Islam juga melarang pemimpin melakukan kesepakatan dengan negara kafir (yang jelas memusuhi Islam) atau kesepakatan yang justru menjerumuskannya pada kezaliman kepada rakyat. Itulah sebabnya, Islam tidak akan membenarkan perjanjian pasar global seperti saat ini.
BBM dan gas adalah milik rakyat yang termaktub dalam hadis, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Oleh karenanya, negara tidak boleh semata mengambil keuntungan atas pengelolaannya. Rakyat cukup mengganti biaya produksi komoditas tersebut untuk memperolehnya sehingga harganya akan tetap murah. Kalaupun mengambil sedikit untung, akan dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat juga.
Maka jika semua kepemilikan umum dikuasai dan dikelola oleh negara, tentu akan tersedia dana yang cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat. Sebagai gambaran sederhana di sektor pertambangan dan energy diprediksi akan didapat penerimaan sebesar Rp 691 triliun pertahun. Di sektor kelautan akan diperoleh minimal sekitar Rp 73 triliun. Kemudian di sektor kehutanan dengan luas hutan sekitar 900 juta hektar maka akan diperoleh sekitar Rp 1800 triliun pertahun. Belum lagi dari sektor-sektor yang lain. Maka dengan pengelolaan seperti ini negara akan punya cukup dana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Tidak lagi khawatir akan defisitnya APBN bahkan bisa surplus. Dan yang pasti BBM, pendidikan, kesehatan bisa dinikmati dengan harga murah bahkan gratis.
Selama negeri ini masih berkiblat pada kapitalisme dan mengambil segala kebijakan Barat sebagai keputusannya, masyarakat tidak akan pernah bahagia. Rakyat akan terus tertindas dan tersakiti karena dasar penentuan kebijakan adalah keuntungan saja. Jadi, jika ingin rakyat bahagia, hanya Islam yang dapat menjaminnya.
Wallahu a’lam bi showab
Post a Comment