Benarkah Kita Sudah Merdeka?


Oleh Nuni Toid
Member AMK

Belum lama ini, tepatnya pada tanggal 17 Agustus, negeri tercinta merayakan Hari Kemerdekaan-nya yang ke 77 tahun. Sebagai muslim, kita wajib bersyukur atas nikmat yang telah Allah Swt. berikan, yakni terbebas dari penjajahan. 

Namun, benarkah negeri ini telah benar-benar merdeka? Karena seperti yang kita lihat, sebagian besar masyarakat justru memaknai kemerdekaan dengan kebebasan, termasuk bebas dari aturan agama. Bahkan muncul sejumlah tindakan untuk mendiskreditkan ajaran Islam, seperti melarang himbauan berjilbab di sekolah-sekolah. Padahal jelas jilbab adalah salah satu dari sekian perintah Allah Swt.

Tapi begitulah kenyataannya, dalam kacamata liberalisme-sekuler,  makna kemerdekaan adalah kebebasan dari segala keterikatan dan paksaan yang memisahkan agama dari kehidupan. Hingga akhirnya kemerdekaan dimaknai dengan liberalisasi kehidupan manusia. Dengan kata lain kebebasan dari segala ketertundukan dan kepatuhan. Tak terkecuali dengan syariat Islam.

Begitulah menurut kaum liberalis, kemerdekaan mestinya menjamin hak-hak asasi manusia. Seperti kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, kebebasan beragama dan kebebasan berperilaku. 

Menurut mereka, di alam kemerdekaan saat ini, rakyat harus dijamin dalam berpendapat, meskipun melanggar hukum syarak. Misalnya usulan tentang ganja, pendidikan seks bagi anak dan remaja serta pendapat buruk lainnya. 

Begitupun dengan kebebasan kepemilikan, sebagian besar sumber daya alam yang mestinya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, justru dikuasai oleh para kapitalis dan oligarki. 

Di sisi lain, kebebasan berperilaku melahirkan pemahaman 'my body is my authority.'  Hingga terjadi banyak bencana moral, seperti perzinaan, prostitusi, tukar-menukar pasangan (swinger), L96T, pornografi, dan masih banyak lagi kebebasan yang dilakukan.

Mirisnya juga, dalam bidang hukum dan politik, kemerdekaan tidak membuat negeri ini bebas dari jeratan sistem rusak buatan manusia, yaitu demokrasi-kapitalis. Sebuah aturan yang melahirkan oligarki (kekuasaan berada di segelintir orang). Akibatnya lahirlah kebijakan kapitalistik yang menguntungkan mereka. Hingga banyak di antara para pemangku jabatan yang bermental koruptor. Betapa tidak, disebabkan mahalnya biaya pemilihan pejabat. Wajarlah bila kemudian modal yang telah dikeluarkannya ingin kembali sekaligus bersama dengan untungnya. Astaghfirullah.

Karenanya tak heran, melihat fakta yang demikian, walaupun telah merdeka yang ke- 77 tahun, tetap saja negeri ini makin terpuruk. Semua akibat salahnya memahami arti kemerdekaan sebagai kebebasan. Mereka melupakan aturan agamanya. Sebaliknya aturan  Allah Swt. dijadikan musuh bersama. Akhirnya rakyat kembali yang menderita lahir batin. 

Padahal Allah Swt. telah mengingatkan manusia akan kebinasaan mereka saat mengikuti hawa nafsunya dan menjauhkan diri dari agama. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Mu'minun ayat 71 yang artinya, "Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, serta semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan (Al-Qur'an), tetapi mereka berpaling dari peringatan itu."

Merdeka dengan Takwa

Sebuah kesalahan bila mengatakan ketundukan kepada Islam adalah suatu pengekangan kemerdekaan. Pasalnya, tujuan hadirnya Islam untuk memberikan kemerdekaan sejati kepada seluruh manusia. Islam datang di tengah kesengsaraan umat manusia akibat penindasan kekuasaan yang jahat dan bentuk perbudakan yang berlaku. Kemudian Islam yang mulia memerdekakan manusia dari semua itu.

Prinsip tersebut tercermin dalam dua hal. Pertama, Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk dan manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah Swt. Hal itu terbukti Islam menghapus sikap tirani para pemimpin. Islam mengajarkan kesetaraan dan kemuliaan hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaan seseorang di sisi Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya: "Sungguh yang mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." (QS Al-Hujurat: 13)

Karenanya dalam sistem Islam tidak ada keistimewaan bagi para pejabat dan keluarganya untuk memanfaatkan hukum maupun fasilitas negara.

Prinsip kedua, Islam membebaskan manusia dari perbudakan hawa nafsu. Sebab kebahagiaan dan keselamatan seorang muslim adalah mampu menundukkan hawa nafsunya pada aturan agama. Tidak seperti saat ini, mereka mengira dengan hidup bebas tanpa aturan, dapat memperoleh kemerdekaan. Tapi yang terjadi justru kehidupan mereka menjadi budak hawa nafsu yang akan menyeret dalam kebinasaan.

Begitulah kemerdekaan yang semestinya dimiliki oleh umat manusia, yakni kemerdekaan yang hakiki. Maka sudah saatnya kita memperjuangkan kemerdekaan yang sesungguhnya dengan memperkuat ketaatan kepada Allah Swt. Semua itu bisa terlaksana, bila umat bersatu menerapkan aturan Islam dalam bingkai khilafah 'ala minhajin nubuwwah.

Wallahu a'lam bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post