(Pegiat Literasi)
Bahan bakar minyak atau yang sering disebut bensin oleh masyarakat, kini keberadaannya mulai mengalami kelangkaan. Khususnya untuk Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP) yaitu pertalite dan solar. Kelangkaan ini menyebabkan antrian panjang kendaraan di beberapa SPBU.
Menurut Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus, Arya Yusa Dwicandra menyatakan bahwa kelangkaan pertalite terjadi disebabkan adanya pembatasan kuota, sehingga perlu diatur penyalurannya. Oleh karena itu, pihaknya terus mendorong masyarakat untuk melakukan pendaftaran subsidi tepat. Dengan tujuan agar BBM bersubsidi dan JBKP bisa dinikmati oleh masyarakat yang layak untuk mengkonsumsinya. Sementara bagi masyarakat yang tidak layak akan dialihkan untuk mengkonsumsi BBM jenis lainnya (Republika.co.id, 12/8/22).
Pemerintah hanya memberikan kuota BBM jenis pertalite sebanyak 23,1 juta kiloliter (KL) untuk satu tahun. Sedangkan konsumsi BBM jenis Pertalite sudah mencapai 16,8 juta KL sampai akhir bulan Juli ini. Artinya masih dipertengahan tahun jumlah presentasi konsumsi JBKP sudah mencapai angka 70 persen. Untuk jenis lainnya kuota solar diberikan oleh pemerintah sebesar 14,91 juta KL. Hingga akhir Juli 2022 sudah digunakan 9,9 juta KL dan tersisa 5,01 juta KL. Dengan keadaan ini diprediksi persediaan BBM akan habis pada bulan Oktober 2022 (kumparan bisnis.com, 14/8/22).
Jika memang terjadi kelangkaan disebabkan oleh terbatasnya kuota BBM yang disalurkan, kenapa pemerintah tidak melakukan penambahan kuota agar terpenuhi seluruh kebutuhan BBM bagi masyarakat?
Langkah ini nyatanya akan membebani negara dalam APBN. Dengan penambahan kuota maka akan bertambah pula dana kompensasi APBN. Dikarenakan hampir 75% kebutuhan BBM dalam negeri dipenuhi dari impor migas. Sementara alokasi dana APBN 2022 untuk subsidi energi BBM sebesar Rp 134 trilliun.
Namun kenyataannya ada perubahan keekonomian pada ICP yaitu sekitar 100 US Dollar per barel. Sehingga dana yang dialokasikan tidak memenuhi kebutuhan. Karena dana bertambah menjadi Rp 208,9 triliun atau naik Rp 74,9 trilliun.
Atas dasar inilah pemerintah tidak bisa melakukan penambahan kuota BBM. Maka pemerintah melakukan berbagai macam cara mengatasi pemenuhan kebutuhan BBM. Langkah yang ditempuh adalah dengan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, menaikkan harga atau mengurangi subsidi energi.
*Akar permasalahan*
Sejatinya baik pembatasan penggunaan BBM bersubsidi dengan mendorong masyarakat untuk melakukan pendaftaran subsidi tepat, menaikkan harga BBM dengan dalih mengurangi beban APBN ataupun mengurangi subsidi adalah langkah yang tidak tepat dalam mengatasi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dampak yang ditimbulkannya akan semakin meluas, terutama pada sektor ekonomi dan mempengaruhi produk domestik bruto dalam negeri. Karena komoditas BBM adalah yang paling banyak di konsumsi pada sektor industri, kelistrikan, dan transportasi.
Adalah sebuah keharusan bagi negeri ini untuk berdaulat secara mandiri dalam sektor energi. Terlebih negeri ini memiliki potensi energi alternatif seperti gas bumi, panas bumi, minyak mentah, dan sumber energi lainnya. Potensi ini bisa dikembangkan dan dikelola dengan teknologi yang canggih sehingga bisa dijadikan sebagai energi subtansi.
Hanya saja tidak akan pernah terwujud pemanfaatan potensi yang dimiliki jika pemerintah masih menghitung untung rugi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jika pemerintah masih bergantung pada pemikiran yang tidak ingin susah payah mengelola sumber energi. Jika pemerintah masih mengandalkan impor yang besar untuk kebutuhan masyarakat.
Karena akar permasalahannya adalah pengadopsian sistem dalam bernegara dan pengurusan masalah umat. Sistem kapitalisme neoliberal dengan asas sekularisme telah mendikte pemerintah untuk melakukan liberalisasi dan penggunaan riba dalam menopang ekonomi negara. Sementara hubungan antara negara dengan rakyatnya hanyalah hubungan untung rugi. Wajar jika sumber daya alam yang dimiliki akan digunakan penguasa untuk mendukung para oligarki dan mendapatkan keuntungan besar dengan modal yang cuma-cuma. Meskipun harus melawan dan mengorbankan rakyatnya.
*Islam menjamin kebutuhan rakyat*
Islam memandang bahwa kesejahteraan rakyat dilihat per individu. Sehingga penguasa akan memperhatikan segala kebutuhan rakyatnya dengan sempurna. Terpenuhinya kebutuhan dasar adalah tugas dari pemimpin dengan didasari keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Maka pemimpin akan berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat mulai dari pendidikan, kesehatan, keamanan, pangan sampai kebutuhan energi sebagai penunjang pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Maka sumber energi akan diperlakukan sebagai harta milik umat. Eksploitasi dan pengelolaannya akan ditangani oleh negara tanpa melibatkan pihak swasta atau asing. Islam tidak akan memberikan peluang sedikit pun kepada pihak swasta maupun asing untuk memiliki kekayaan alam. Apalagi dengan menjualnya untuk mendapatkan keuntungan. Semua hasil eksploitasi dan pengelolaan akan dikembalikan kepada rakyat secara percuma. Jikapun harus membayar maka akan dikenakan biaya yang serendah-rendahnya.
Maka Islam berbeda dengan sistem kapitalisme neoliberal dalam pengadaan sumber energi bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam tidak akan melihat untung rugi yang diperoleh, namun manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dalam penggunaan sumber energi mulai dari hulu ke hilir. Karena Islam akan mengembalikan hasil dari eksploitasi dan pengelolaan sumber energi kepada masyarakat. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat kan terwujud.
Sementara kapitalisme neoliberal hanya melihat untung rugi bagi para pemodal. Kemudian menjadikannya sebagai transaksi jual beli dengan masyarakat tanpa melihat beban masyarakat yang kian bertambah akibat penerapan sistem kapitalisme neoliberal. Akhirnya menyebabkan rakyat semakin menderita.
Wallahu'alam bishawwab
Post a Comment