Aktivis Dakwah Perindu Perubahan
Kembali hangat ke permukaan publik tatkala kebijakan Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika beberapa waktu silam yang telah melayangkan surat pemberitahuan kepada penyedia jasa internet atau internet service provider (ISP) untuk memblokir beberapa situs atau web yang dinilai terindikasi memuat konten yang bersentimen Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) hingga terindikasi phising dan malware. Phising merupakan sebutan untuk sebuah tindakan atau upaya untuk memperoleh informasi pribadi seperti User Id, Password, dan data-data sensitif lainnya dengan menyamar sebagai orang atau organisasi yang berwenang melalui sebuah email.
Salah satu aplikasi yang diblokir dan menyulut reaksi masyarakat adalah aplikasi pembayaran nontunai PayPal. PayPal merupakan alat pembayaran yang umum digunakan dalam transaksi lintas negara. Akibat pemblokiran tersebut, banyak pengguna yang dirugikan, bahkan hingga harus kehilangan nafkahnya.
Sandya Widya Wiryawan (22), misalnya, membentangkan tulisan berisikan protes di depan Gedung Kominfo. Sebagai pekerja kreatif di bidang seni gambar, Sandya mengaku merasa dirugikan sebab ia sering mendapatkan pesanan dari pasar internasional, dibayar memakai dolar melalui PayPal.
Setelah diblokir, bukan hanya uangnya yang tertahan di sana, melainkan juga kehilangan sejumlah proyek dari pekerjaannya. Padahal, biasanya ia bisa mendapatkan ratusan dolar AS dari proyek internasional. (Kompas, 01/08/2022).
Setelah menuai kritik, Menteri Kominfo Johnny G. Plate menjelaskan, pemblokiran ini sebagai langkah pemerintah menegakkan kedaulatan negara dalam menertibkan platform digital dari dalam maupun luar negeri supaya taat hukum Indonesia. Oleh sebab itu, Johnny berujar, supaya bisa beroperasi lagi, PSE yang telah diblokir harus mengikuti prasyarat yang telah ditetapkan pemerintah.
Sebetulnya pemblokiran situs dan aplikasi memang hak pemerintah. Keberadaannya harus ada untuk melindungi rakyat dari segala macam mara bahaya. Entah itu bahaya pencurian data pribadi, maupun lingkungan ruang digital yang aman, terutama bagi generasi. Negara harus memiliki kekuatan untuk bisa menindak tegas situs atau aplikasi berbahaya.
Akan tetapi, persoalannya bukan di situ (pemblokiran). Masyarakat tentu akan menerima jika yang diblokir adalah situs atau aplikasi yang terbukti berbahaya menurut standar syariat. Yang masyarakat resahkan adalah keberpihakan pemerintah bukanlah pada kemaslahatan umat.
Pemerintah terkesan tidak segan langsung memblokir situs yang dibutuhkan umat hanya karena aturan administratif (pajak). Pada saat yang sama, pemerintah terlihat tidak berkutik tatkala berhadapan dengan pemilik situs yang “dekat” dengan penguasa, alias para cukong politik. Pemerintah pun kaku di hadapan pemilik modal yang berpotensi mengalirkan keuntungan.
Pihak yang tidak sepakat rata-rata menilai kebijakan ini akan merugikan masyarakat banyak. Maklum, di Indonesia pengguna situs atau aplikasi hiburan serta perangkat bisnis tersebut terhitung cukup banyak. PayPal, misalnya, lebih dari 50% transaksi pembayaran skala global dilakukan melalui aplikasi ini.
Hanya saja, ada alasan yang dipandang lebih krusial dari itu. Mereka menilai kebijakan Kemkominfo ini adalah upaya negara untuk merepresi kebebasan publik, baik untuk berekspresi maupun berpendapat, termasuk menyampaikan kritik pada penguasa di ruang digital secara damai.
Akar permasalahan sesungguhnya terletak pada kebijakan kapitalistik dalam sistem demokrasi. Kebijakannya selalu menguntungkan oligarki dan kapitalis, serta merugikan rakyat. Oleh karenanya, jangan pernah berharap pemblokiran situs akan berdasarkan pada kebutuhan umat jika sistem demokrasi kapitalisme masih diterapkan.
Jika Islam diterapkan secara sempurna, kebijakan akan berfokus pada umat. Keberadaan penguasa adalah untuk melindungi umat dari segala bahaya. Pemblokiran situs dan aplikasi akan mengikuti kemaslahatan umat dan tidak akan terjadi pada situs dan aplikasi yang bermanfaat. Sedangkan terhadap situs berbahaya, bukan hanya pemblokiran, melainkan ada sanksi bagi pengelolanya.
Walhasil, keberadaan media dalam negara Islam tidak sekadar diatur soal legalitasnya, melainkan kontennya pun dipastikan tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Jika ada yang melanggar, negara siap memblokir, bahkan menghukum penanggung jawabnya.
Sejarah membuktikan, sosok negara berparadigma Islam mampu tampil sebagai negara kuat, berwibawa, dan berdaulat. Negara Islam saat itu benar-benar memiliki posisi tawar di hadapan semua pihak, baik di hadapan rakyat maupun musuh-musuhnya. Wajar jika negara memiliki daya cegah atas bahaya yang datang, baik dari dalam maupun luar.
Wallahu a'lam Bishshawwab
Post a Comment