RUU KIA : Membela Atau Mendiskriminasi Kaum Ibu


Oleh Ratna Ummu Rayan
(Muslimah Peduli Umat)


DPR RI sedang membahas soal RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang salah satu isinya membahas soal cuti melahirkan selama 6 bulan. RUU KIA disebut telah disepakati oleh Badan Legislasi (BaLeg) dan di setujui oleh 7 fraksi di DPR.

Anggota DPR dari fraksi PKB Luluk Nur Hamidah menjelaskan, salah satu alasan kenapa cuti melahirkan 6 bulan itu penting. Karena dia menyebut ada fenomena perempuan depresi pasca melahirkan. Kasus-kasus inilah yang perlu diantisipasi.

Adapun ketua DPR Puan Maharani menilai, RUU KIA menitik beratkan pada masa pertumbuhan emas anak atau golden age yang merupakan periode krusial tumbuh kembang anak yang kerap di kaitkan dengan 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) sebagai penentu masa depan anak. Puan menegaskan, ibu wajib mendapat waktu yang cukup untuk memberikan asi bagi anak-anaknya termasuk ibu yang bekerja.

Sekalipun RUU KIA ini di klaim akan memberi perlindungan kepada perempuan khususnya yang baru melahirkan. Nyatanya muncul kekhawatiran di masyarakat yakni adanya diskriminasi terhadap pekerja atau pencari kerja perempuan.

Seperti salah satu komentar di akun tik tok DPRRI, " nanti pengusaha gak mau rekrut karyawan perempuan, atau syarat rekrut untuk wanita harus belum menikah, atau tidak menikah selama terikat masa kerja." Tulis seorang pengguna.

Sementara di twitter ada yang kontra, " kalo aku mikirnya perusahaan bakal jadi "agak" mikir kalo mau menerima karyawan cewek. Normal yo 3 atau 4 bulan saja, kadang ada aja kantor yang gak rela karyawannya cuti nyampe 3 bulan, apalagi 6 bulan??? Tulis warga net di Twitter mengungkapkan keresahan yang sama.

Wajar saja jika dilema ini muncul dari sebagian perempuan. Terlebih lagi jika perempuan tersebut menjadi tulang punggung keluarga sebab ideologi kapitalisme dalam kehidupan saat ini gagal menjamin kesejahteraan perempuan. 

Pangkal dari kegagalan ini di sebabkan karena ideologi ini mengukur kesuksesan perempuan dengan capaian materi dan posisi publik. Ukurannya angka belaka seperti samanya angka gaji dengan laki-laki.

Sementara tolak ukur spiritual dan tugas utamanya sebagai umm wa rabatul bait (ibu rumah tangga) sama sekali tidak di masukan dalam parameter keberhasilan tersebut. Karna di anggap tidak penting atau tidak perlu.

Maka perempuan yang tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumah tangga di anggap tidak produktif apalagi jika perempuan tersebut hidup dalam himpitan ekonomi keluarga. Maka tawaran bekerja adalan solusi realitis untuk menghadapi persoalan tersebut. Dengan bekerja perempuan dikatakan berdaya dan terhindar dari diskriminasi. Sebagaimana yang di gaungkan aktivis gender.

Disisi lain, ideologi kapitalis tidak bisa menghilangkan kodrat perempuan yang harus melahirkan dan mengurus anak maupun keluarga nya. Sehingga ketika karyawan perempuan terlalu lama menggambil cuti maka industri jelas di rugikan.

Oleh karena itu wajar jika para perempuan khawatir dengan kebijakan RUU KIA, mereka justru akan kehilangan kesempatan bekerja sebagaimana kaum laki-laki, sekalipun cuti melahirkan adalah hak mereka.

Dilema ini sebenarnya tidak akan menjadi masalah ketika kehidupan manusia diatur oleh sistem yang shohih yaitu sistem islam yang di sebut khilafah, posisi pria dan wanita dalam Islam akan di pandang sama ketika seorang hamba. Contohnya mereka di wajibkan untuk melaksanakan sholat, puasa zakat, haji maupun dakwah.

Namun islam tidak mensejajarkan laki- laki dan perempuan, sebagaimana penjelasan Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nidhomun al istima'iy bab" kedudukan wanita dan pria". Bahwa islam menetapkan berbagai hak kewajiban dan taqlif syariah berbeda antara pria dan wanita .

Penetapan tersebut logis untuk di fahami, sebab pada realitasnya Allah SWT memang menciptakan pria dan wanita dengan karakter dan predikatnya masing-masing. Seperti kewajiban bekerja yang di bebankan pada laki-laki, dengan karakter dan predikatnya sebagai seorang laki-laki. Maka syara menetapkan kewajiban mencari nafkah ada dipundak laki-laki.

Allah SWT berfirman dalam Qur'an surah Al Baqarah ayat 233 yang artinya:" dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara yang makruf".

Disinilah peran Khalifah untuk memastikan setiap laki-laki mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan keluarga nya secara makruf.

Sedangkan perempuan dengan karakter dan predikatnya sebagai seorang perempuan. Syariat telah menetapkan kewajiban dan tugas mulia mereka adalah menjadi umm warabatul bait ( ibu rumah tangga). Keberhasilan mereka diukur dari mereka mampu mendidik anak mereka menjadi pejuang Islam.

Tugas ini amat berat, maka syariat tidak menambah beban mereka dengan kewajiban mencari nafkah. Dalam Islam perempuan ditanggung walinya sebagaimana perintah Allah dalam QS Al Baqarah tadi.

Disisi lain Islam pun memberikan hak kepada wanita untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi, perdagangan ,pertanian , industri dan melakukan berbagai transaksi didalamnya. Ia boleh memiliki dan mengembangkan harta.

Oleh karena itu hukum bekerja bagi wanita adalah mubah (boleh). Dan pada praktiknya , dalam peradaban Islam , para muslimah bekerja bukan karena himpitan ekonomi atau untuk berjuang mendapatkan kesetaraan. Mereka bekerja untuk mengamalkan ilmu mereka .

Dalam khilafah, perempuan akan ditempatkan bekerja sesuai dengan feminitasnya seperti seorang guru, dokter, perawat dan sejenisnya.

Khilafah akan melarang pekerjaan yang merendahkan martabat perempuan dan mengeksploitasi tubuh mereka seperti model, SPG dan sebagainya.

Khilafah juga kan mengatur jam kerja untuk para perempuan agar tak sampai melalaikan kewajiban mereka sebagai umm warabatul bait. Sehingga ketika mereka ada dimasa melahirkan dan menyusui tidak akan menjadi masalah. Mereka bisa mengajukan cuti tanpa beban ekonomi mereka akan terganggu. Sebab nafkah mereka akan ditanggung oleh walinya.
Wallahu'alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post