Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I.
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
Sungguh sangat menakutkan jika saat ini rakyat miskin mengalami sakit. Pasalnya, biaya rumah sakit begitu mahal dan tak mungkin terjangkau untuk melindungi dan menjaga kesehatan mereka. Sampai-sampai mereka berpikiran kalau rakyat miskin tidak boleh sakit. Seakan ada label yang mengatakan “haram hukumnya orang miskin sakit”.
Sebenarnya rakyat bukannya tidak ingin kaya agar bisa hidup sehat dan terlindungi kesehatannya, tapi kondisi sulit untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar agar mendapatkan fasilitas kesehatan yang memuaskan tidak bisa didapatkan, karena kesehatan rakyat akan berdasarkan standar yang disesuaikan dengan gaji peserta BPJS. Mencari pekerjaan saja sulit, peluang kerja sempit, terasa lelah seakan terus ingin menjerit karena terhimpit. Ya Allah.
Apalagi dikhabarkan kembali pemerintah sedang melakukan penghitungan ulang untuk iuran kesehatan yaitu adanya perubahan sistem kelas pelayanan rawat inap. Sebelumnya rawat inap ruang perawatan terbagi dalam pelayanan kesehatan untuk kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 dengan disesuaikan kemampuan rakyat membayar iuran bulanan, dikabarkan akan dilebur menjadi kelas rawat inap standar (KRIS).
Ternyata berdasarkan pernyataan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri, dengan adanya peleburan ini, iuran nantinya ditentukan dari besar pendapatan peserta. Salah satu prinsipnya sesuai dengan besar penghasilan, dikutip dari Kompas.com, (9/6/2022). Namun, penerapan kelas tunggal BPJS Kesehatan masih menunggu diselesaikannya revisi Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Yang membuat aneh DJSN sendiri belum bisa menjelaskan bagaimana progress revisi Perpres tersebut hingga saat ini, sehingga belum dipastikan kapan layanan tunggal BPJS Kesehatan akan diterapkan.
Namun keharusan masyarakat peserta BPJS Kesehatan membayar iuran bulanannya dan menerima manfaat ruang perawatan sesuai dengan kelas kepesertaan yang mereka miliki masih harus tetap dilaksanakan sampai penggodokan aturan ini selesai dan nantinya, layanan yang akan didapat peserta menjadi satu standar, begitu pula dengan iuran yang wajib dibayarkan. Tapi, apakah hal ini bisa dilaksanakan di lapangan? Benarkah kebijakan ini untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di bidang kesehatan? Atau hanya mencari peluang agar pemasukan negara bertambah dengan memaksa masyarakat menaikan iuran bulanan BPJS? Bagaimana dengan standar pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang diberikan negara, apakah juga dipikirkan untuk ditingkatkan? Semoga rakyat tidak hanya dijadikan sapi perah yang bertugas mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi mengisi kas negara. Itulah yang terjadi di sistem kapitalis semuanya dihitung untung rugi.
Namun, Bagaimana dengan Islam? Dalam Islam kewajiban negara menyejahterakan dan melindungi hak rakyat untuk sehat. Seluruhnya ditanggung oleh negara dan dananya diambil dari sumber daya alam bukan dari iuran rakyat. Karena negara berkewajiban memberikan tiga fasilitas pokok untuk rakyatnya yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan yang harus diberikan secara gratis. Seluruh biaya kesehatan ditanggung oleh negara, sehingga jika ada rakyat yang sakit, mereka bisa langsung berobat tanpa berpikir lagi harus mencari biayanya. Itulah yang terjadi di negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Oleh karenanya, masihkah kita ragu dengan negara yang dipimpin oleh Islam?[]
Post a Comment