Pengesahan Pernikahan Beda Agama Bukti Cacatnya Hukum Buatan Manusia


Oleh : Yani Riyani

(Ibu Rumah Tangga)

Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang mengesahkan atau mengizinkan pernikahan beda agama menjadi kontroversi dan menjadi perhatian publik, putusan tersebut dianggap akan menjadi lahirnya putusan yang sama pada masa depan. Putusan PN Surabaya ini berdasarkan pada Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 34 berlaku pula bagi :

Pertama : Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.

Kedua : Perkawinan warga negara asing yang diadakan di Indonesia atas permintaan warga negara asing yang bersangkutan.

Kemudian Pasal 36 : Yang menjelaskan dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.

Menanggapi hal tersebut, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Tholabi Kharlie beranggapan bahwa putusan tersebut akan menjadi preseden lahirnya putusan-putusan serupa bagi mereka yang menikah dengan pasangan yang berbeda agama lainnya (CNN Indonesia, 24/6/2022).

Kontroversi nikah beda agama akan terus muncul seiring terjadinya peristiwa pernikahan beda agama yang dilegitimasi oleh negara. Sebenarnya sudah ratusan atau bahkan ribuan peristiwa pernikahan beda agama yang mendapatkan legitimasi dari instansi terkait, hanya saja tidak terekspos ke publik, fakta ini menunjukkan bahwa ada persoalan krusial dari sisi norma hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia.

Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.” Dengan melihat hukum yang berlaku, keputusan Hakim PN Surabaya jelas-jelas menyalahi perundang-undangan yang ada.

Jadi kalau kompilasi hukum Islam di Indonesia adalah merupakan hasil ijtihad atau inovasi hukum dalam menafsirkan ketentuan Al- Qur'an yang bersifat kolektif, ia merupakan hukum yang harus dipedomani bagi umat Islam Indonesia, walhasil perkawinan antar pemeluk agama tidak diperbolehkan. Secara hukum, karena ia jelas-jelas suatu bentuk halangan perkawinan dan wajib dicegah pelaksanaannya. Jadi perkawinan yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia harus dilakukan dengan satu jalur agama artinya perkawinan beda agama tidak diperbolehkan untuk dilaksanakan dan jika dipaksakan berarti pernikahan itu tidak sah dan melanggar undang-undang, sehingga pernikahan beda agama belum bisa diresmikan di Indonesia.

Menikah menjadi salah satu penyempurna dalam beribadah kepada Allah SWT. Pernikahan akan memberikan kebahagiaan bagi setiap pasangan yang semata-mata mengharap ridha-Nya. Menikah akan indah dan diliputi keberkahan jika sama-sama dalam satu keyakinan. Agama menjadi kunci kebahagiaan manusia tidak perlu mencari pembenaran hanya semata-mata karena cinta, maka melanggar hukum Allah. Sudah terbukti bahwa orang yang menikah beda agama tidak mendapatkan kebahagiaan karena diliputi perbedaan keyakinan.

Dalam Islam dikenal dengan istilah Mitsaqan Ghalidza atau ikatan yang begitu kokoh, jadi komitmen akan kewajiban dan hak masing-masing pihak suami terhadap istri dan sebaliknya dikukuhkan dalam sebuah ikatan perjanjian dan disepakati bersama-sama. Agama dalam pernikahan merupakan suatu yang penting. Pasalnya, agama menyangkut keyakinan dan keimanan. Jika terdapat perbedaan dikhawatirkan akan mengganggu komitmen pernikahan yang harus dijaga dan dirawat bersama, selain itu dalam Islam hubungan suami istri juga memerlukan sikap saling menghargai, menghormati, dan menebar kasih sayang.

Agama Islam secara terang-terangan melarang adanya pernikahan beda agama. Allah berfirman : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan laki-laki musyrik dengan wanita beriman sebelum mereka (laki-laki musyrik) beriman. Sungguh lelaki budak yang beriman lebih baik daripada lelaki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (TQS Al-Baqarah : 221).

Alasan utama larangan pernikahan orang beriman dengan orang yang tidak beriman adalah perbedaan Akidah. Orang yang tidak beriman akan selalu mengajak kepada kekafiran dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengantarkan pelakunya masuk neraka. Bagaimana mungkin akan terjalin hubungan yang harmonis antara suami istri ataupun antara keluarga yang berbeda keyakinan jika nilai-nilai yang mereka anut tidak hanya berbeda tetapi bertentangan.

Begitulah hukum buatan manusia yang tiada kehormatan di dalamnya. Bisa berubah setiap saat sesuai kepentingan manusia. Ketika ada ancaman kemaksiatan pun, hukum tidak mampu tegak berdiri. Inilah buah dari sistem kapitalis sekuler yang dalam prakteknya memisahkan agama dari kehidupan. Peran manusia diagungkan demi menjaga HAM, sementara hak Allah sebagai pemilik bumi dan seisinya tidak ditimbang aturan-Nya dalam kehidupan.

Saatnya kaum muslim sadar dan lantang meneriakkan penolakan di setiap kebijakan yang merusak karena pada hakikatnya hukum bukan hanya sebagai refleksi dari penjelmaan kehidupan bermasyarakat saja, yang semata-mata hanya tunduk pada perilaku yang ada dalam masyarakat itu, akan tetapi juga ditundukkan pada Sang Pencipta manusia yang merupakan Sumber kehidupan dan Sumber dari Segala Sumber Hukum yang dituangkan dalam Materi-materi Hukum Allah yang mengikat. Hanya hukum Allah-lah yang mampu menjaga keluarga, kehidupan, dan masa depan umat manusia.

Walahualam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post