Pemuka Agama Dideportasi: di Mana Hak Asasi Bermigrasi?


Oleh: Isra Novita
Mahasiswi Universitas Indonesia



Bukti hipokritisasi dari demokrasi kini muncul pada permasalahan migrasi. Salah seorang pemuka agama di Indonesia, UAS, ditolak untuk bermigrasi ke Singapura pada 16 Mei 2022 dari Batam. UAS menyatakan bahwa alasan penolakan tersebut tidak diberitahukan langsung kepada dirinya. Padahal setiap individu dijamin hak bermigrasi oleh PBB dalam Hak Asasi Bermigrasi. Pihak kedubes Indonesia untuk Singapura menyatakan bahwa Singapura tidak mendeportasi UAS, akan tetapi UAS dianggap sebagai Not to Land atau imigran yang tidak memenuhi kriteria untuk masuk ke negara Singapura. Namun, kriteria yang tidak dipenuhi oleh UAS juga belum dijelaskan oleh pihak Singapura dengan alasan rahasia keimigrasian negara Singapura. (Kompas.com) 

Alasan Hipokrit
Hipokritisasi sistem demokrasi yang melandasi pengambilan kebijakan keimigrasian semakin terlihat jelas berdasarkan alasan ditolaknya UAS di Singapura yang disampaikan oleh Kemendagri Singapura. Beberapa alasan ditolaknya UAS di Singapura diantaranya karena UAS dianggap telah menyebarkan ajaran ekstrimis. “Somad dikenal menyebarkan ajaran ekstrimis dan segregasi, yang tidak dapat diterima di masyarakat multi-ras dan multi-agama Singapura,” tercantum pada situs resmi Kemendagri Singapura (cnbcindonesia.com).

Di sisi yang lain, Singapura juga membangun hubungan diplomatik dengan Israel sejak 1966 hingga saat ini terutama dalam bidang keamanan dan bisnis, padahal Israel hingga saat ini masih melakukan tindakan perpecahan di negara Palestina. Fakta ini tentu memicu pertanyaan baru bagaimana Singapura memandang makna ekstrimisme dan segregasi. Hal ini juga semakin memperjelas hipokritisasi demokrasi dalam menentukan hak siapa yang seharusnya didukung atau dibela dari sudut pandang Hak Asasi Manusia.

Alasan lainnya yang disampaikan oleh Kemendagri Singapura dalam situs resminya terkait alasan penolakan UAS di Singapura di antaranya karena UAS merendahkan agama lain. “Dia juga membuat komentar yang merendahkan anggota komunitas agama lain, seperti Kristen, dengan menggambarkan salib Kristen sebagai tempat tinggal “jin (roh/setan) kafir”. Selain itu, Somad secara terbuka menyebut non-Muslim sebagai “kafir”. (cnbcindonesia.com) 

Padahal kata-kata tersebut hanyalah istilah yang digunakan dalam ajaran Islam, bukan argumentasi UAS secara pribadi. Penolakan ini seakan-akan menunjukan penolakan Singapura terhadap ajaran Islam. Hal ini pula yang mendorong sebagian masyarakat untuk menyatakan Singapura sudah terjangkit Islamofobia akut.

Pemaparan alasan penolakan UAS di Singapura tersebut justru menunjukan ketidakjelasan standar yang digunakan dalam menentukan tindakan mana yang dianggap “berbahaya” maupun sebaliknya. Ketidakjelasan standar tersebut sangat wajar dalam sistem kapitalisme-sekuler karena standar yang digunakan hanya berdasarkan sudut pandang manusia yang rentan akan perbedaan pandangan. 

Ditambah lagi setiap orang memiliki pengalaman hidup yang berbeda, sehingga jika standar yang digunakan berdasarkan pemikiran manusia semata tentu sangat besar peluang munculnya perbedaan pandangan. Maka, dalam menentukan standar benar dan salah untuk memutuskan sesuatu, seharusnya tidak cukup hanya berdasarkan logika manusia semata. Perlu adanya kebenaran mutlak yang harus dipatuhi oleh setiap manusia sehingga tidak menimbulkan hipokritisasi.

Migrasi pada Masa Kejayaan Islam
Berbeda halnya dengan kebijakan bermigrasi pada masa kejayaan Islam yang tentu ditetapkan berdasarkan syariat Islam. Perizinan maupun pencegahan keluar masuknya seorang individu ke wilayah kekuasaan Islam berdasarkan keamanan wilayah negara Islam dalam menjalankan perannya sebagai pelindung umat dan dakwah Islam ke seluruh dunia. Hal ini berarti setiap orang berhak memasuki wilayah Islam selama bersedia tunduk terhadap aturan yang diterapkan dalam negara Islam yang sesuai syariat sehingga tidak ada halangan dengan alasan hipokrit. 

Salah satu bukti nyata kebebasan hak bermigrasi pada masa Islam telah dibuktikan dalam sejarah di Kota Granada. Setiap orang baik Muslim maupun non-Muslim berhak memasuki wilayah pusat keemiran Islam di Kota Granada untuk melanjutkan hidup maupun menyelamatkan diri dari gempuran reconquista oleh raja-raja Kristen Andalusia. Setiap individu dalam wilayah kekuasaan Islam wajib dipenuhi kebutuhan hidupnya karena hal ini merupakan kewajiban negara dalam Islam.

Islam adalah Solusi
Maka, penerapan Islam secara menyeluruh adalah solusi hakiki atas pemenuhan hak setiap manusia, termasuk hak bermigrasi. Hal ini dikarenakan hak setiap individu dipenuhi berdasarkan standar baku yaitu syariat Islam, bukan hanya sebatas hawa nafsu atau sudut pandang manusia apalagi sekadar mencapai keuntungan secara materi. Namun, perlu disadari bahwa penerapan Islam secara menyeluruh ini tidak akan pernah terealisasikan tanpa adanya institusi negara karena penerapan Islam hakikatnya memerlukan tiga pilar, yakni individu, masyarakat dan negara yang menerapkan syariat Islam. Wallahu A'lam.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post