Nasib Wanita di Negara Kapitalis


Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I.

Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok

 

 

Wanita yang tinggal di negara kapitalis memiliki hak yang sama dalam mencari nafkah, karena mereka pula menjadi tulang punggung keluarga. Bila hanya mengandalkan pendapatan suami maka dapur tidak akan ngebul. Terkadang wanita lebih di ekplor untuk bekerja karena dinilai penurut, teliti dan takut mengeluarkan pendapat ataupun berontak apabila terasa dizalimi oleh instans atau perusahaan tempat wanita bekerja. Hal inilah juga yang menyebabkan seorang lelaki yang bertanggung jawab sebagai suami dan tulang punggung keluarga menjadi gagal untuk mencari nafkah karena peluang kerja lebih diberikan kepada wanita. Dunia sudah terbalik.

Setelah berhasil menarik wanita untuk beramai-ramai keluar rumah dan melupakan tanggung jawabnya sebagai ummu warabatul bait dan disibukkan mengumpulkan harta untuk kesenangan dunia. Oleh karenanya, sebagai dukungan dan apresiasi terhadap wanita yang bekerja di luar rumah, saat ini anggota DPR RI berencana akan membahas lebih lanjut RUU KIA (Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak) menjadi undang-undang. Hal ini diawali dengan anak-anak yang dilahirkan dan merupakan penerus bangsa tidak dapat maksimal mendapatkan pengasuhan seorang ibu, karena kesibukan sebagai seorang pekerja.

Di dalam draf RUU tersebut ada usulan cuti melahirkan minimal enam bulan. Hal ini disampaikan untuk memperlihatkan kepedulian lembaga negara pada kaum Wanita. Namun ternyata hal tersebut lebih memunculkan kekhawatiran dari masyarakat karena akan ada diskriminasi terhadap pekerja atau pencari kerja perempuan seperti kehawatiran perusahaan akan lebih mengutamakan merekrut karyawan laki-laki  karena perusahaan tidak mau rugi membayar gaji bagi wanita cuti. Maka di masa yang akan datang pengusaha mau rekrut karyawan perempuan, syaratnya yang belum menikah, atau tidak menikah selama terikat masa kerja.

Untuk saat ini dengan peraturan yang ada, masih ada perusahaan atau kantor yang tidak rela apabila ada karyawannya cuti sampai 3 bulan, padahal itu adalah merupakan hak cuti melahirkan, apalagi ada wacana sampai cuti 6 bulan membayar gaji tanpa ada karyawannya bekerja. Apakah wacana RUU KIA akan memberikan kesejahteraan atau memberikan diskriminasi pada wanita?

Ternyata, pembahasan soal cuti melahirkan selama enam bulan yang tertulis dalam RUU KIA disebut telah disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) dan disetujui oleh 7 Fraksi di DPR. Ada 7 fraksi yang mendukung untuk dibawa ke tingkat lebih lanjut.

Banyak yang mempertanyakan apa alasan cuti melahirkan enam bulan itu penting? Tentu saja, karena adanya fenomena perempuan depresi pascamelahirkan, bahkan sebelum melahirkan pun wanita mengalami depresi, karena disebabkan perubahan hormon. Adanya kasus kekerasan ibu terhadap bayinya pascamelahirkan juga itu diduga karena depresi. Kasus-kasus itulah yang perlu diantisipasi. Tidakkah terpikirkan bahwa depresi juga disebabkan karena ketidakikhlasan atas ketentuan Allah SWT bahwa seorang wanita harus hamil, harus melahirkan dan harus mengurus anak karena mendapatkan ganjaran pahala jihad.

Namun, berharap dinilai membawa angin segar untuk wanita karier, bila terwujudnya UU kesejahteraan ibu anak, ternyata yang didapat malah sebaliknya, kebijakan ini bukan Membela wanita tetapi mendiskriminasi wanita. Wanita diarahkan untuk ikut mencari nafkah, yang seharusnya adalah kewajiban seorang pria. Wanita dijanjikan mendapatkan kebahagian dunia bila beraktivitas di luar rumah dengan iming-iming undang-undang akan mendukung.

Padahal sejatinya tugas wanita adalah sebagai isteri yang menjaga diri, anak dan keluarganya di belakang suaminya. Wanita dijadikan pekerja dengan gaji murah dan dipilih sebagai tenaga kerja yang mudah di atur dan tidak banyak protes walau dizalimi. Inilah contoh hukum yang dibuat oleh manusia, hanyalah akan mendatangkan dilema bukan kemaslahatan. Akankah tetap dipertahankan?[]

Post a Comment

Previous Post Next Post