Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah
Rencana penghapusan tenaga honorer tahun 2023, cukup membuat resah dan gelisah, di tengah sulitnya mencari pekerjaan. Bukan hanya tenaga honorer, lembaga yang biasa menggunakan tenaga mereka pun harus memikirkan solusinya ketika penghapusan tenaga honorer diberlakukan.
Sekretaris Komisi A DPRD Kabupaten Bandung, Tedi Surahman berharap agar Pemkab Bandung mencari solusi terbaik mengingat banyak tenaga honorer yang menjadi tulang punggung pelayanan di Kabupaten Bandung, karena keahliannya menguasai ilmu teknologi. Jika mereka ditiadakan, barang tentu akan terjadi gangguan pelayanan. Lebih lanjut Tedi mengatakan bahwa para honorer telah memberikan kontribusinya pada pemerintah, sehingga adanya surat edaran Kemenpan RB jangan sampai keberadaannya dan kinerjanya tidak diperhitungkan (INI SUMEDANG. COM, Senin 13 Juni 2022).
Pemerintah berkali-kali mewacanakan akan mulai menghapus keberadaan tenaga honorer sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK. Dengan adanya peraturan tersebut, ke depannya pegawai pemerintah hanya akan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK).
Meskipun pemerintah memberikan harapan bagi tenaga honorer dengan menyelenggarakan seleksi CPNS dan PPPK, tetapi berapa persen dari jumlah keseluruhan yang bisa lolos seleksi.
Dapat kita bayangkan berapa besar penambahan jumlah pengangguran di negeri ini. Padahal angka pengangguran yang ada sudah cukup tinggi. Masih segar dalam ingatan, pada saat kampanye presiden, salah satu yang dijanjikan adalah membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Namun sayang, sepertinya jauh panggang dari api.
Saat ini tercatat sebanyak 438.590 yang masih menyandang status tenaga honorer. Sudah cukup lama, mereka menunggu keputusan diangkat menjadi ASN dan mendapatkan gaji yang layak. Pengabdian mereka ada yang sudah 5 tahun, 20 tahun bahkan hingga mendekati umur pensiun. Pengabdiannya dipandang sebelah mata hingga dianggap sebagai beban negara. Hal ini terungkap dari perkataan Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo yang menyebutkan bahwa, anggaran pemerintah pusat terbebani dengan kehadiran tenaga honorer yang banyak direkrut oleh pemda.
Rekrutmen pegawai honorer pada awalnya dianggap sebagai upaya untuk menanggulangi pengangguran dan mendapatkan tenaga kerja yang mau dibayar rendah, karena belum memiliki pengalaman kerja serta dijanjikan akan diangkat sebagai ASN. Hari ini malah dipermasalahkan dan disalahkan. Malang bener nasib sebagai tenaga honorer. Kepada siapa mereka mengadu kesulitannya dan menggantungkan nasibnya?
Miris, rumitnya permasalahan tenaga honorer seharusnya membuat kita tersadar, bahwa kehidupan dalam kungkungan kapitalisme semakin banyak melahirkan kesulitan, mengering dari kebaikan. Sistem yang hanya mendudukan penguasa sebagai regulator bukan pengurus. Sehingga hubungan yang terjalin antara penguasa dan rakyat didasarkan pada untung-rugi. Karenanya wajar jika pemerintah menggaji tenaga honorer dianggap sebagai beban keuangan negara.
Persoalan yang terjadi bukan hanya menimpa tenaga honorer. Rakyat dibiarkan memenuhi kebutuhannya dengan berjuang sendiri tanpa diimbangi dengan kebijakan yang memberikan kemudahan maupun ketersediaan lapangan pekerjaan yang memadai.
Berbeda ketika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Negara memiliki tanggung jawab sebagai raa'in (pengurus dan pelayan) bagi rakyatnya. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah yang berbunyi:
“Imam/penguasa adalah pemimpin dan dia bertanggungjawab atas rakyat yang dipimpinnya. “(HR.Muslim).
Dalam pengurusan umat, sistem Islam didasarkan pada aturan yang simple, pelayanan prima, dan tenaga kerja yang memiliki kemampuan dalam menangani urusan rakyat. Negara menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai, terkhusus bagi kaum laki-laki yang memiliki kewajiban bekerja dan menafkahi keluarganya.
Pegawai ASN dalam sistem Islam akan mendapatkan upah yang besaran gajinya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan. Sebagaimana terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, terdapat tiga guru yang mengajar anak-anak. Mereka diberikan upah masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4, 25gram emas). Jika saat ini harga 1 gram emas 600 ribu rupiah, maka gaji guru saat itu setiap bulannya sebesar Rp.38.250.000. Pemberian gaji ini tentunya tidak memandang status guru tersebut, apakah PNS atau honorer. Namun, mereka dipandang sebagai tenaga kerja yang upahnya disesuaikan dengan pekerjaan yang sudah dilakukan. Karena itu, tidak ada status tenaga honorer dalam sistem Islam.
Contoh lain pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, gaji para pegawai negara hingga ada yang mencapai 300 dinar (1.275 gram emas) atau setara Rp114. 750.00. Sungguh nominal yang fantastis.
Selain itu, negara akan merekrut sejumlah tenaga kerja sesuai kebutuhan, baik untuk menjalankan pekerjaan administratif maupun pelayanan dengan kuantitas yang mencukupi.
Dengan pengaturan seperti ini, maka rakyat tidak akan menjadikan ASN sebagai satu-satunya pekerjaan yang diidamkan untuk mendapat jaminan hidup layak dan tunjangan hari tua. Negara akan memberikan kemudahan bagi rakyatnya mendapatkan pekerjaan guna mencukupi kebutuhan hidupnya.
Jaminan kesejahteraan yang terjadi pada masa Islam bukan sesuatu yang mustahil kembali terulang. Semua itu bisa terwujud, asalkan aturan maupun kebijakan yang diterapkan saat ini bersumber dari wahyu Allah dengan penerapan Islam secara menyeluruh dan utuh. Aturan tersebut meliputi ranah individu, keluarga, masyarakat dan negara.
Wallahu'alam bi ash-ash-Ashowwab
Post a Comment