Mudik di Idul Adha, Pilihan untuk Menghindari Biaya Tinggi


Oleh: Nur Rahmawati

Menjelang Idul Adha, bagi sebagian orang khususnya perantau yang cukup jauh lebih memilih mudik di Idul Adha. Tentu ini bukan tanpa sebab. Siapa yang tak ingin berkumpul dengan sanak keluarga di hari raya. Tapi apalah daya, rupanya biaya mudik di Idul Fitri lebih tinggi dibandingkan Idul Adha. 

Tampaknya sudah jadi "rahasia umum", jika mudik menjelang Idul Fitri akan merogoh biaya yang cukup tinggi. Itulah kenapa, mudik menjelang Idul Adha menjadi salah satu pilihan untuk tetap berkumpul bersama keluarga dengan ongkos yang cukup terjangkau. 


Lihat saja drama mudik kemarin. Hampir 6 juta pemudik terpaksa harus membayar mahal untuk transportasi umum. Diantaranya kenaikan harga tiket disebabkan karena beberapa hal, ditambah lagi kebijakan BBM yang mengalami kenaikkan dan kelangkaan, tarif toll hingga tata kelola transportasi publik yang memicu besarnya tarif dari transportasi umum.

Meningkatnya transportasi umum menjelang lebaran yang pergerakkannya masih sangat tinggi ini nyatanya tidak berbanding dengan ketersediaan armada atau kursi yang disiapkan. Imbasnya ongkos transportasi menjadi mahal.


Melonjaknya tarif transportasi yang berbiaya tinggi sudah hal lumrah di negeri ini. Ini merupakan dampak tata kelola yang didominasi swasta. Lihat saja, penyediaan transportasi umum didominasi swasta yang berorientasi profit, sedangkan yang di sediakan oleh negara (BUMN) juga dikelola dengan prinsip dan berorientasi pada keuntungan tanpa memandang kondisi dan situasi rakyat. Padahal sesungguhnya peran pemerintah bukan hanya menetapkan batas tarif atau memberi sanksi bagi pelanggarnya, melainkan menyediakan sarana kebutuhan publik secara berkualitas dan terjangkau.

Akibat dari sistem demokrasi  yang memisahkan agama dari kehidupan yakni sekularisme menghasilkan manusia berwatak kapitalis. Para kapitalis yang mengganggap bahwa transportasi adalah sarana untuk meraup keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Status kepemilikan fasilitas umum dikuasai dan dikendalikan oleh korporasi. Dalam sistem rusak ini, negara hanya berfungsi sebagai regulator untuk melayani para korporasi maupun investor bukan berfungsi melayani rakyat. Alhasil fasilitas yang seharusnya digunakan dengan mudah dan murah pada kenyataannya rakyat semakin sulit untuk memperolehnya.

Sistem kapitalis berbeda jauh dengan sistem Islam. Islam memiliki solusi  dari segala peraturan kehidupan. Diantaranya mekanisme, tata kelola infrastruktur dan moda transportasi. Tata kelola itupun tidak hanya berlaku pada moment mudik lebaran saja, tetapi juga dalam aktivitas sehari-hari. Dalam Islam transportasi publik bukan jasa komersial akan tetapi kebutuhan dasar bagi keberlangsungan kehidupan. 

Negara berfungsi sebagai pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya menjamin akses tiap individu publik juga diwajibkan menyediakan sarana kebutuhan publik secara berkualitas dan murah dengan menyiapkan secara optimal seluruh infrastruktur, moda transportasi yang layak dan memamdai dan bahan bakar yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat hingga gratis, namun tetap menjamin kemanannya. Dalam sistem Islam, haramnya negara berfungsi sebagai regulator dan tidak boleh transportasi dikuasi individu atau pembisnis tertentu apalagi asing penjajah.

Sebagaimana Rasulullah SAW menegaskan, “Siapa saja yang mengambil satu jengkal saja dari jalam kaum muslim, maka pada hari kiamat kelak, Allah SWT akan membebaninya dengan bebeab seberat tujuh lapis bumi.” (HR. Imam Thabrani).

Selanjutnya, penghasilan dari BUMN akan masuk kas negara sebagai bagian dari kepemilikan negara. Adapun peran swasta hanya sebatas pemberi penawaran khusus dengan biaya khusus pula kepada masyarakat yang memiliki kelebihan harta, bukan sebagai pengendali pemenuhan hajat publik sebagaimana dalam konstelasi ekonomi kapitalisme hari ini.

Demikianlah pengaturan Islam dalam menjamin layanan transportasi yang murah, aman, nyaman dan gratis hanya akan dilaksanakan oleh negara Islam yakni khilafah yang aturannya berlandaskan pada syariat Islam. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post