Aktivis Muslimah
Drama penangkapan DPO tersangka pencabulan para santri di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Ploso, Jombang menjadi perhatian publik. Tersangka yang tidak lain adalah anak petinggi Pengasuh Ponpes Shiddiqiyyah, terkesan mendapatkan pembelaan dan perlindungan dari keluarga dan para simpatisan.
Upaya menghalang-halangi aparat keamanan menangkap tersangka berbuntut pada penetapan lima simpatisan Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi (42) sebagai tersangka. (detik.com, 8/7/22)
Siapapun yang mendengarkan penuturan korban kebejatan MSAT di CNN Indonesia yang ditayangkan pada Maret 2020 akan merasa geram. Bagaimana mungkin di institusi pendidikan keagamaan yang bernama pondok pesantren kejahatan seksual bisa terjadi? Bahkan bukan hanya satu korban melainkan ada beberapa korban dan terus berulang?
Belum lama publik dikejutkan dengan kasus Herry Wirawan pelaku pemerkosaan terhadap 13 santriwati di Bandung, bahkan 9 diantaranya telah hamil dan melahirkan. Herry Wirawan telah divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (MT) Bandung. Kasus dugaan pelecehan 11 santriwati oleh 3 Guru dan 1 Senior, di Ponpes Depok (tvonenews.com, 8/7/22).
Indonesia makin tidak aman dan tidak ramah untuk perempuan. Mereka terus diintai kejahatan seksual. Bahkan di dalam institusi pendidikan keagamaan pun tak luput dari predator seksual. Rumah kedua bagi para santri mendapatkan pendidikan dinodai oleh oknum yang menuhankan hawa nafsu. Para pelaku tindak kejahatan seksual memberikan noktah hitam, menjadi aib dalam dunia pendidikan.
Faktanya kejahatan seksual terjadi bukan dalam pondok pesantren saja, melainkan di ranah umum pun makin merajalela. Banyak pihak yang menyebut, negeri ini ada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Banyak kasus yang terjadi mulai dari ayah memperkosa anak kandungnya, prostitusi online maupun offline, hamil di luar nikah, dan lainnya yang berhubungan dengan perzinahan serta bentuk-bentuk penyimpangan seksual.
Menurut catatan Komnas Perempuan, jumlah kasus pemerkosaan mengalami peningkatan bahkan mendominasi. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam ranah personal yang tercatat di lembaga layanan-layanan mencapai 2.363 kasus pada 2021.
Sekularisme Suburkan Kejahatan Seksual
Lembaga pendidikan keagamaan semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai Tuhan. Seharusnya kental dengan suasana religius. Namun, ketika sekularisme menjadi asas kehidupan, maka lahirlah manusia-manusia yang tunduk kepada keburukan dan kesesatan, tidak mampu membedakan mana yang benar dan salah, hak dan batil, terpuji dan tercela. Bisa jadi mulutnya memuji dan mengagungkan Tuhan, tetapi perilakunya laksana binatang.
Sekularisme liberalisme atau paham memisahkan agama dari kehidupan serta menuhankan kebebasan. Sehingga menjadikan akal sebagai penentu baik/buruk, benar/salah, terpuji/tercela. Kesenangan jasmani lebih diutamakan hingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan. Tak peduli apa yang diperbuat melanggar norma-norma agama dan hukum.
Mudahnya akses tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi menjadi faktor rangsangan eksternal yang tak terhindarkan. Sementara kehidupan jauh dari aturan agama. Interaksi lawan jenis yang bebas, ikhtilat, khalwat dan campur baur antara laki-laki dan perempuan.
Para pelaku kejahatan seksual dikuasai hawa nafsunya. Tidak memikirkan para korban menderita. Pelaku merenggut kesucian dan menghinakan martabat korban. Pelaku melupakan bahwa yang diperbuatnya akan dimintai pertanggungjawaban. Balasan dunia dengan sanksi dan di akhirat lebih pedih lagi.
Islam Satu-satunya Solusi
Berharap pada sekularisme tak akan mampu untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Hanya pada sistem Islam harapan negeri terbebas dari bentuk perzinahan dan kekerasan seksual.
Dalam Islam upaya yang ditempuh menyeluruh, preventif dan kuratif. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan hukum-hukum Allah SWT. Segala bentuk perbuatan wajib terikat dengan hukum syara. Apa-apa yang menghantarkan pada pornografi dan pornoaksi ditindak tegas.
Negara wajib memberikan pembinaan kepada individu dengan akidah Islam. Sehingga setiap individu menjadi manusia yang memiliki kepribadian Islam, yakni pola pikir dan pola sikapnya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.
Dengan demikian, negara berhasil mencetak individu-individu yang bertakwa. Mereka menjalankan perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Bukan hanya patuh pada ibadah mahdah seperti salat, puasa, zakat, dan sebagainya, dalam ranah kehidupan pun patuh. Mereka juga menyadari bahwa semua perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban.
Ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan negara yang serius dalam mengatasi kekerasan seksual hanya bisa terealisasi, jika Islam diterapkan secara keseluruhan.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment