Islamofobia di Kalangan Intelektual, Buah Penerapan Sekularisme



Oleh Ummu Bilal

Rektor sekaligus Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof Budi Santoso, menjadi sorotan banyak pihak akibat pernyataannya yang dinilai rasis dan memuat unsur SARA. Tulisan yang memicu kontroversi tersebut diposting oleh Prof Budi pada 27 April 2022 melalui akun media sosial Facebook. Ia menuliskan pengalamannya setelah menjadi pewawancara dari salah satu beasiswa bergengsi di Indonesia, yaitu beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atau LPDP (SoloPos, 18/05).

Dalam unggahannya, Prof Budi menyinggung perihal alat penutup kepala (hijab) yang dinilai seperti ala manusia gurun. Selain itu, ia juga menyinggung perihal kata-kata yang sarat ajaran Islam, seperti Insya Allah, Barakallah, dan Qadarullah. Menurutnya saat menjadi pewawancara beasiswa LPDP, ia menilai kandidat yang ia wawancarai adalah mahasiswa-mahasiswa yang pintar. Memiliki kemampuan akademik yang luar biasa, berbicara tentang hal-hal yang membumi, jauh dari kata-kata langit (insya Allah, barakallah, qadarullah), dan kandidat perempuannya tidak memakai penutup kepala ala manusia gurun. Postingan ini kemudian menimbulkan respon dari para netizen yang menganggap tulisan Prof Budi telah menyinggung dan menyakiti umat Islam.

Di antara pihak yang memberikan respon adalah Ismail Fahmi, Founder of Drone Emprit and Media Kernels Indonesia. Ia merasa prihatin dan menilai tulisan Prof Budi tersebut termasuk kategori rasis (pembedaan berdasarkan ras) dan xenophobic (benci kepada orang asing) (Fajar.co.id, 18/05). 

Jika kita lihat tulisan Prof Budi ini merupakan salah satu bentuk islamofobia atau kebencian terhadap Islam dan kaum Muslim. Sayangnya, islamofobia kini telah menjangkiti intelektual, yang seharusnya menjadi garda terdepan yang dapat memahami ajaran agama Islam dengan kefaqihannya sebagai pencari ilmu. 

Prof Budi diduga kuat menjadi bagian dari para penganut islamofobia akut yang semakin marak. Tak ada bedanya dengan AJ, DS, AA, dan lain-lain. Semakin maraknya penganut islamofobia adalah hasil dari penerapan sistem sekularisme-demokrasi yang penuh dengan kebebasan. Di negara demokrasi semacam ini propaganda islamofobia akan terus menyebar (Buletinkaffah, 18/05).

Tidak selayaknya siapapun bersikap nyinyir dan merendahkan ajaran Islam. Sebab, ajaran Islam adalah ajaran yang mulia yang bersumber dari Zat yang Maha Mulia, yaitu Allah Swt. Islam membimbing manusia dengan ajaran yang mulia seperti kewajiban jilbab bagi Muslimah, yang tujuannya adalah untuk memuliakan mereka, bukan merendahkan mereka. Islam juga merupakan rahmatan lil'alamin (rahmat bagi seluruh alam) yang dapat menjamin serta memberikan perlindungan bagi seluruh umat manusia. 

Islam memiliki tata cara praktis untuk bisa diterapkan dalam kehidupan dan memberikan perlindungan serta keamanan bagi seluruh umat manusia. 

Jangan sampai status intelektual yang dimiliki malah membuat kita bersikap angkuh karena menilai prestasi unggul itu hanya dari prestasi duniawi. Bukankah manusia yang cerdas adalah manusia yang mampu memaknai setiap jengkal/detik kehidupannya dengan memahami ajaran agama Islam? Semakin ia memahami alam semesta, seharusnya semakin dekat dengan Rabbnya karena ia menyadari bahwa kemampuannya tidak ada apa-apanya dibanding sang Maha Pencipta. 

Kasus islamofobia di kalangan intelektual ini menjadi bukti bahwa sekularisme telah merusak mentalitas kaum intelektual. Para pengidap islamofobia hanya terlahir dalam sistem demokrasi-liberal yang mengagungkan kebebasan. Sebaliknya, hanya dengan sistem Islam, maka akan tercetak intelektual/ulama yang memiliki ketundukan dan rasa takut pada murka Rabbnya. 


Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post