Ilusi Freedom of Speech di Era Demokrasi

By : Yuslinda, S.Pd


Pasal di dalam RKUHP yang berisi tentang hina penguasa berujung pidana yang rencananya akan disahkan bulan Juli 2022, banyak mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Kalangan yang kontra terhadap pasal tersebut menilai isi pasal tersebut akan membungkam masyarakat yang bersikap kritis terhadap kebijakan penguasa. Bunyi draf rancangan RKUHP dikutip dari tvOnenews.com (20/06/2022) yang dimaksud adalah sebagai berikut: 

Pasal 353 RKUHP:
(1) Setiap orang yang Di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kaegori III.
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Di dalam penjelasan pasal 353 ayat (1) kekuasaan umum atau lembaga yang dimaksud adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Polisi, Jaksa, Gubernur, atau Bupati/Wali Kota. 
Jika penghinaan tersebut dilakukan melalui media sosial maka hukuman akan naik menjadi 4 tahun penjara sebagaimana yang tertuang dalam pasal 241 yang berbunyi: 
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V. 

Pro kontra terus terjadi antara pemerintah dan rakyat menganai RKUHP ini. Salah satu yang kontra adalah elemen organisasi kemahasiswaan dari Himpunan Mahasiswa Budhis Indonesia (Hikmahbudhi), Ketum Hikmahbudhi mengatakan bahwa draf Pasal 240 & 241 berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan kata “penghinaan” yang dimaksud pada pasal tersebut dinilai memiliki makna yang luas, sehingga memiliki peluang untuk dimultitafsirkan (nasional.sindonews.com, 20/06/2022).

Meskipun mendapat banyak kritik dari pegiat HAM, mahasiswa, maupun pihak oposi DPR karena dinilai rawan dimultitafsirkan oleh aparat penegak hukum, tampaknya pemerintah tetap bersikukuh untuk mempertahankan pasal tentang penghinaan pemerintah dalam RKUHP.

Arteria Dahlan (anggota komisi III DPR RI) melalui kanal Youtube tvOneNews (17/06/2022) mengatakan RKUHP ini sudah menyerap aspirasi rakyat sebagaimana mandat dari ketua DPR RI melalui slogannya ‘tempelkan telingamu ke bumi’. 

RKUHP ini semakin mengukuhkan begitu represifnya rezim hari ini. Sudah menjadi hal yang biasa di sistem demokrasi pembungkaman kritik terhadap pemerintah dilakukan melalui UU ala demokrasi. Banyak kita saksikan orang-orang yang mengkritik penguasa berujung pidana. Berikut deretan nama-nama yang ditangkap akibat pengkritikan yang telah dilakukan, dikutip dari demokrasi.co.id (26/10/2020):

1. Dandhy Laksono
Aktivis ini ditangkap polisi di kediamannya menjelang tengah malam karena mencuit soal Papua di platform twitter. Ia menjadi tersangka karena dituding melanggar pasal 28 ayat 2 UU ITE.

2. Ravio Patra
Peneliti Ravio Patra ditangkap polisi di kamar kosnya. Ia dianggap mengirimkan ajakan untuk menjarah setelah telepon selulernya diretas. Saat pemeriksaan statusnya berubah-ubah dari tersangka menjadi saksi.

3. Mohammad Hisbun Payu
Polda Jawa Tengah menangkap Hisbun di kamar kosnya pada 13 Maret lalu. Hisbun dinilai melakukan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo. Sepekan kemudian, penahanannya ditangguhkan.

4. Faisol Abod Batis
Faisol ditangkap pada Juli tahun lalu di Kota Malang, Jawa Timur. Penangkapannya terkait ujaran terhadap Presiden Jokowi soal puluhan warga yang tewas dalam kasus konflik agraria pada 2015-2018.

5. Ananda Badudu
Musikus ini dijemput polisi dari rumahnya terkait aktivitasnya menggalang dana untuk aksi menolak revisi UU KPK di Gedung DPR September 2019. Ia kemudian dilepasnya dan statusnya menjadi saksi.

6. Jumhur Hidayat
Mantan Kepala BNP2TKI ini menjadi tersangka lantaran diduga mengunggah ujaran kebencian terkait UU Cipta Kerja di akun media sosialnya.

Kritikan Dianggap Ancaman 
Tindakan mengkritik dan solusi yang ditawarkan rakyat bukan menjadi bahan muhasabah atau perbaikan, malah dianggap seperti ancaman bagi penguasa. Tampaknya mereka tidak membutuhkan solusi, namun kekuasaan yang selalu menjadi ambisi. 

Terlebih ketika yang ditawarkan adalah solusi dari Islam yang dapat menyelesaikan problematika umat, langsung menuduh radikal untuk yang menyuarakannya. Sikap mereka terhadap ide-ide brilian yang ditawarkan, seolah menjadi sebuah ancaman dan bahaya bagi penjajahan melalui kaki tangan mereka di negeri ini. 

Jika RKUHP ini benar-benar akan disahkan, bisa jadi rakyat akan semakin takut bersuara, dan pemerintah akan semakin leluasa menjajah dan merealisasikan kepentingan syahwat mereka.

Slogan “Freedom of Speech” yang menjadi andalan demokrasi hanyalah ilusi. Pasalnya keberpihakan menyuarakan pendapat di depan umum nyatanya hanya dimiliki oleh orang yang satu frekuensi dengan pemerintah dan penjajah anti-Islam.

Kebijakan Kontroversi dalam Demokrasi
Sudah menjadi hal yang biasa kita saksikan kontroversi dalam setiap pembuatan aturan dalam sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi yang berhak untuk membuat hukum adalah rakyat dengan mengandalkan akal manusia. Salah satu kelemahan akal manusia ialah berbeda antara isi satu kepala dengan yang lain, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dan perubahan. Maka wajar produk hukum yang dihasilkan dari sistem demokrasi sering menimbulkan kegaduhan, perselisihan, dan pertentangan.

Aspek mendasar lainnya yang memunculkan pertentangan ialah dalam demokrasi, dasar pengambilan keputusan produk hukum dan undang-undang bukan pada kebenaran yang baku, tetapi berdasarkan suara mayoritas yang mewakili rakyat di DPR/MPR. Pengambilan suara menjadi cara untuk mengesahkan undang-undang. Benar dan salah diputuskan melalui suara terbanyak.

Sebuah kemustahilan dalam sistem demokrasi untuk membuat aturan demi kemaslahatan rakyat. Meski UU dibuat sesuai prosedur konstitusi, tetap saja tidak akan bebas dari kepentingan. Parahnya lagi, tabiat dari demokrasi ialah mengakomodasi banyak kepentingan. Ada dukungan, ada mahar yang harus dibayar. Balas budi yang menjadi hal utama, sedangkan kepentingan rakyat terpinggirkan. Sangatlah pantas ungkapan satire yang dilontarkan Komika Bintang Emon melalui Instagram pribadinya “Pasal ini untuk kepentingan rakyat atau kepentingan wakil rakyat?”

Kritik dalam Negara Islam
Muhasabah atau kritik terhadap penguasa merupakan bagian syari’at Islam sebagaimana Hadist Rasulullah SAW: Al-Thariq menuturkan dalam sebuah riwayat, “ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah SAW., seraya bertanta, ‘Jihad apa yang paling utama?’ Rasulullah SAW menjawab: Kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa zalim.” (HR. Imam Ahmad)

Dalam pandangan Islam, politik negara adalah meriayah/mengatur urusan umat berdasarkan syariat Allah SWT. Kekuasaan (Kekhilafahan) merupakan jalan menerapkan syariat kaffah untuk kemaslahatan umat. Meskipun aturan hukum yang diterapkan adalah buatan Allah yang Mahasempurna. Namun, Khalifah sebagai pelaksananya adalah manusia yang tak luput dari salah dan lupa. Karenanya, kritik bukanlah ancaman, bahkan dibutuhkan sebagai standar optimalisasi kinerja Khalifah yang akan dipertanggungjawabkan dunia-akhirat. Kritik umat terhadap penguasa adalah sunah Rasul dan tabiat dalam Islam, bentuk rasa cinta rakyat terhadap pemimpin agar tak tergelincir pada keharaman yang dimurkai Allah SWT (muslimahnews.com, 13/10/2020).

Pembuatan Hukum dalam Islam
Dalam Islam yang berhak membuat hukum adalah Allah SWT. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. Al-An’am ayat 57:
“…Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.”

Aturan Allah Swt. Maha Pencipta alam semesta dan seisinya merupakan aturan terbaik. Ini karena Allah yang Maha Mengetahui aturan yang layak bagi umat-Nya. Kemudian, aturan tersebut akan mengakomodasi kemaslahatan bagi seluruh manusia, bukan segelintir kepentingan kepala saja.

Manusia hanya menjalankan ketentuan dan peraturan yang sudah ditetapkan dalam syariat-Nya. Pemerintah hanya melaksanakan dan menjalankan syariat Allah sebagai hukum yang berlaku atas manusia.

Dalam Islam, standar yang dipakai tergantung kedudukannya, di antaranya pertama, jika menyangkut status hukum syara’, standarnya adalah dalil terkuat. Kedua, jika menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya boleh dari suara mayoritas. Jika menyangkut hal-hal yang memerlukan keahlian atau kepakaran, standarnya adalah pendapat yang paling tepat dari ahlinya tersebut. Dalam Khilafah, Al-Qur’an dan Sunah adalah rujukan hukum yang bersifat tetap. Hukum Islam tidak akan berubah dari masa ke masa karena hukum Islam bersifat relevan untuk diterapkan di semua masa hingga berakhirnya dunia (muslimahnews.net, 19/06/2022).

Post a Comment

Previous Post Next Post