Generasi Bermental Lemah, Perlunya Pembaharuan di Kurikulum Pendidikan


Oleh : Gien Rizuka

Entah sampai kapan kita akan reda mendengar dan melihat berita-berita seputar remaja yang putus harapan. Hingga, tak sedikit remaja mengakhiri hidupnya dikarenakan hal yang bisa dibilang sepele. Bunuh diri siswi di Semarang menjadi bukti bahwa generasi hari ini bermental lemah. 

Karena tak lulus PTN, siswi di Semarang nekad mengakhiri hidupnya. Sang kakak mengetahui bahwa sang adik telah mengucapkan suatu nazar. Nazar yang berisi, jika ia lulus di UGM, maka ia akan menyantuni anak yatim. Namun, jika ia tidak lulus, maka ia akan mengakhiri hidupnya atau bunuh diri.

Namun hasilnya, ia pun tak lulus PTN. Ia sempat menghilang setelah mendapat kabar bahwa dirinya tak lulus PTN dan telah membuat khawatir sang kakak. Tak lama, sang kakak mendapat berita jika adiknya telah meninggal dunia dikarenakan telah menelan obat dari psikiater secara berlebihan dan OD alkohol (hops.id, 13/7/22).

Hal serupa terjadi pula pada mahasiswa yang berinisial BH. Mahasiswa yang berfakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, Kalimantan Timur itu ditemukan tewas gantung diri. Usut punya usut masalah yang mengendarai ia nekad bunuh diri ialah persoalan pendidikannya yang kunjung lulus. 

Selama 7 tahun, ia harus mendekam di kampus karena skripsi sering ditolak oleh dosen pebimbing. Diduga ia stress dengan kenyataan tersebut yang membuat dirinya merasa minder. Pasalnya, kesaksian kakak angkatnyalah yang menjadi saksi atas sikap sang adik yang akhir-akhir ini sering murung dan menyendiri, akhirnyapun sang siswa tersebut bunuh diri. 

Kasus 2 mahasiswa yang bunuh diri di atas telah mewakili bahwa pendidikan saat ini tak bisa menjadi pondasi bagi mental sang generasi. Pendidikan hari ini hanya mempriotaskan pendidikan akademis namun sebaliknya melemahkan psikis mereka, para generasi. Bahkan, ada yang menyebut bahwa generasi sekarang seperti buah durian. Artinya, terlihat kuat dari luar namun nyatanya mereka lemah secara psikologis. 

Bahkan, mereka harus pergi ke psikolog untuk mengobati sakit psikisnya itu. Salah satu contoh siswi Semarang yang saat diterangkan sang kakak telah menggunakan obat dari psikiater untuk bunuh diri. Dengan kata lain,  menyatakan bahwa siswi Semarang tersebut telah memiliki riwayat strees tinggi hingga harus didampingi obat dari psikiater dalam menjaga mentalnya. 

Sungguh miris melihat generasi saat ini. Psikologi mereka sangatlah rentan ketika apa yang cita-citakannya tidak tercapai atau terlaksana. Padahal, gagalnya pencapaian cita-cita bukanlah suatu aib. Meski, tidak memungkiri jika ada masyarakat yang gampang mencemooh pada perkara-perkara yang tidak tercela. 

Maka, adanya fakta-fakta ini merupakan PR bersama. Diperlukan kerjasama antara individu, masyarakat dan negara agar tercipta generasi bermental baja. Sebab mana mungkin bisa memajukan negara jika salah satu aset penunjang perkembangan negara lemah. Yakni, membiarkan generasi menerima pendidikan yang hanya mementingkan nilai akademis sehingga melahirkan generasi bermental lembek. 

keluarga menjadi pendidik generasi saat di rumah. Masyarakat berperan sebagai pengontrol lingkungan bagi generasi. Jika ada generasi di lingkungan mulai melakukan hal-hal tidak sesuai fitrahnya, maka masyarakat siap mengingatkan para generasi.

Sedangkan negara, pemegang kendali atas semuanya. Individu, keluarga dan masyarakat sangat terpengaruh dengan kebijakan yang negara ambil dalam mendidik generasi. Maka, baik buruknya generasi sangat tergantung dari riayah negara. Adanya pendidikanpun seolah percuma jika negara hanya memikirkan generasi yang menghasilkan cuan namun melahirkan generasi bermental usang

Hanya saja, dibutuhkan pula pendidikan yang seimbang dalam menciptakan generasi bermental sehat. Tak akan ada harapan lagi jika kita ingin melahirkan generasi yang tangguh, namun masih mengambil pendidikan kuat secara akademis saja, sebagaimana kurikulum pendidikan sekarang. Faktanya, pendidikan hari ini terus berusaha mencetak generasi kuat secara akademis tapi tak memperhatikan psikologis sang generasi.

Post a Comment

Previous Post Next Post