Oleh: Luwy Sartika
Rasanya tak perlu ditanyakan lagi bagaimana dan seberapa besar peran seorang wanita terlebih bagi yang sudah menyandang status istri dan ibu dalam keluarga. Tidak hanya berperan penting dalam lingkup rumah tangga , peran wanita bahkan sampai ranah negara dibuktikan dengan banyaknya pegawai dan aparatur sipil di pemerintahan yang diperankan kaum wanita. Namun di samping itu, peran seorang wanita sebagai pengasuh dan pengurus keluarga tetap tak bisa dilupakan. Pada sistem demokrasi seperti sekarang ini banyak kaum wanita yang ikut bekerja atas desakan ekonomi.
Baru-baru ini kembali dirumuskan rancangan undang-undang kesejahteraan ibu dan anak (RUU KIA) yang disuarakan salah satu isinya membahas soal cuti melahirkan selama enam bulan bagi karyawan wanita. Cuti melahirkan yang semula diberikan selama tiga bulan diperpanjang dengan alasan kaum ibu butuh lebih banyak waktu bersama anak terlebih setelah masa melahirkannya. RUU KIA disebut telah disepakati oleh badan legislasi (Baleg) dan disetujui oleh 7 fraksi di DPR Kebijakan ini sepintas memang memberi kesempatan bagi para ibu yang bekerja memiliki waktu lebih banyak bersama anak, namun di lain sisi muncul kekhawatiran bagi para pekerja wanita akankah kebijakan ini membela atau malah mendiskriminasi kaum wanita yang bekerja. Terlebih bila mereka ikut bekerja karena menjadi tulang punggung keluarga.
Dalam sistem kapitalisme yang mengukur segala sesuatu atas dasar materi tentu tak akan cocok dengan kebijakan RUU KIA karena jika para karyawan wanita mengambil cuti selama enam bulan maka akan terjadi penurunan kinerja sehingga perusahaan akan mengalami ketidakseimbangan produktifitas seperti sebelum karyawan wanita mengambil cuti melahirkan. Hal ini jelas akan membuat industri merasa dirugikan, terlebih dalam sistem kapitalisme eksistensi kaum wanita juga dilihat dari bagaimana perannya dalam keikutsertaan mendongkrak perekonomian. Namun juga sistem kapitalisme tak bisa menghilangkan kodrat wanita yang harus melahirkan dan perannya sebagai pengasuh dan pengurus rumah tangga. Wajar jika RUU KIA malah menimbulkan keresahan bagi kaum wanita terlebih bagi yang belum menjadi karyawan tetap karena bisa saja perusahaan akan menambah syarat bagi calon karyawannya misal tidak boleh menikah selama masa kerja dan hanya merekrut wanita yang belum menikah atau bisa saja perusahaan menolak dan menutup rekrut karyawan bagi wanita.
Masalah semacam ini tidak akan muncul apabila sistem yang menjadi aturan adalah sistem khilafah yang dibuat langsung oleh pencipta manusia yang tentu jauh lebih mengetahui ciptaannya daripada manusia itu sendiri. Sistem pemerintahan khilafah dalam islam adalah jawaban bagi segala permasalahan masyarakata saat ini. Masalah ekonomi adalah masalah yang sangat kompleks dan hanya solusi islam yang mempu menyelesaikan. Dalam Islam, posisi wanita dan laki-laki tidak dibedakan dalam kedudukannya sebagai seorang hamba tetapi Islam juga tidak mensejajarkan antara laki-laki dan wanita. Peran mencari nafkah dibebankan kepada laki-laki sebab karakter dan predikatnya sebagai laki-laki sebagaimana dalam QS.al-baqarah :233 yang menyatakan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian kepada istrinya dengan cara yang ma’ruf.
Disinilah peran khilafah akan memastikan setiap laki-laki mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai keahliannya sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik. Sedangkan wanita tidak dibebankan kewajiban bekerja mencari nafkah karena syariat telah menetapkan peran wanita sebagai umm wa baratul bait (ibu rumah tangga) yang memposisikan wanita dengan tugas yang mulia yakni mendidik dan membentuk generasi pejuang Islam. Sedangkan jika wanita ingin bekerja maka itu bukan karena ia menjadi tulang punggung keluarga sebab kebutuhannya sudah ditanggung oleh walinya. Wanita yang ikut terlibat dalam akifitas ekonomi perdagangan, pertanian industri dan melakukan berbagai transaksi di dalammya. Hukum bekerja bagi wanita adalah mubah. Mereka boleh memiliki dan mengembangkan harta dengan aturan yang sudah ditetapkan syara’. Dalam praktiknya pun kaum wanita yang bekerja bukanlah karena himpitan ekonomi tetapi untuk mengamalkan ilmu mereka sehingga tidak akan ada pekerjaan bagi kaum wanita yang malah mengekspolitasi tubuh dan merendahkan derajat mereka. Khilafah akan mengatur jam kerja bagi kaum wanita berbeda dengan laki-laki sehingga tidak akan mengurangi tanggung jawabnya sebagai pengurus rumah tangga.
Post a Comment