Oleh: Umul Bariyah
(Aktivis Muslimah)
Tahun ini kita sedikit bisa bernapas lega. Pandemi Covid-19 perlahan berlalu dan idul Adha bisa diselenggarakan meski diwarnai dengan adanya PMK (Penyakit Mulut dan Kaki) yang menyerang hewan kurban.
Namun rasa lega ini tak kunjung sepenuhnya hinggap di dada para ibu. Ya, lagi-lagi persoalan dapur tidak dalam keadaan baik-baik saja. Termasuk masalah mahalnya Migor (minyak goreng). Bahan pokok satu ini seolah menjadi topik primadona untuk selalu diperbincangkan, karena harganya yang fantastis dan menguras dompet.
Setelah minyak goreng langka di pasaran, kemudian harganya melesat tinggi, kini kabar terbaru pembelian Migor curah dibandrol dengan pembelian melalui aplikasi.
Dilansir dari Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai akan potensi masalah dalam penerapan pembelian minyak goreng curah rakyat (MGCR) dengan syarat Peduli Lindungi. Ini menyusul rencana sosialisasi yang akan dilakukan 27 Juni 2022.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut sosialisasi syarat PeduliLindungi akan dilakukan selama 2 pekan. Bagi yang belum memiliki aplikasi, bisa menunjukkan nomor induk kependudukan (NIK) di KTP.
Namun, apakah kebijakan pemerintah ini efektif dan efisien ketika diaplikasikan di tengah masyarakat. Mari kita analisa satu persatu.
Pertama, tidak semua orang punya HP smartphone yang bisa mengunduh aplikasi Peduli Lindungi. Ditambah untuk mengakses aplikasi ini butuh ketrampilan dan pengetahuan yang mungkin jarang dimiliki seorang ibu yang notabene hanya mengurusi urusan rumah tangga. Gaptek lah istilahnya.
Kedua, untuk mengakses aplikasi ini pastinya dibutuhkan kuota. Sedangkan untuk beli kuota dibutuhkan biaya. Jangankan untuk beli kuota, untuk memenuhi kebutuhan perut saja masyarakat harus menghemat pengeluaran mengingat saat ini biaya untuk membeli sembako dan bumbu dapur melambung tinggi dan bikin mengelus dada.
Ketiga, tidak semua daerah mudah mendapatkan sinyal. Apalagi daerah daerah pelosok dan terpencil. Tentu ini amat menghambat kelancaran transaksi.
Keempat, kendala bisa saja terjadi. Ketika HP sering digunakan, pada saat transaksi HP mengalami penurunan daya. Sudah mengantre panjang, ternyata baterai HP habis.
Kelima, aplikasi rewel. Bisa jadi karena banyaknya yang mengakses aplikasi ini, saat akan digunakan sulit untuk diakses.
Keenam, kebijakan inj tidak masuk akal dan tidak mudah penerapannya. Bagaimana tidak, transaksi yang ada di depan mata kenapa harus pakai aplikasi? Di pasar penjual dan pembeli bertemu kemudian ada barang yang mau dijual dan diterima. Kenapa ada harus ada pembayaran lewat aplikasi? Kecuali saat kita membeli secara online, maka aplikasi diperlukan karena tidak bertemu secara langsung antara penjual dan pembeli
Dan yang amat mengherankan, Kabarnya kalau kita mengunduh aplikasi untuk transaksi pembelian migor ini butuh biaya pajak yang dikeluarkan. Rupanya aplikasi ini terintegrasi dengan aplikasi sejenis semisal LinkAja. Jadi calon pembeli harus punya dana LinkAja sebagai alat pembayaran dan disitu sudah tertera biaya administrasi Rp. 1000,00.
Sepertinya tidak berarti karena cuma seribu. Padahal berapa banyak biaya administrasi yang bakal masuk ke LinkAja kedepannya mengingat jumlah penduduk Indonesia yang begitu banyaknya dan kebutuhan minyak goreng sebagai bahan pokok. Jutaan konsumen pasti akan mengisi (top up) dana ke LinkAja bahkan berapa kali dalam sehari.
Jika dalam sebulan, katakanlah 14,5 juta pelanggan tersebut rata rata 5 x top up, Rp. 72,5 milyar melenggang masuk ke LinkAja. Itu dana yang masuk dalam sebulan.
Aplikasi ini bukannya mempermudah urusan rakyat malah mempersulit dengan kebijakan yang ujung ujungnya memperoleh penghasilan dengan pajak yang diperoleh.
Kebijakan Solutif, Adakah?
Sebenarnya ada satu harapan bagi masyarakat untuk menyelesaikan berbagai problem yang menimpa negara ini, yaitu berharap pada pucuk pimpinan untuk mengatur semua problem yang ada. Tapi sepertinya saat ini kita tak bisa berharap pada negara yang notabene memihak pada pengusaha. Dan sama sekali tak berpihak pada rakyat jelata. Karena hukum yang digunakan masih bersumber pada hukum buatan manusia bukan pada hukum Allah yang bersumber langsung pada Alquran dan sunnah.
Saat ini kita butuh junnah (perisai/ pelindung) sebagai pengurus, pemelihara yang menjamin kesejahteraan semua kalangan masyarakat baik yang kaya atau miskin. Yang muslim maupun non muslim.
Di dalam Islam, pemimpin seperti di atas sudah pernah ada, bahkan dicontohkan lansung oleh Baginda Rosulullah berikut Khalifah penggantinya.
Seorang pemimpin dalam Islam mengatur semua sektor mulai dari urusan kesehatan, pendidikan bahkan ekonomi. Pemimpin Islam terjun lansung untuk mengatur serta menata perekonomian dengan amat teliti dan hati hati. Tidak ada peluang bagi sejumlah pihak untuk melakukan kecurangan seperti menimbun minyak, mempermainkan harga, memonopoli kepemilikan minyak pada satu orang dan penyimpangan penyimpangan yang lain.
Begitulah kala sistem Islam diterapkan di muka bumi. Sungguh sejahterahlah semua lapisan masyarakat. Tidak ada ketimpangan antara yang kaya dan miskin. Semua bahan kebutuhan sehari hari bisa terbeli. Wallahu'alam 'alam bi shawab
Post a Comment