Ketua DPR RI Puan Maharani kembali mematikan mikrofon anggota dewan yang sedang melakukan interupsi. TRIBUN-TIMUR.COM
Ketua DPR RI, Puan Maharani kembali menjadi sorotan. Untuk ketiga kalinya, Puan terekam kembali mematikan mikrofon anggota DPR lain saat Rapat Paripurna. Suara.com
Pada video yang beredar, Puan yang akan menututup Rapat Paripurna pada Selasa (24/5/2022) kembali terlihat mematikan mikrofon seorang anggota DPR yang melayangkan interupsi
Diketahui, anggota DPR yang mikrofonnya dimatikan adalah Amin AK dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Amin AK saat itu melakukan interupsi menyinggung soal kekerasan seksual pada RKUHP
"Saya kecewa dengan respon pimpinan DPR RI terkait kekhawatiran terhadap bahaya perzinahan dan penyimpangan seksual LGBT ini," tulis Amin AK pada akun Twitternya, Selasa (24/5/2022).
"Saat kami menyuarakan ini, justru pimpinan sidang sengaja mematikan mik," imbuhnya.
"Puan tidak boleh otoriter dalam memimpin Rapat Paripurna. Puan harus demokratis dengan memberi peluang yang sama kepada setiap anggota DPR untuk menjalankan hak konstitusinya" Tutur pengamat Komunikasi Politik dari universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga
"Karena itu, Puan tidak selayaknya mematikan mikrofon di kala anggota DPR melakukan interupsi. Sebab, setiap anggota DPR mempunyai hak konstitusi yang sama untuk berpendapat," kata dia
Aksinya mematikan mikrofon ini sendiri bukan pertama kali dilakukan oleh Puan, setidaknya sudah 3 kali puan melakukan aksi tersebut, yang pertama terjadi di tahun 2021 pada rapat terkait uu cipta kerja, yang kedua pada rapat persetujuan jenderal TNI dan yang ketiga pada rapat Paripurna tahun 2022 ini, yang dimana salah satu anggota DPR berbicara mengenai fenomena LGBT
Lagi dan lagi, ketika seseorang ingin bersuara, tetapi malah dibungkam oleh seseorang yang memiliki kedudukan tertinggi di parlemen, Jangankan suara masyarakat kecil yang didengar, suara orang yg bergelut di parlemen saja dibungkam ketika mengemukakan pendapatnya yang tidak sesuai dengan pendapat sang ketua
Negara kita adalah negara Demokrasi, dimana seseorang bisa bebas berpendapat dan menjunjung Tinggi HAM, tetapi semua itu hanya isapan jempol semata, nyatanya kebebasan itu diperuntukkan untuk orang-orang yg memiliki kedudukan tertinggi di pemerintahan dan para pemilik modal saja, dan masyarakat hanya bisa berdiam diri dan pasrah akan keadaan yang dialami, sebab bersuara dilarang ketika menyangkut kebijakan penguasa yang menyengsarakan rakyat dan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang jelas bertentangan dengan islam tetapi malah dilakukan pemerintah sebab ada keuntungan dibaliknya
Pada praktiknya, dalam sistem demokrasi, yang tercipta adalah oligarki, yakni kekuasaan yang dikuasai segelintir orang dengan mengatasnamakan rakyat. Karena sudah mendapat mandat sebagai wakil rakyat, mereka merasa berhak membuat berbagai peraturan meski tidak berpihak pada rakyat kebanyakan. Di sinilah rusaknya sistem demokrasi.
demokrasi hanya mendengarkan suara terbanyak bukan suara rakyat. Ditambah, dalam sistem kapitalisme yang memiliki kuasa adalah para kapital (pemegang modal). Sehingga sangat sesuai sistem kapitalis demokrasi akan menghasilkan peraturan yang hanya mendengarkan suara para pengusaha..
Inilah buah demokrasi melanggengkan otoritas hanya demi perut dan kepentingan. Menjadikan sisi kotor menjadi bersih nan kemilau, dan sisi bersih tertuduh kotor nan gelap. Rakyat kecil akan semakin tertindas oleh kebijakan, dimana hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Asas dasar aqidah demokrasi yaitu pemisahan (urusan-urusan) agama dari kehidupan (sekulerisme),
di dalam Islam ada Majelis Umat yang bekerja menyampaikan aspirasi masyarakat dan menjalankan fungsi amar makruf nahi mungkar . Majelis ini tidak membuat atau melegislasi peraturan dan undang-undang. Majelis Umat kewajiban menegur Khalifah dan pejabatnya jika melenceng dari syariah Islam dan buruk dalam melayani umat. Haram hukumnya anggota Majelis Umat mendiamkan kemungkaran yang dilakukan penguasa, apalagi bersekongkol dengan mereka. Sabda Nabi saw.:
ا Ù„ٍ Ù„ُ الْÙ…َعَاصِÙŠ Ù„َÙ‰ ا Ù„َÙŠْÙ‡ِ Ù„َا ا Ù„َّا ابَÙ‡ُÙ…ْ اللَّÙ‡ُ ابٍ Ù„ِ ÙŠَÙ…ُوتُوا
Tidaklah seseorang berada pada sebuah kaum yang di dalamnya dilakukan kemaksiatan, sementara mereka mampu mengubah kemaksiatan tersebut, tetapi mereka tidak melakukannya, maka Allah akan menimpakan siksa kepada mereka sebelum mereka meninggal dunia (HR Abu Dawud dari Jarir ra.).
Post a Comment