Sementara itu Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan dampak dari penghapusan ini adalah akan menciptakan banyak pengangguran. Karena mereka yang selama ini tertampung sebagai honorer besar. Trubus menyampaikan total ada sekitar 400 ribu tenaga honorer di instansi pemerintahan. Adapun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2022 tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 5,83% dengan jumlah pengangguran 8,40 juta orang.
Para tenaga honorer memang nantinya berpeluang menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan mengikuti seleksi, tapi itu pun terbatas. Trubus mengungkapkan langkah kebijakan penghapusan honorer ini merupakan bentuk penataan pekerja di lingkungan instansi pemerintah yang sedari awal sudah salah. Meski begitu, Trubus mengatakan hal itu tidak serta merta membuat tenaga honorer dihapuskan. Sistem rekrutmennya saja yang perlu disesuaikan dengan bidang keahliaan pekerjaannya (detikfinance.com,10/06/2022).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa telah terjadi dikotomi, bahkan lebih mengarah kepada pengkastaan posisi tenaga kerja, yakni antara ASN dan tenaga honorer. Betapa tidak, menilik dari sisi kesejahteraan upah, gaji ASN lebih memadai daripada honorer. Pun secara jaminan masa depan, dua status ini bertolak belakang. Meski pemerintah sudah mengakomodasi sebagian tenaga honorer menjadi PPPK lewat seleksi, tetap saja hal itu masih menyisakan keresahan.
Pasalnya, pertama jika penghapusan yang masih banyak menuai protes ini benar terjadi pada tahun 2023, bukan tidak mungkin semakin banyak tenaga honorer yang kehilangan mata pencarian mereka karena tidak ada lagi alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk gaji honorer. Rentang waktu seleksi dan teknis penghapusan status pun belum jelas. Apakah mereka diberhentikan semuanya dulu sebagai honorer lalu tes, atau status masih honorer dan boleh ikut tes? Artinya, kalaupun tidak lulus, masih boleh lanjut honor.
Pertanyaannya, cukupkah siklus ini berlangsung hanya dalam waktu dua tahun untuk merampungkan semua tenaga honorer? Sementara, jumlah guru honorer yang terdaftar di data pokok pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2021 sebanyak 1.126.706 orang. Belum tenaga honorer di sektor kesehatan dan lainnya.
Ketiga, jumlah bukaan kuota tidak berbanding lurus dengan analisis kebutuhan tenaga kerja oleh pemerintah daerah (Pemda). Hal ini karena masih banyak instansi pemerintah yang belum maksimal mengajukan usulan formasi PPPK-nya. Patut kita duga, sejumlah kementerian/lembaga maupun pemda enggan menghitung analisis jabatan (anjab) dan analisis beban kerja (ABK) sesuai kebutuhan sebenarnya.
Keempat, meski kehadiran mereka membantu pekerjaan teknis di lapangan, tetapi dalam kacamata negara, mereka dianggap beban jika sudah bicara penganggaran pemerintah pusat. Pasalnya, kegiatan rekrutmen tenaga honorer tidak diimbangi dengan perencanaan penganggaran yang baik, terutama di pemda sehingga penganggaran tersebut terpaksa terbebankan pada pusat.
Sampai di sini, ada kenyataan pahit yang harus ditelan oleh tenaga honorer, yakni dalam sistem kapitalisme, hubungan antara penguasa dan rakyat mendasarkan pada asas untung dan rugi. Hitung-hitungan secara ekonomi berlaku, rakyat hanya menjadi beban negara jika masih harus didanai atau disubsidi oleh kas negara.
Dalam hal penyediaan tenaga kerja, sistem kapitalisme akan mengutamakan unsur efektivitas dan efisiensi kerja. Sebut saja dengan penggunaan teknologi robot atau mesin dan mengurangi program padat karya yang tentu membutuhkan dana lebih besar untuk upah tenaga kerja. Padahal bila dipraktikkan kebijakan ini akan berdampak ratusan ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan, menimbulkan masalah sosial ekonomi dan lainnya. Namun, yang masih jadi masalah, distribusi barang dan jasa kebutuhan rakyat tidak merata.
Pemilik modal dengan level konglomerasi tetaplah yang menguasai perputaran barang dan jasa. Sementara, rakyat kecil hanya kebagian getahnya. Kebijakan ini mengindikasikan lepas tangannya pemerintah pusat terhadap kebutuhan rakyat dan kesejahteraannya Sungguh ironi yang tidak berkesudahan.
Sistem Islam adalah sistem paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya terkait ketenagakerjaan. Di dalam Islam, prinsip tata kelola urusan umat berlandaskan aturan sederhana, pelayanan cepat, dan profesionalitas pegawai pemerintahan yang menangani urusan tersebut.
Negara menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warga negaranya, terkhusus bagi setiap rakyat yang wajib bekerja dan menafkahi keluarganya, dalam hal ini laki-laki. Sementara, untuk menjadi pegawai di departemen, jawatan, atau unit-unit yang ada, negara tidak mematok syarat kompleks. Terpenting, ia memiliki status kewarganegaraan di negara Islam (khilafah) dan memenuhi kualifikasi, baik laki-laki maupun perempuan, muslim maupun nonmuslim.
ASN dalam negara khilafah adalah pegawai negara yang akan mendapat upah dengan akad ijarah (kontrak kerja) dengan gaji layak sesuai jenis pekerjaannya.
Sebagaimana gambaran kehidupan guru di masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari Al-Wadhiah bin Atha, bahwasanya pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab, ada tiga guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Setiap guru mendapat gaji 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas; 15 dinar=63,75 gram emas).
Bila saat ini 1 gram emas Rp500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp31.875.000. Tentunya tidak memandang status guru tersebut PNS ataupun honorer, bersertifikasi atau tidak. Yang jelas, mereka adalah tenaga kerja.
Ketiga, dari sisi pelayanan atau pengurusan, mereka bertanggung jawab kepada khalifah, para penguasa, para wali, dan muawin. Para pegawai negara terikat syariat dan peraturan administratif. Gaji pegawai negara diambil dari kas baitul maal. Bila kas baitul maal tidak mencukupi, bisa ditarik dari dharibah atau pajak yang bersifat sementara.
Pengaturan demikian menjadikan status ASN bukanlah satu-satunya profesi yang masyarakat kejar. Umat tidak akan terjebak dalam dilema ASN atau bukan, honorer atau tidak. Sebab, ketenagakerjaan dalam Khilafah menganut sistem rekrutmen berbasis pemenuhan kebutuhan, bukan sekadar status.
Wallahu a'lam bisshawab
Post a Comment