Aktivis Muslimah Peduli Umat
Dalam menjalani roda kehidupan kebutuhan akan listrik sangatlah diperlukan sekali. Tanpa aliran listrik yang tersedia di rumah tangga maupun industri, aktivitas harian tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan listrik menjadi urat nadi dalam menjalankan aktivitas harian.
Namun beberapa waktu terakhir, isu kenaikan listrik kembali telah menjadi sorotan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani memutuskan tarif listrik dan harga pertalite yang bersubsidi tidak naik pada tahun 2022. Dan keputusan ini telah mendapat lampu hijau dari presiden. Maka, tarif listrik dan harga pertalite bersubsidi tetap seperti yang berjalan saat ini. Dengan alasan bahwa pemerintah menambah anggaran subsidi energi sebesar Rp. 74,9 triliun dari semula hanya Rp. 134 triliun menjadi Rp. 208,9 triliun.
Sebagaimana hal tersebut diketahui sebelumnya, pemerintah telah memberikan sinyal rencana menaikkan tarif listrik dan harga pertalite sebagai imbas kenaikan harga komoditas energi di pasar global. Hanya saja kebijakan tersebut tidak berlaku bagi pelanggan listrik 3000 VA. Hal ini dikarenakan kelompok rumah tangga penggunaan listrik di atas 3000VA dimasukkan dalam kelompok rumah tangga mampu. Ditambah lagi jumlah penggunanya tergolong sedikit, namun beberapa masyarakat tidak setuju dengan keputusan tersebut (cnnindonesia.com, 20/5/2022)
Tentu banyak yang tidak setuju. Pelanggan pengguna 2200VA saja saat ini harus membayar listrik hingga 1 juta perbulannya. Padahal di tengah kondisi ekonomi yang sulit selama 2 tahun dilanda pandemi covid-19, banyak masyarakat atau keluarga yang mengalami kehilangan pekerjaan. Akhirnya menyebabkan keuangan keluarga terganggu.
Kebijakan pemerintah menaikkan listrik sudah menjadi kebiasaan yang tidak bisa dihilangkan sama sekali. Padahal baik itu listrik pada golongan subsidi maupun nonsubsidi, telah membebani masyarakat. Sebab andai pelanggan nonsubsidi itu adalah industri, maka akan berpengaruh pada kenaikan harga barang-barang yang diproduksi. Jika tarif listrik naik biaya operasional produksi pun juga pasti ikut naik. Pada akhirnya turut mempengaruhi harga produk yang masyarakat mengkonsumsinya.
Harus diakui juga bahwa tidak ada yang gratis dalam kehidupan sekarang yang diatur di bawah sistem kapitalis. Hanya untuk sekedar menikmati aliran listrik saja harus berbayar. Walau pemerintah menerapkan listrik bersubsidi yang dari tahun ke tahun berkurang. Padahal dengan pemangkasan subsidi, PLN harus menaikkan tarif listrik untuk mengurangi biaya yang besar. Jadi sebenarnya negara tidak ubahnya dengan pedagang, yaitu menjual listrik kepada rakyatnya sendiri.
Rakyat bagaikan pengemis subsidi dan pelayanan listrik. Berarti tidak akan ada layanan listrik jika tak ada bayaran. Begitu nyata watak penguasa kapitalis, padahal listrik itu adalah salah satu sumber energi. Seharusnya dapat dinikmati oleh rakyat dengan murah bahkan gratis. Sesungguhnya negara masih berhitung dalam memberikan pelayanan kepada rakyat dan tidak sedikitpun mengutamakan pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Sementara diketahui bersama, di negeri ini adalah negeri dengan berlimpahnya batubara dan sumber energi lainnya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ridwan Djamaluddin pernah mengemukakan, bahwa cadangan batubara Indonesia saat ini mencapai 38,84 miliar ton dengan rata-rata produksi batubara 600 juta ton per tahun, yang artinya umur cadangan batubara masih 65 tahun.
Sesunguhnya dengan keberlimpahan ini, bahan bakar pembangkit cukuplah untuk memenuhi kebutuhan listrik setiap warga. Kecukupan ini tentu akan terwujud ketika kekayaan alam dalam pemenuhan hajat hidup manusia dikelola sesuai syariat Islam. Bukan dengan liberalisasi energi seperti dalam sistem kapitalis saat ini.
Konsep liberalisasi energi telah menghilangkan peran negara sebagai penanggungjawab utama. Kemudian, membiarkan pihak swasta untuk mengelola dan menguasai kekayaan alam milik rakyat ini. Padahal Rasulullah Saw pernah bersabda, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: yaitu padang rumput, air dan api." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Listrik sebagai penghasil energi panas yang dapat menyalakan barang elektronik. Dalam hal ini listrik masuk dalam kategori "api" yang disebutkan dalam hadits tersebut. Selain itu batubara merupakan bahan pembangkit listrik termasuk dalam barang tambang yang jumlahnya sangatlah besar. Dengan demikian haram hukumnya bila dikuasakan kepada individu atau swasta.
Maka seharusnya pengelolaan sumber pembangkit listrik yaitu batubara serta layanan publik berada di tangan negara. Individu atau swasta tidak boleh mengelolanya sama sekali dengan alasan apapun.
Adapun dalam memenuhi kebutuhan listrik, khilafah dapat menempuh beberapa kebijakan. Yaitu yang pertama, dengan membangunkan sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai. Yang kedua, dengan melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri. Yang ketiga, yaitu mendistribusikan pasokan listrik kepada rakyat dengan harga yang murah, tidak memberatkan sama sekali. Dan yang keempat, dengan mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik atau lainnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat seperti halnya pendidikan, kesehatan, keamanan, sandang, pangan dan papan.
Segala pembiayaan dalam pembangunan pembangkit listrik hingga distribusi aliran listrik menggunakan dana dari baitulmal khilafah pada pos kepemilikan umum.
Sungguh, peradaban Islam pada masa Khilafah Bani Umayyah telah menjadi bukti terpenuhinya kebutuhan listrik masyarakat. Cordoba menjadi ibukota Andalusia yang pada malam harinya diterangi dengan lampu-lampu. Sehingga pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang 10 mil tanpa terputus. Ada sebuah masjid dengan 4.700 buah lampu yang menerangi, yang setiap tahunnya menghabiskan 24.000 L minyak.
Pengelolaan listrik yang sesuai syariat Islam, maka rakyat senang. Mereka dapat memenuhi kebutuhan listrik untuk kehidupan sehari-harinya berbiaya murah bahkan gratis.
Wallahu a'lam bisshawab.
Post a Comment