Koalisi Politik vs Politik Identitas


Oleh: Ummu Mumtaz
(Aktivis Dakwah)


Lagi-lagi ada istilah baru dalam perpolitikan,  yaitu politik identitas.  Istilah itu selalu disangkutpautkan dengan politik Islam karena mereka anggap politik Islam tidak sesuai dengan perpolitikan yang mereka  mainkan. Apalagi pada saat ini isu politik identitas sedang digoreng jelang Pemilu 2024 yang merupakan rangkaian depolitisasi Islam yang menjauhkan Islam politik dari kehidupan dan mencegah munculnya kekuatan Islam di tengah umat. 

Politik identitas itu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu nasionalis dan Islam. Istilah politik identitas itu dipopulerkan sejak Pemilu tahun 2017.

Mereka berupaya keras untuk mengalahkan bahkan menghilangkan politik identitas karena dianggap akan menghalangi mereka dalam meraih kekuasaan untuk menjadi orang-orang yang bisa menguasai negeri ini untuk kemudian diarahkan menurut keinginan dan hawa nafsu mereka. 

Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok, seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok dalam berbagai bentuk dan jenis, seperti gender, agama, suku, profesi dan lain-lain.

Mereka membuat kekuatan dengan mengadakan koalisi partai yang terdiri dari 3 partai yang berkoalisi yaitu Partai Persatuan Pembangunan ( PPP ), Golkar, dan Partai Amanat Nasional ( PAN ), dan mereka tidak menutup kemungkinan bagi partai yang lainnya untuk bergabung. Kemudiann ketiga partai tersebut bergabung dengan nama Forum Silaturahmi yang digelar pada Kamis, 12/05/2022.

Tujuan mereka mengadakan forum tersebut menurut Ketua DPP Golkar Ace Hasan untuk tidak mengulang kesalahan pada 2 pilpres sebelumnya yaitu karena maraknya politik identitas yang mengantarkan terjadinya polarisasi dan tujuan mereka sekaligus mengeleminasi munculnya partai identitas di tengah-tengah masyarakat.

Disini kita diajak berpikir kenapa mereka demikian karena mereka tidak mau diatur dengan politik Islam dan anggapan mereka bahwa politik Islam adalah politik kotor yang akan mengganggu keberlangsungan hidup bernegara dan persatuan bangsa. Seperti itulah yang ada dibenak mereka untuk merebut kekuasaan kepemimpinan dan memperkuat koalisi mereka.

Hati mereka masih mendukung pemerintahan saat ini tapi disisi lain mereka mereka membangun koalisi dengan sistem kebut semalam atau koalisi "injury time" yang mengantarkan presiden tidak mampu menjalankan program yang dijanjikan kepada masyarakat karena para menteri yang diangkat dari partai koalisi hanya ingin mengejar kekuasaan dan hawa nafsu  mereka dan menjadikan politik identitas sebagai dagangan baru dan memutar balikan fakta  atas penyebab masalah yang akan muncul di masyarakat.

Beginilah dalam sistem Kapitalis - Demokrasi semua kegiatan semuanya mengarah kepada perebutan kekuasaan, sikut sana sikut sana tak tahu mana kawan atau lawan, kadang lawan dijadikan kawan dan begitu seterusnya, semuanya telah dibutakan oleh hawa nafsu kekuasaan. Kebijakan yang tumpang tindih tidak ada kejelasan hanya akan membingungkan masyarakat, semuanya berjalan sendiri-sendiri tanpa permisi sehingga orang nomor satu di kekuasaan pun merasa khawatir dan ketakutan yang dinyatakan dalam pidatonya , "Tidak ada visi misi menteri, yang ada adalah visi misi presiden dan wakil presiden." 
Dengan pernyataan tersebut jelas terlihat bahwa kepemimpinan dalam sisitem demokrasi ini tidak akan membuahkan hasil yang sesuai dengan inspirasi rakyat, rakyat hanya dijadikan korban keserakahan kekuasaan mereka saja, dijadikan alat pemuas kepuasan dengan iming-iming kesejahteraan padahal nyatanya setelah mereka duduk-duduk cantik dalam kursi kekuasaan tak pernah ingat akan janji-janji mereka, menoleh dan melirik pun tidak. Sungguh, bencana bagi umat, terutama bagi kaum muslim.

Setelah terpenuhinya tujuan mereka dalam sistem demokrasi meninggalkan keniscayaan yang nyata, rakyat mereka tinggalkan dan menjadi korban keserakahan.

Begitulah dalam sistem demokrasi yang selalu menafikan  aturan dari Alloh Swt. tidak mengenal halal haramnya berpolitik, teriakan mereka terhadap identitas politik hanyalah upaya  menutupi kebusukan mereka yang ingin menghilangkan Islam politik diranah kehidupan.

Dalam sistem demokrasi, ayat-ayat Al-Qur'an hanya dijadikan pembenaran dan alat untuk meraih kekuasaan dengan nafsu kekuasaan mereka.

Islam adalah Kekuatan Politik

Politik kekuatan Islam memang tidak bisa diragukan lagi karena sebelumnya Islam pernah berjaye dan menguasai dua pertiga dunia. Terbukti kekuatan Islam telah menggentarkan musuh-musuh Islam, memporak porandakan kekuatan musuh, dan tidak pernah kalah dalam arena peperangan manapun. Tidak ada kekuatan politik apapun selain politik Islam, Islam adalah satu-satunya politik yang harus diikuti bukan malahan dimusuhi.  Tidak ada koalisi tidak ada haus empati dan haus terapi, semuanya sesuai prosedur yang Alloh turunkan dan Rasulullah contohkan.  Sesuai firman Alloh  Swt, :

و قل اعملوا فسيرى الله عملكم ورسوله والموء منون وستردون الى علم الغيب والشهدة فينبءكم بما كنتم تعملون 

Artinya :  Katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Alloh dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada ( Alloh ) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. ( Q.S. At-Taubah [9] : 105 ).

Untuk itu segeralah kembali ke politik Islam yang akan mengurusi rakyat dengan pengurusan yang sahih tanpa adanya koalisi,  korupsi dan nepotisme yang akan merugikan umat, karena semua bersandar pada Al- Qur'an dan As-Sunnah yang akan memberikan keberkahan di langit dan bumi. 

Ingatlah semua itu tidak akan terwujud kecuali dalam negara Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah ala minhaj nubuwwah.

Wallohu'alam

Post a Comment

Previous Post Next Post