Hari Lanjut Usia Nasional 2022: Sudah Sejahterakan Lansia di Negeri Demokrasi?


Oleh Amy Mufidah
Ibu Rumah Tangga

Tanggal 29 Mei ditetapkan sebagai Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN). Pada tahun 2022 tema yang diambil adalah "Lansia Sehat, Indonesia Kuat". Tujuan ditetapkannya HLUN adalah sebagai wujud kepedulian dan penghargaan negara terhadap orang lanjut usia. Pemerintah juga memberikan perhatian khusus kepada orang lansia, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan. Perpres tersebut ditujukan kepada kementerian atau lembaga untuk mewujudkan lansia sejahtera, mandiri dan bermartabat (tirto.id, 25/5/2022).

Masa lansia memang membutuhkan perhatian lebih besar, karena kondisi fisik mereka yang mulai lemah. Kesejahteraannya pun juga semestinya terjamin, karena tubuh rentanya tak mampu lagi mencari kebutuhan hidup. Namun, banyak di antara mereka yang masih berduyun-duyun mencari sesuap nasi untuk menyambung hidupnya. Tak sedikit pula dari mereka yang masa tuanya hidup dalam kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data lansia di Indonesia cukup banyak, yaitu mencapai 29,3 juta jiwa (10,82% total populasi) dan kebanyakan dari mereka adalah golongan yang tidak sejahtera. Mereka tinggal sendiri di rumah, minim pekerjaan dan penghasilan dan bisa dikatakan miskin (databoks.katadata.co.id, 23/12/2021).

Selain itu, masih banyak di antara mereka yang belum terjamin kesehatannya. Hal itu dikarenakan layanan kesehatan bagi mereka merupakan suatu "barang mewah". Sementara hadirnya negara kepada para lansia dalam mewujudkan kesejahteraannya hanya sebatas seremonial yang bersifat parsial pada hari peringatan saja. Seperti dilansir dari rm.id, 30/5/2022, Mensos Tri Rismaharini pada puncak peringatan Lansia 2022 menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada Pemkab Tasikmalaya yang telah  membangun Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) khusus untuk lansia. Kemensos juga memberikan banyak bantuan sosial seperti, PKH, bansos Keserasian Sosial, bantuan kearifan lokal, dan sebagainya.

Tak dipungkiri, dengan berbagai bantuan yang diberikan akan membuat para lansia merasa senang. Akan tetapi, itu semua hanyalah bantuan yang bersifat sementara. Padahal, bantuan kebutuhan mereka tidak hanya itu. Para lansia menginginkan jaminan kesejahteraan hidup lainnya dan untuk mendapatkan bantuan tersebut juga harus dibatasi oleh umur. Sesuai dengan UU No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, seseorang dikatakan lanjut usia jika telah berusia 60 tahun ke atas. Namun, jika kita lihat banyak yang belum berumur 60 tahun sudah tidak mampu menanggung nafkah bagi dirinya sendiri.

Begitulah potret kehidupan lansia dalam negeri demokrasi ini. Layanan-layanan yang diberikan kepada lansia selama ini dianggap sudah menggambarkan hadirnya negara dalam menyejahterakan kaum lansia. Tahun berganti tahun, peringatan HLUN diperingati, namun nampaknya kesejahteraan lansia masih sebatas mimpi. Benarkah lansia di negeri ini sudah benar-benar sejahtera? 

*Kesejahteraan Lansia, Tanggung Jawab Siapa?*

Suguhan berita tentang berbagai kasus yang dialami lansia di negeri ini seolah tak pernah habis dan membuat kita menganga. Mulai dari anak yang tega menelantarkan orang tuanya yang sudah usia senja, menitipkannya di panti jompo dengan alasan tidak ada waktu untuk merawatnya. Semena-mena memidanakan orang tuanya, karena masalah harta atau keinginan yang tidak dipenuhi. Bahkan sampai membunuh orang tua kandungnya sendiri. 

Tidak hanya itu, fakta lain tentang pedihnya kehidupan yang dihadapi para lansia. Di usianya yang sudah senja, fisik yang lemah masih banyak kita jumpai lansia yang masih bekerja mencari nafkah. Ada pula yang menjadi pemulung demi menyambung hidupnya. Hidup sendirian di tempat yang tak layak huni, dan lain sebagainya.

Miris melihat kenyataan yang terjadi. Tentu kondisi tersebut menggambarkan adanya kerusakan dalam tatanan kehidupan saat ini. Peradaban yang ada kini, tak mengenal akan konsep _birrul walidain_ dan kewajiban terhadap keluarga dan kerabat. Selain itu konsep _ta'awun 'alal birri wa at-taqwa_ kian memudar di masyarakat. Yang tidak kalah penting juga adalah konsep kewajiban pengurusan negara terhadap orang yang tidak memiliki keluarga. Negara absen dalam hal tersebut.

Begitu payahnya lansia mendapatkan kesejahteraan di negeri yang mengadopsi sistem kapitalisme-demokrasi ini. Adanya peringatan hari lansia yang setiap tahunnya selalu diperingati pun tak membuat kehidupan lansia kian sejahtera. Bagaimana seharusnya tanggung jawab terhadap pengurusan dan kesejahteraan para lansia ini dilakukan?

*Menilik Peran Negara dalam Mensejahterakan Lansia*

Bulan Mei menjadi momen peringatan Hari Lansia Nasional yang dikatakan sebagai wujud kepedulian dan penghargaan kepada manusia lanjut usia. Berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, lansia adalah orang yang berusia 60 tahun ke atas. 

Mengutip dari laman rri.co.id bahwa sebagai wujud penghargaan terhadap orang lanjut usia, pemerintah berdasarkan Keppres Nomor 52 tahun 2004 membentuk Komnas Lansia (Komisi Nasional Perlindungan Penduduk Lanjut Usia) yang bertugas sebagai koordinator usaha peningkatan kesejahteraan orang lanjut usia di Indonesia dan juga merancang Rencana Aksi Nasional Lanjut Usia di bawah koordinasi kantor Menko Kesra.  

Selain itu bantuan sosial pun diberikan dengan total bantuan senilai Rp 26.958.320.000 mulai dari bantuan RLTH (Rumah Tidak Layak Huni), sembako, hingga kesehatan. 

Namun, apakah bantuan tersebut menyelesaikan problematika lansia di negeri ini? Karena sesungguhnya bantuan yang mereka butuhkan tidak hanya setiap perayaan saja, namun juga untuk kesehatian mereka. Karena fisik yang sudah lemah membuat lansia ini mudah sekali sakit sehingga membutuhkan biaya dan perawatan.  

Pemerintah tidak boleh abai hanya dengan menganggap apa yang mereka lakukan telah memenuhi kebutuhan para lansia ini, setelah melakukan perayaan lansia yang diadakan setiap tahun pada setiap tanggal 29 Mei. Karena para lansia adalah manusia yang membutuhkan perhatian, perlindungan, perawatan, dan juga makan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. 

Belum lagi problematika lansia di negeri ini bukan hanya soal kesejahteraan saja. Banyak kasus penelantaran lansia oleh pihak keluarga, kasus kekerasan yang dialami lansia, belum lagi masalah kesehatan yang tidak dapat dielakkan akibat penurunan fungsi organ tubuh seiring bertambahnya usia. 

Sangat disayangkan dewasa ini para lansia kerap menjadi satu golongan masyarakat yang berada pada kondisi miris. Mereka kerap tidak diperhatikan masyarakat, bahkan oleh anak-anaknya sendiri. Akhirnya tak jarang sebagian dari mereka hidup dalam kondisi yang mengkhawatirkan atau jikapun ada yang cukup beruntung mereka wajib rela menghadapi masa tuanya bersepi diri di panti jompo (Werdha). Padahal Panti Werdha sendiri memiliki kemampuan terbatas, khususnya yang dikelola swasta melalui yayasan. 

Jika dirunut terkait merebaknya fenomena ini, ada benang merah antara paradigma berfikir dari individu-individu yang hidup di masa kapitalis kini. Ketika sekulerisme merebak, agama menjadi sesuatu yang makin terjauhkan dari pengurusan kehidupan. Muncullah individu-individu masyarakat yang jauh dari tata aturan agama. 

Agama hanya dipakai dalam urusan ibadah mahdhah. Sementara terkait urusan akhlak, adab apalagi dimensi sosial kemasyarakatan, Islam makin jauh dari kehidupan. Ditambah dengan fakta bahwa hidup di masa kapitalis dirasakan demikian sempit dan serba sulit. Segala sesuatu diukur dengan banyaknya materi yang dimiliki. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan asasi pun banyak kalangan masyarakat yang tak mampu untuk menjangkaunya. 

Masih pantaskah sistem kapitalis ini dipakai, sedangkan sistem ini tidak melindungi hajat hidup orang banyak termasuk para lansia? Sistem kapitalis saat ini tidak mampu menjaga dan merawat serta memenuhi semua kebutuhan lansia, karena sistem kapitalis ini hanya mencari keuntungan di atas penderitaan rakyat. Tak peduli apakah itu lansia, orang dewasa atau kecil, selama masih membawa keuntungan yang besar, tidak menjadi masalah. Karena di sistem ini tidak ada seorang pemimpin pun yang berpikir sesuai dengan ajaran atau kaidah-kaidah dalam ajaran Islam secara kafah. 

Sementara di dalam Islam, semua kehidupan lansia akan ditanggung oleh negara, misalnya dari penyediaan tempat tinggal bagi para lansia yang hidup sebatang kara. Apabila mereka tidak memiliki anak dan keluarga maka akan menjadi tanggungan negara. 

Seperti pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, negara memberikan ‘keamanan sosial’ bagi orang lanjut usia yang berasal dari kas publik. Hal ini karena pemerintahan dalam pandangan Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi/dasar setiap individu dan masyarakat dari segi sandang, pangan dan papan. Juga kebutuhan kolektif masyarakat berupa keamanan, pendidikan dan kesehatan. 

Dengan mekanisme yang merujuk pada hukum syara, negara akan mampu memberi jaminan tersebut dengan penuh kesungguhan dan semangat _lillahi ta’ala._

Sungguh amat berbeda kondisi para lansia di era kapitalis dengan di masa ketika Islam menjadi pedoman dalam setiap sendi kehidupan. Di mana kesempurnaan syariat Islam tersebut hanya dapat tegak jika diwujudkan dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah yang mengikuti manhaj Nabi Saw. 

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post