Ongkos Pemilu Fantastis VS Ongkos Pemilu Ekonomis


Oleh Dwi Sri Utari, S.Pd
(Guru dan Aktivis Politik Islam)


Hingga saat ini, usulan anggaran Pemilu 2024 yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) belum juga disetujui pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Awalnya, KPU mengajukan anggaran sebesar Rp 86 triliun. Akan tetapi, pemerintah meminta KPU melakukan efisiensi sehingga dipangkas menjadi Rp76,6 triliun. Dilansir dari Republika pada Selasa, 19 April 2022, Anggota KPU RI periode 2017-2022 Arief Budiman, yang baru saja purna tugas pada pekan kemarin, mengatakan, anggaran Pemilu 2024 yang kemungkinan disetujui jauh di bawah Rp76,6 triliun, sebagaimana usulan KPU.

Pemilihan langsung (Pemilu) adalah metode pemilihan kepala negara maupun kepala daerah di Indonesia sebagaimana tercantum dalam UU 32/2004 dimana merupakan bagian dari reformasi politik dan demokratisasi yang sudah berjalan sejak 2005. Suara rakyat dalam Pemilu akan melegitimasi kepemimpinan, yang dimaksudkan agar pemimpin bertanggungjawab terhadap rakyat. Pelaksanaan pemilu dalam sistem demokrasi membutuhkan biaya politik tinggi yang harus ditanggung APBN. Di samping itu, setiap calon yang terjun dalam pemilu memerlukan modal politik sebagai “mahar” untuk mendapatkan fasilitas pendukung seperti rekomendasi partai, mendanai tim sukses, biaya kampanye, sumbangan politik pada masyarakat, hingga pembayaran saksi di TPS.

Prinsip demokrasi bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat menyebabkan mahalnya biaya pemilihan. Sebagai tolak ukurnya yaitu cakupan dan besarnya partisipasi rakyat dalam sebuah pemilihan. Sehingga, supaya calon pemimpin dapat terpilih, perlu adanya mekanisme sosialisasi dan membangun loyalitas dengan pemilih. Persaingan dalam memenangkan suara selaras dengan makin banyaknya calon. Dalam hal ini, akan makin banyak dana yang dibutuhkan dalam proses kampanye. Dana kampanye memang menjadi porsi yang paling besar dari biaya politik. Berdasarkan riset KPK 2015, seorang calon bupati/wali kota membutuhkan Rp 20-30 Miliar, dan calon gubernur membutuhkan Rp 20-100 Miliar untuk pencalonannya. Banyaknya uang yang dikeluarkan akhirnya mendorong para calon untuk “balik modal”, sehingga mencari banyak sumber pendanaan, termasuk korupsi.

Disisi lain, pengajuan anggaran pemilu dan pilkada 2024 yang memiliki nominal fantastis itu juga tidak relevan dengan kondisi saat ini dimana masyarakat masih gontay menghadapi pandemi. 
Selayaknya, pemerintah memfokuskan anggaran untuk pembenahan ekonomi nasional, sehingga rakyat bisa keluar dari kondisi serba sulit dan kemiskinan.

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang memerlukan ongkos yang fantastis. Pemilihan pemimpin dalam Islam memiliki mekanisme yang sederhana, praktis, dan ekonomis. Pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang disebut sebagai Khalifah lahir dari kekuasaan yang berasal dari umat. Metode pengangkatannya sendiri adalah melalui baiat, yakni janji setia pemimpin untuk melaksanakan Kitabullah (Al-Qur’an), dan Sunah Rasulullah saw., serta bagi rakyat dituntut ketaatan dalam kondisi senang dan susah, sempit dan lapang.

Metode pemilihan dan pengangkatan Khalifah dilangsungkan melalui tiga tahapan, yakni pembatasan calon, proses pemilihan, dan pembaiatan. Dalam hal ini, ada tiga bentuk teknis pelaksanaan. Pertama, calon Khalifah dibatasi oleh ahlul ahli wal a’qdi atau Majelis Umat. Calon yang akan dipilih adalah mereka yang telah lolos seleksi calon yakni memenuhi syarat-syarat in’iqad (muslim, laki-laki, balig, orang yang berakal, adil, merdeka, dan mampu). Syarat in’iqad menjadi jaminan kualitas, integritas, dan kapasitas kepemimpinan. Satu-satunya faktor yang menggagalkan proses pencalonan adalah terpenuhi tidaknya syarat-syarat in’iqad. Kedua, pemilihan dilakukan oleh sebagian umat, hingga diperoleh seorang calon untuk menempati jabatan kepala negara. Ketiga, pembaiatan terhadap orang yang memperoleh suara terbanyak menjadi Khalifah, untuk menjalankan Kitabullah dan Sunah Rasul.

Rangkaian pemilihan tersebut hanya untuk memilih pemimpin negara (Khalifah). Sedangkan para pemimpin wilayah (wali) dan amil, akan dipilih dan diangkat oleh Khalifah. Masa jabatan pemimpin di dalam Islam tidak dibatasi waktu. Sehingga akan memberi waktu yang panjang bagi seseorang untuk membangun kepemimpinan secara alami di tengah umat, hal ini membuat seorang calon pemimpin tidak membutuhkan lagi kampanye untuk memperkenalkan dirinya. Inilah yang membuat pengangkatan pemimpin dalam Islam praktis, sederhana, dan ekonomis. Jika demikian nampaknya kita perlu mempertimbangkan, apakah masih mau mengandalkan sistem demokrasi dengan metode pemilunya, ataukah beralih pada sistem yang lebih praktis, sederhana, dan ekonomis? Wallahu a’lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post