Merespon Gaya Hidup Konsumerisme


Oleh: Rosyidah
Pemerhati Umat, Aktivis Dakwah

Fenomena budaya konsumerisme telah berlangsung lama dalam kehidupan kaum muslim. Pada saat menjelang iedul fitri, budaya itu terlihat jelas, keinginan membeli barang barang yang akan dipakai pada saat silaturahmi, hingga menyebabkan banyak masyarakat yang berduyun duyun ke mall-mall untuk membeli barang-barang dalam jumlah berlebihan dan sebenarnya tidak begitu diperlukan. 
     
Prilaku konsumtif ini tidak hanya terjadi pada momen-momen tertentu, tetapi dalam keseharian kehidupan masyarakat, juga dilakukan oleh mayoritas kaum muslimin, mulai dari kalangan remaja usia produktif hingga kalangan usia dewasa. Prilaku membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan seperti membeli handphone bermerk dan berganti ganti handphone dengan tujuan untuk eksistensi diri bahwa dirinya berada di golongan kelas atas. Membeli baju, jam tangan, make up, skincare bermerk, padahal barang tersebut masih ada dan layak pakai. Menumpuk perhiasan. Membeli barang mewah, makanan berlebihan kemudian dipamerkan melalui video youtube. Padahal barang-barang itu tidak dipakai. Prilaku seperti ini telah menjadi gaya hidup mayoritas kaum muslimin. 
      
Budaya konsumerisme mampu merubah psikologi. Seseorang akan nekat melakukan prilaku-prilaku ekstrim demi memenuhi hawa nafsunya, hanya untuk mendapatkan materi tertentu, dan mendapat sebutan golongan upper class (kelas sosial atas). Tindakan nekat ini hingga merelakan dirinya melakukan tindak kriminal. Seperti yang terjadi pada seorang perempuan pegawai Bank yang nekat menilap uang nasabahnya untuk main trading hingga mengalami kerugian Rp1,1 M. Dan sempat menjual aset-asetnya, menjual rumahnya untuk mengganti kerugian yang dialaminya. Tindak kriminal merupakan puncak kenekatan prilaku konsumerisme. Dan bukan sesuatu yang asing untuk menghalalkan segala cara demi mendapatkan materi dengan cara cepat. Hingga rela meminjam uang dengan sistem riba bahkan pinjol yang merugikan pun dilakukan.
     
Dalam tulisan ini akan menguak apa sebenarnya konsumerisme, kenapa tingkat konsumsi terhadap barang barang bermerk menjadi ukuran kesuksesan hidup kaum muslim, apakah konsumerisme merupakan gaya hidup yang terlahir dari sistem hidup tertentu, dan keterpengaruhan konsumerisme yang mampu mengubah tatanan kehidupan.
     
Konsumerisme Lahir Dari Nilai dan Ideologi Kapitalis

Konsumerisme adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan dan sebagaimya, yang kurang lebih mengindikasikan gaya hidup yang tidak hemat. Gaya hidup adalah bentukan paling kuat dari sebuah peradaban yang berakar pada ideologi dan nilai nilai mendasar yang dianut oleh suatu masyarakat. Begitu pula gaya hidup konsumtif bukan sebuah kebetulan atau sekedar tradisi belaka, melainkan pancaran dari bentukan nilai dan sistem tertentu yang dianut oleh suatu bangsa. Oleh karenanya konsumerisme merupakan sebuah tantangan nilai yang terinternalisasi pada sebuah masyarakat. 
     
Sekilas kita lihat tidak ada yang keliru dalam aktivitas konsumsi dalam pemenuhan kebutuhan hidup, selama kita sebagai muslim menerapkan standart halal dan haram. Namun kapitalisme mempunyai paradigma yang berbeda. Konsumsi menjadi standart qona'ah masyarakat, yang mempengaruhi nilai dan gengsi manusia. Berbalut dengan nilai materialisme dan hedonisme, maka aktivitas konsumsi berkembang menjadi budaya pamer hingga bangga menjadi konsumen benda benda bermerk hanya karena takut dianggap ketinggalan zaman. Budaya pamer ini terus berkembang menjadi tekanan sosial dan akhirnya mengubah muslim menjadi cinta harta dan cinta dunia. 
    
Kapitalisme memandang bahwa profesi adalah puncak dedikasi dan hidupnya karena akan memberinya status, penghasilan dan pengakuan identitas sosial. Profesional dalam ketenagakerjaan memaksa banyak karyawan untuk tetap bekerja banting tulang agar tetap bisa menjalani gaya hidup cicilan yang sangat konsumtif. Ideologi dan sistem materalistis inilah yang mendorong konsumsi barang dan jasa secara tidak terkendali, karena keinginan memiliki walau tak benar benar mau membutuhkan. Konsumerisme sebagai tatanan nilai kapitalistik memang sangat dipengaruhi oleh sistem petdaaban sekuler dengan infrastrukturnya mall-mall, lembaga perbankan ribawi, dan lainnya.

Konsumerisme Penyebab Rusaknya Mental dan Kepribadian Mulia

Seorang ulama mengatakan, ciri masyarakat yang sekarat adalah yang fokus pada capaian materi dan harta. Karena cinta terhadap harta, membutakan dan paham kebebasan akan membinasakan. Kerusakan sosial dan mental yang merajalela ketika kehidupannya berporos pada materi, saling bangga membanggakan harta dan capaian angka. Benarlah kata ulama, hawa nafsu itu merusak. Karena memberi kesenangan sesaat akaibat merasa bangga diri, bermewah mewah dan akhirnya merendahkan orang lain. Sikap adalah cerminan hawa nafsu dan ego manusia di level terkecil, pada level berikutnya akan mengantarkan pada kerusakan sosial. 
     
Tidak diragukan lagi, konsumerisme adalah penyakit yang harus disembuhkan, karena ia lahir dari paham materialisme yang meniadakan peran ruh dalam pengelolaan harta. Tidak mengenal keberkahan harta, tidak mengenal besarnya dosa riba dan judi, tidak peduli konsep amal jariyah dan tidak mengenal investasi akhirat. 
     
Semua akibat diterapkannya hukum hukum buatan manusia yang liberal. Ketika nilai sekuler telah mengisi tatanan nilai dan hukum sebuah masyarakat, maka kerusakan hebat menjadi tak terhindarkan. Dan mencetak manusia-manusia lemah yang mengalami gangguan mental dan kepribadian. 
     
Pada pelaku konsumtif, akan menjadikan standart kesuksesan saat semua kebutuhannya terpenuhi. Hingga menyebabkan pihak pihak yang ada pada keluarga bekerja membanting tulang, dengan sejumlah asuransi, pinjaman bank untuk memenuhi kebutuhannya. Sikap individualisme merebak, kurang peduli dengan orang lain karena merasa beban hidupnya sangat berat. Ditambah peran agama melemah dalam bangunan keluarga, akibatnya mereka tidak mampu berfikir panjang, tidak lagi peka halal haram. Mereka hanya mengikuti arus materialisme dan pragmatisme. 
     
Mereka menjadi konsumen brand-brand bergengsi, karena kemewahan dianggap akan menaikkan status sosial mereka di masyarakat.

Pembangunan Manusia Dalam Islam

Dalam kapitalisme, lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik daripada membangun mental dan kepribadian manusia. Sehingga rakyat berjuang untuk sesuatu yang rendah untuk bertahan hidup. Karena distribusi harta tidak merata, terjadi kesenjangan yang mencolok antara miskin dengan kaya. serta pada golongan yang mampu atau kaya, telah mewabah budaya konsumerisme. Sehingga sikap individualis lebih menonjol, tak lagi memperhatikan masalah masalah besar umat. 
     
Islam sangat memperhatikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, per kepala. Sedangkan dalam kapitalis, kesejahteraan dilihat secara akumulasi dalam suatu negara, tidak per individu. Prinsip politik ekonomi Islam, memiliki dampak sosiologis yang dahsyat karena saat kebutuhan dasar terpenuhi, maka manusia bisa bertumbuh dan berkembang mengukir prestasi dan karya untuk kemajuan peradaban yang mulia. 
     
Pembangunan manusia yang benar adalah seperti yang disampaikan oleh syekh TaqiyuddinAn Nabhani, yaitu dengan irtifa'ul fikri  atau peningkatan taraf berfikir manusia. Dengan meningkatnya taraf berfikir, maka mafahim atau persepsi mereka meningkat dan membuahkan prilaku yang mewujudkan keadaan baru yang lebih baik. Rasulullah saw. berhasil membentuk perubahan pada sejumlah penduduk Makkah dan Madinah menjadi manusia berkepribadian yang mampu menjadi pemain berdirinya peradaban Islam dan membangun peradaban islam di Madinah. 

Konsumerisme Buah Dari Sistem Kapitalisme Demokrasi
 
Kapitalisme menyerukan kebebasan liberal. Kebebasan kepemilikan dan kebebasan pribadi, menjadikan individu atau perusahaan untuk memiliki sumberdaya alam yang berharga dan memanfaatkan dan menyalahgunakan sesuai dengan keinginan mereka. 
    
Pembangunan dalam pandangan kapitalis adalah semata mata sebagai pertumbuhan ekonomi. Dan abai terhadap masalah keadilan, pemerataan atau pembangunan manusia. Wajar, segala sesuatu dilihat dari perspektif material, termasuk pada manusia. Karena itu, tidak heran bila atas nama pembangunan, penggusuran dilegalkan, atas nama pembangunan, rakyat dininabobokkan dalam kebodohan dan arus konsumerisme. 
     
Santernya pembangunan mall di perkotaan menunjukkan semakin meningkatnya kelas konsumen global. Para elit kapitalis bahkan sudah memiliki proyeksi bahwa pada akhir tahun 2021, akan ada 4 miliar orang di kelas konsumen global dan akan meningkat pada tahun 2030. Ditambah dengan arus urbanisasi, dengan tujuan untuk mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan dan pekerjaan yang lebih baik. Kesenjangan pembangunan desa dan kota menunjukkan kegagalan distribusi kekayaan. Daerah perkotaan kebanyakan lebih makmur daripada daerah pedesaan. Karena di kota, jumlah penduduk lebih banyak, sehingga memungkinkan untuk melakukan aktivitas ekonomi dalam skala besar. Sehingga sebagian besar kelas konsumen global sekarang tinggal di perkotaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa kapitalisme memang tidak punya mekanisme distribusi yang menghapus kesenjangan. Akibatnya memaksa manusia berkumpul dan hidup bertumpuk di perkotaan agar bisa mengakses sumber sumber kehidupan. 
    
Penumpukan penduduk telah mendorong tingkat konsumsi berlebihan. Itulah kenapa pabrik pabrik kapitalis terus menggenjot produksi demi memenuhi keinginan masyarakat yang konsumtif. Pembangunan pabrik-pabrik yang menyebabkan sumberdaya alam tereksploitasi, mencemari lingkungan, dan mengejar keuntungan secara serakah tanpa batas tanpa mempedulikan apapun selain keuntungan. 
     
Dalam pembangunan kapitalis, negara berperan sebagai fasilitator dan regulator yang sejajar dengan aktor lain yaitu kaum oligarki yang menjadi aktor utama pembangunan kapitalistik, hingga memonopoli hajat hidup orang banyak. Jika aktor pembangunan tidak memiliki ketakwaan dalam mengelola kekayaan umat dan aset-aset pembangunan, maka rakyat akan rusak disebabkan rusaknya penguasa. 


Politik Ekonomi Islam Dalam Menyembuhkan Konsumerisme

Konsumerisme adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh sistem kapitalis yang mendewakan nilai sekuler dan pembangunan infrastruktur kapitalistik dan kebijakan ekonomi. Maka tidak ada jalan lain untuk menyembuhkannya yaitu dengan penyembuhan sistemik. Negara membangun visi baru dengan fokus dalam mengurusi urusan rakyat dengan menerapkan mekanisme distribusi harta dan melarang kepemilikan aset-aset publik oleh swasta. Menghapus cara pandang kapitalistik yang mengutamakan produksi tapi minus distribusi. 
     
Dalam Islam, distribusi dilakukan secara ekonomis dan non ekonomis. Mekanisme ekonomi diarahkan pada sektor produktif. Mekanisme non ekonomi melalui aktivitas non produktif seperti zakat, waris, sodaqoh. Dengan begitu pemerataan ekonomi di desa dan kota akan terjadi secara alami dan sistemik. 
     
Penyakit konsumerisme akan dihapus oleh Islam dengan cara mendidik pelaku konsumerisme dengan tsaqofah islam tentang investasi harta yang benar dan gaya hidup yang berkah. Masyarakat akan dijauhkam dari budaya hedonisme dan dimotivasi untuk berlomba dalam sedekah dan wakaf sebagai amal jariyah akhirat mereka. Merubah mindset mereka, bahwa harta diinvestasikan untuk kepentingan agama dan akhirat seperti dakwah dan jihad bukan demi gengsi dan status sosial. Negara tidak akan memfasilitasi pembangunan mall-mall yang terlalu banyak hanya demi memfasilitasi bisnis oligarki. Pembangunan infrastruktur diarahkan untuk kemajuan peradaban Islam, ilmu pengetahuan dan syiar Islam. Untuk kalangan miskin dan lemah , maka ada jaminan konsumsi kebutuhan pokok pada mereka, sehingga warga desa tidak berbondong-bondong ke kota untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Mereka pergi ke kota untuk berkarya, berdagang atau berguru karena fungsi kota tidak hanya sekedar sebagai pusat pertumbuhan ekonomi tetapi juga sebagai pusat syiar Islam, dakwah dan ilmu pengetahuan. 
     
Upaya ini harus dimulai secara massif dan kontinyu, yaitu dengan kesadaran individu, kontrol masyarakat dan peran negara yang tidak mengabaikan hukum hukum Allah. 


Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post