SENGKARUT MINYAK GORENG, SIAPA BERMAIN?


Oleh. Nursiyah, S.Pd

Krisis minyak goreng hingga hari ini masih melanda negeri. Setelah berpekan-pekan masyarakat dihadapkan pada kelangkaan minyak di pasar, kini masyarakat dipukul dengan ketersediaan minyak goreng dengan harga yang melambung.

Kelangkaan ini terjadi merata hampir di seluruh wilayah. Antrian minyak goreng menghiasi media elektronik setiap hari. 
Bahkan antrean tersebut telah memakan korban. Tentu keadaan ini sangat mempengaruhi keberlangsungan pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan industri kecil menengah. 

Tak berbeda dengan beberapa kota di Jawa Tengah seperti Semarang, Blora, 
Grobogan, Demak, Kudus dan juga Klaten. Stok minyak goreng di beberapa outlet segera habis. Bahkan ada agen atau distributor yang mensyaratkan pedagang harus membeli barang lain senilai Rp 500.000 untuk mendapatkan 1 jerigen minyak goreng. 

Hal ini dilakukan agen untuk menghindari joki minyak goreng yang bisa berakibat semakin tingginya harga minyak di masyarakat. 

Bak anak ayam mati di lumbung padi, begitulah yang terjadi di negeri ini. Seperti diketahui bahwa Indonesia termasuk pemasok produk sawit terbesar di dunia. Data kementerian Pertanian tahun 2019, total luas kelapa sawit di Indonesia mencapai 16, 38 juta hektar. Tersebar di 26 propinsi. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat produksi minyak sawit mentah tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton. 

Sementara menurut Kementerian Perindustrian, realisasi produksi minyak goreng sawit (MGS) tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya sebesar 5, 07 juta ton. Maka bagaimana bisa negeri ini mengalami krisis minyak?

Anehnya ditengah kelangkaan minyak, muncul aksi beberapa parpol yang menjual minyak goreng murah. Diantaranya ada PSI, yang menggelar pasar murah di kecamatan Cibarusah, Bekasi. PSI menjual ratusan liter minyak goreng dengan harga Rp 10.000/lt. 

Selanjutnya PDIP menggelar penjualan minyak goreng curah murah seharga Rp 10.500/lt. Nasdem melakukan operasi pasar di 3 kabupaten di Sumatera Utara. Setidaknya ada 6 ton minyak goreng dalam 6000 kemasan yang dijual murah. 

Hal itu tentu saja menimbulkan kecurigaan ditengah masyarakat. Belum lagi terbongkarnya penimbunan puluhan ribu liter minyak goreng yang tidak diidistribusikan di Lebak, Banten dan Palu, Sulawesi. Menyusul di beberapa wilayah lainnya seperti di Aceh, Banjar, NTT, Sulawesi Selatan, dan lain-lain.


*Asal Kelangkaan Minyak*
Menurut Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi ada dua kemungkinan penyebab 
kelangkaan minyak. Pertama, ada kebocoran untuk industri yang kemudian dijual dengan harga tak sesuai patokan pemerintah. Kedua ada penyelundupan dan penimbunan dari 
sejumlah oknum. Berdasarkan temuan di lapangan penyebab kelangkaan karena harga CPO (crude palm oil) dari produsen minyak goreng yang mengalami meningkatan. Direktur 
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemandirian perdagangan , Oke Nurwan mengatakan, 
kenaikan harga minyak goreng lebih dikarenakan harga internasional yang naik cukup tajam. 
Selain juga ada peningkatan CPO untuk program biodisel.

Konsumsi CPO dalam negeri untuk biodisel mengalami peningkatan di bulan Januari 2022 dibandingkan tahun sebelumnya. Pada bulan Januari 2021 konsumsi CPO mencapai 448.000 ton. Jumlah tersebut melonjak menjadi 732.000 ton per Januari 2022.(SindoNews.com 11/3/22). Sementara kenaikan harga CPO dunia ini dimanfaatkan oleh para produsen minyak untuk mengutamakan pasar eksport. Bahkan kemudian ditemukan kasus eksport illegal yang saat ini masih dalam penyidikan.


*Kebijakan Pemerintah*
Menurut Oke Nurwan, kebocoran eksport menjadi landasan bagi pemerintah menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). DMO merupakan kebijakan yang menetapkan setiap produsen menyediakan kebutuhan minyak dalam negeri. Dengan kebijakan ini eksportir memiliki kewajiban memasok minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20% dari total volume ekspor masing-masing yang kemudian dinaikkan menjadi 30% oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Sementara DPO yang kemudian dituangkan dalam bentuk harga eceran tertinggi (HET) 
diberlakukan agar masyarakat bisa mendapatkan minyak dengan harga terjangkau.

Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, kebijakan DMO maupun DPO ini tidak efektif untuk menstabilkan gejolak 
harga minyak goreng. Sahat menilai sebagian eksportir CPO dan produk turunannya masih belum menjalankan aturan DMO dan DPO sesuai dengan amanat Kemendag. Temuan dilapangan juga membuktikan bahwa harga yang murah (sesuai HET) hanya bisa didapatkan masyarakat di outlet tertentu dengan pembelian yang terbatas serta tidak untuk semua merk minyak goreng. Apalagi kemudian disusul dengan kelangkaan minyak hampir di seluruh outlet sembako.Harga murah namun barang tidak tersedia.

Ketidakefektifan kebijakan ini semakin jelas ketika pemerintah mencabut kebijakan 
DPO. Seketika seluruh rak minyak goreng terisi penuh dengan harga yang mewah. Dinanti-nanti tak segera datang, saat datang kehadirannya tidak diharapkan. Akhirnya masyarakat semakin merana, terpaksa menerima merogoh kocek yang lebih dalam untuk mendapatkan 1 liter minyak goreng. Sungguh menyedihkan. Potret sebuah kebijakan yang gagal dan mandul.


*Mafia Berkuasa, Sifat Dasar Kapitalisme*
Dalam rapat kerja bersama komisi VI DPR di Jakarta (Kamis, 17/3/22), Mendag Lutfi 
mengakui pihaknya tidak kuasa menghadapi munculnya mafia-mafia minyak goreng di Indonesia. Ia juga minta maaf tidak bisa mengontrol sifat manusia yang rakus dan jahat. Ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Meraup keuntungan ditengah kesulitan rakyat untuk mendapatkan salah satu bahan makanan pokok. Mendag berjanji akan mengungkap mafia-mafia tersebut bahkan akan mengumumkan di tengah publik. Namun 
hingga saat ini janji itu tak jua terealisasi.

Pihak-pihak yang melakukan eksport dengan cara-cara melawan hukum, yang 
melakukan pengemasan ulang atau repack minyak goreng curah untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi, baik itu yang mengalihkan minyak subsidi ke minyak industri ataupun juga yang mengeksport ke luar negeri serta menjual dengan harga yang tidak sesuai dengan HET. Merekalah para mafia itu yang hingga saat ini masih bebas berkuasa atas kebutuhan pokok masyarakat.

Pengamat kebijakan publik, Emilda Tanjung, M.Si. menyatakan bahwa didalam sistem sekuler kapitalistik mafia pangan tumbuh dengan subur. Memang benar tata kelola neoliberalisme ini telah meminggirkan peran negara dan memperbesar peran swasta. 

Lepasnya pengelolaan pangan dari tangan negara menjadikan kelompok swasta dan korporasi saling bersaing mengambil keuntungan dari pemenuhan hak-hak mendasar masyarakat.
Ketidakkuasaan negara atas bermainnya para mafia mengkonfirmasi bahwa sekelas
negara tidak mampu menghadapi para mafia. Beginilah akibat negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem yang mengagungkan kebebasan individu, termasuk kebebasan memiliki dan berusaha, serta sangat mengakomodir sifat rakusnya manusia.

Kekalahan ini menunjukkan bahwa penerapan kapitalisme tak akan membawa pada solusi hakiki yang mensejahterakan. Kapitalisme selalu berimbas pada penderitaan rakyat serta kegembiraan bagi para konglomerat, pengusaha dan korporasi. Inilah sifat dasar kapitalisme, rakus dan jahat yang bahkan sekelas negarapun tak mampu menghentikannya. 

Kapitalisme telah membentuk manusia yang materialistik dan profit oriented. Sistem ekonominya menciptakan kejahatan struktural dalam bentuk kebijakan yang pro kapitalis dan liberal. Kapitalisme juga melahirkan politik transaksional ala demokrasi yang mementingkan para korporasi semata. Selalu ada balas budi dibalik kekuasaan yang diraih. Penguasa menetapkan kebijakan demi memuluskan jalan para kapital.


*Sistem Islam*
Satu-satunya solusi untuk memberantas keberadaan mafia hanyalah dengan 
mengganti sistem kehidupan ini dengan sistem Islam. Di dalam sistem Islam seluruh 
pengaturan pengelolaan pangan berada di tangan negara. Sesuai sabda Rasulullah SAW bahwa imam atau khalifah ibarat penggembala dan dia yang bertanggung jawab atas gembalaannya(rakyat). Maka dari itu semua pengaturan urusan pangan yang berkaitan 
dengan tanggung jawab pemenuhan hajat masyarakat harus dilaksanakan sepenuhnya oleh negara. Tidak boleh dialihkan kepada pihak lain.

Sistem pengelolaan Islam akan meminimalkan atau bahkan menghilangkan praktik-praktik curang seperti para mafia dan para spekulan. Mulai dari pengaturan produksi, 
distribusi, dan import yang berkaitan dengan stabilitas pemenuhan kebutuhan masyarakat
semua dikelola oleh negara. Pengaturan ini akan menghalangi proses-proses atau aktivitas yang menyebabkan terjadinya penumpukan pangan di beberapa pihak tertentu seperti para korporasi pangan besar.

Selain itu dalam pengawasan dan penegakan sanksi, negara memilik struktur khusus yaitu qadhi hisbah yang akan melakukan pengawasan di pasar-pasar untuk menindak pelanggaran hak-hak masyarakat. Seperti pencegahan dan pemberantasan praktik penipuan, kecurangan, kartel harga, penimbunan barang dan lain sebagainya. Sanksi dalam Islampun sangat mampu memberikan solusi tepat dan menimbulkan efek jera. Semua itu ditopang oleh ketaqwaan individu dalam bingkai penerapan Islam yang kaffah.

Wallahu 'alam bi ash showwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post