Usia remaja sejatinya diisi dengan hal-hal bermanfaat untuk pengembangan diri, berkawan, dan membekali diri dengan skill yang positif. Namun, belakangan banyak remaja yang waktunya diisi dengan aktivitas yang bikin geram dan was-was masyarakat, seperti tawuran dan fenomena Klitih yang baru saja memakan korban jiwa lagi di Yogyakarta. (www.liputan6.com, 5-4-2022)
Klitih merupakan fenomena kekerasan jalanan yang marak terjadi di kota pelajar, Yogyakarta. Awalnya, klitih memiliki makna positif yang dalam bahasa Jawa berarti kegiatan di luar rumah untuk mengisi waktu luang. Namun, makna itu belakangan ini berubah sebagai aksi kekerasan jalanan di malam hari dengan pengendara motor sebagai sasaran secara random.
Di malam hari, Klitih telah memberikan ketakutan bagi warga Jogja sendiri dan para pendatang. Bahkan calon pendatang yakni adik-adik remaja di luar daerah yang hendak sekolah ataupun kuliah di Jogja-pun turut khawatir jika nantinya mereka akan tinggal disana selama masa studi.
Bergeser ke daerah lain, di Bekasi juga terjadi aksi perang sarung berujung tewasnya pelajar usia 14 tahun pada 5 April lalu (www.suara.com, 7-4-2022). Empat hari kemudian, hal serupa terjadi di Jakarta Barat. Berawal dari bangunkan sahur, remaja setempat terlibat tawuran yang mengakibatkan tewasnya satu orang akibat sabetan senjata tajam (www.aceh.tribunnews.com, 10-4-2022).
Kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh remaja, tak lagi pantas hanya disebut sebagai kenakalan, melainkan harus dianggap sebagai tindak kejahatan yang harus dikenai sanksi hukum.
Seringkali, dengan alasan masih di bawah umur, pelaku kekerasan remaja tak mendapatkan hukuman menjerakan dan akibatnya hal serupa terus berulang di kemudian hari.
Revolusi mental yang digaungkan rezim, terbukti tak memberikan dampak berarti untuk perbaikan moral remaja. Kurikulum yang berulangkali direvisi oleh menteri, tak ada komitmen untuk menciptakan generasi berakhlak mulia.
Lalu bagaimanakah problem remaja ini harus disikapi? Apakah yang bermasalah hanyalah oknum pelaku kejahatan remaja? Ataukah ada problem sistemik di baliknya?
Pendidikan Salah Arah dan Sistem Destruktif
Dari hasil statistik, Indonesia dinilai memiliki bonus demografi, yakni jumlah usia produktif yang melimpah. Potensi ini jika dikelola dan diarahkan dengan tepat, akan menjadi kekuatan besar. Generasi yang dididik dengan sangat baik merupakan investasi luar biasa bagi masa depan negeri. Sebaliknya, jika generasi mendapatkan pendidikan yang salah, akan menjadi musibah dan bencana peradaban.
Melihat Indonesia yang saat ini condong mengadopsi kapitalisme-sekulerisme, sistem pendidikannya tak menjadikan aqidah dan akhlak sebagai landasan utama. Yang kental terlihat justru pendidikan diarahkan untuk peningkatan ekonomi negara, kesusksesan materiil, dan prestasi duniawi lainnya. Hal ini tidak mengherankan, sebab kapitalisme memang menjadikan ekonomi sebagai sektor utama dalam pembangunan negara.
Sejak dini, generasi Indonesia dicekoki bagaimana nantinya bisa menjadi sukses dan menggunakan kreativitas untuk menghasilkan banyak uang, yang pada akhirnya dapat memperkuat perekonomian negara.
Pendidikan agama yang mampu menumbuhkan akhlak dan moralitas bagi generasi, malah berusaha dikurangi perannya bahkan hendak dihilangkan. Program moderasi beragama yang merupakan salah satu langkah sekularisasi generasi, sudah dikampanyekan di berbagai sekolah dan pesantren.
Sementara itu hal-hal yang sudah terbukti memberikan pengaruh buruk, seperti pornografi-pornoaksi, hedonisme, game kekerasan, tak dijauhkan dari generasi. Budaya luar yang merusak dibiarkan masuk tanpa filter yang berarti. Nau'dzubillah mindzalik.
Di sisi lain, institusi keluarga yang menjadi benteng terakhir pelindung generasi, turut menjadi korban sistem yang rusak. Indonesia termasuk sebagai fatherless country, dimana banyak anak Indonesia yang tak merasakan peran ayah di keluarga. Sementara itu, ibu generasi yang berperan sebagai madrasatul ula, dibuat waktunya habis untuk membantu perekonomian, karena nafkah dari suami yang tak mencukupi ataupun banyak suami yang mangkir dari amanah menafkahi.
Kelelahan bekerja demi menghidupi keluarga, tentu membuat para ibu tak bisa maksimal dalam mendidik putra-putrinya. Belum lagi jika di lingkungan kerjanya banyak hal yang menguji mentalnya, begitu pulang ke rumah, banyak kasus ortu yang menjadikan anak sebagai pelampiasan emosi. Makin retaklah bonding orang tua dan anak.
Sistem kapitalisme yang menjadikan sumber kesejahteraan hanya dinikmati segelintir orang pemilik modal, menyebabkan masyarakat sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga akhirnya keharmonisan keluarga ikut terkena dampaknya. Faktor ekonomi seringkali menjadi alasan utama perceraian dan broken home.
Tak hanya remaja, hampir semua orang turut merasakan kepahitan dari kerusakan sistem yang diterapkan. Dengan demikian, persoalan ini harus segera mendapatkan solusi sistemik, bukan parsial.
Selamatkan Generasi dan Peradaban dengan Islam
Berungkali Allah menantang dan mengingatkan kita dengan kalimat, "hukum mana yang lebih baik, hukum Allah atau hukum jahiliah?"
Peringatan Allah di atas harusnya cukup untuk menyadarkan kita bahwa kerusakan multidimensi yang tak hanya dialami negeri ini tetapi hampir seluruh negeri kaum muslimin, merupakan akibat dari berpalingnya kita dari syariat Islam. Oleh tangan-tangan manusia itu sendiri, sistem rusak demokrasi sekuler diterapkan di bumi Allah. Tentu saja Allah tak ridho ketika hukum-Nya dicampakkan, sehingga kerusakan demi kerusakan terjadi sebagai bentuk teguran-Nya agar kita sadar dan kembali kepada sistem yang haq.
Maka satu-satunya solusi untuk memperbaiki tatanan kehidupan yang rusak ini adalah dengan kembali kepada hukum Allah dengan menerapkan syari'at Islam yang diridhoi-Nya. Jika ingin keberkahan dan rahmat-Nya terasa, maka syari'at Islam harus diterapkan secara totalitas, tak boleh dipilih dan dipilah sesuka hawa nafsu.
Sistem ekonomi, politik, pendidikan, pergaulan, hukum, dan lainnya sudah memiliki aturan rinci di dalam Islam dan memiliki jaminan adil dan mensejahterakan. Sistem mana lagi yang berani memberikan jaminan seperti ini, selain sistem Islam? Nikmat mana lagi yang kita dustakan?
Semoga bulan Ramadhan ini, menjadi momentum kita untuk bersama-sama memohon ampun atas dosa-dosa kifayah kaum muslimin yang membiarkan hukum Allah tak terterapkan, sekaligus menjadi momen untuk berjuang mengembalikan sistem Islam dalam naungan Khilafah. Aamiin.
Wallahualam bissawab.
Post a Comment