Oleh: Bella LutfiyyaInstansi
Mahasiswi Universitas
Gunadarma
Akhir-akhir ini netizen Indonesia ramai
memperbincangkan kasus pembunuhan berupa penggorokan leher terhadap seorang
anak berusia 6 tahun oleh ibu kandungnya sendiri. Tak hanya itu, 2 anak lainnya
pun tak luput dari aniaya dan mengalami luka-luka. Kejadian ini terjadi pada
Minggu (20/03) pukul 02.00 WIB di daerah Tonjong, Brebes, Jawa Tengah dengan
pelaku berinisial KU (35 tahun).
Yang menjadi perhatian dari kasus ini adalah
pelaku merasa tidak bersalah atas apa yang ia lakukan terhadap anak-anaknya
tersebut. Bahkan dalam suatu video, pelaku terlihat tersenyum seolah senang
atas perbuatannya. Tentu sebagai orang awam, kita meyakini bahwa pelaku
memiliki gangguan kejiwaan. Namun nyatanya, pelaku mengatakan bahwa ia
melakukan hal tersebut agar anak-anaknya tidak merasakan hidup yang susah, agar
tidak sedih dan menderita seperti dirinya.
Melihat kasus tersebut, menyadarkan kita
betapa pentingnya pengetahuan akan pernikahan. Pernikahan adalah jenjang yang
serius, sehingga tidak sepatutnya untuk disepelekan. Menikah tidak hanya
melakukan ijab-qobul atau mengucapkan
janji sehidup semati saja, namun lebih dari itu. Keduanya harus siap dari
segala aspek dan memiliki tekad kuat untuk menikah dalam menggapai ridha Allah
ta’ala semata. Bukan sekadar formalitas usia dan budaya setempat. Kesiapan
menikah meliputi kesiapan untuk menanggung segala macam beban pernikahan.
Memang ada benarnya untuk menyegerakan pernikahan,
yaitu agar seorang anak tidak terlibat dalam pergaulan yang tidak sehat atau
untuk mencegah zina, seperti yang tercantum dalam Qur’an surah an-Nur ayat (32)
berikut, “Dan nikahkanlah orang-orang
yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah)
dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin,
Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Menikah adalah bagian dari ibadah dan Allah
SWT secara jelas dalam Al-Quran memerintahkan umatnya untuk menikah, “Dan Allah menciptakan kamu dari tanah
kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasang-pasangan
(laki-laki dan perempuan). Tidak ada seorang perempuan pun yang mengandung dan
melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan tidak dipanjangkan umur
seseorang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam
Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS
al-Fathir: 11).
Lalu bagaimana jika segala sesuatunya telah
siap dan terpenuhi namun saat telah melakukan pernikahan berbagai masalah muncul,
salah satunya ialah kondisi ekonomi yang memburuk? Bagaimana jika muncul
kejadian seperti di atas?
Manusia sejatinya diberikan kemudahan dan
kesusahan dalam hidupnya. Kesusahan yang diberikan tersebut bukan berarti Allah
SWT tidak menyayangi umatnya, tapi untuk menguji seberapa sabar dan berimannya
umat tersebut terhadap-Nya. Apakah dengan diberikannya suatu kesulitan akan membuat
manusia kembali kepada-Nya, meminta kepada-Nya, dan berdoa kepada-Nya? “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS al-Insyirah:
5-6).
Allah juga memberikan kenikmatan tidak hanya
sebagai imbalan atau jawaban atas doa-doa yang dipanjatkan. Kenikmatan tersebut
sejatinya juga adalah ujian dari Allah SWT, apakah dengan diberikannya segala
kenikmatan dan kemudahan tersebut justru melalaikan manusia dari Allah SWT,
melupakan Allh SWT, dan hanya memikirkan kehidupan duniawi saja?
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman
bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu amat dekat” (QS al-Baqarah:214).
Ayat tersebut menegaskan
kembali bahwa kesulitan tidak dapat dihindari oleh siapa pun. Kesulitan ditimpakan
kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Kesulitan membantu menghubungkan umat
yang beriman dengan Allah SWT. Mereka hanya akan berharap kepada Allah semata.
Masa-masa sulit memelihara tauhid seseorang dengan cara yang tidak mungkin
dilakukan dimasa penuh nikmat.
Satu hal lagi yang harus kita
dapat ambil pelajaran dari berita menyedihkan tersebut, tampak sekali betapa
rapuhnya kejiwaan seorang ibu di kehidupan saat ini. Negara yang dalam Islam
memiliki peran untuk menjaga jiwa dan akidah rakyatnya, nyatanya justru mendorong
para ibu hidup dalam belenggu kemiskinan, beban hidup yang tidak tertahan,
hingga pondasi iman yang begitu rapuh. Sehingga perilaku keji tidak lagi dianggap
keji.
Negara dan masyarakat seharusnya
berintrospeksi jika nyatanya kondisi kehidupan sosial kita bukan menghantarkan
pada kehidupan yang berkah penuh rahmat dan keridhoan Allah ta’ala. Justru diliputi
kegelisahan, ketakutan, ketidaktahanan menghadapi ujian berat, dan kerusakan hidup
disegala lini.
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan
bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa
mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (QS al-A'raf: 96).[]
Post a Comment