....
Rumah kontrakan belum terbayar
Uang habis hutang numpuk
Pemasukan belum jelas
Pengeluaran sudah jelas
Oooh Apakah ini ?
Siapa yang tahu ?
Tak ada yang tahu
Sering kali kita terpaksa berfikir
Melihat orang yang menjadi gila
Sebab tak sanggup lagi menanggung
Beban hidup yang semakin berat
....
Teringat penggalan lagu Iwan Fals, yang berjudul Sudrun. Lirik ini menggambarkan hidup rakyat yang luarbiasa super sulit dikarenakan beban masyarakat semakin berat. Inilah potret saat ini, banyak sekali Pil Pahit yang harus ditelan oleh rakyat, Terbaru adalah PPN 11 persen.
Dilansir dari Bisnis.com., Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen tinggal menghitung hari. Per 1 April 2022, jelang bulan suci Ramadan, masyarakat Indonesia akan merasakan tarif PPN baru. Gelombang keberatan muncul dari berbagai pihak, mengingat penyesuaian dilakukan bertepatan dengan kenaikan harga berbagai bahan pangan dan BBM.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, tarif PPN baru Indonesia itu masih tergolong rendah dan berada di bawah rata-rata global. “Kalau rata-rata PPN di seluruh dunia itu ada di 15%, kalau kita lihat negara OECD dan yang lain-lain, Indonesia ada di 10%. Kita naikkan 11%, dan nanti 12% pada tahun 2025,” ujar Sri Mulyani dalam keterangan resminya, Selasa (22/3).
Meski diklaim rendah di skala global, tarif PPN 11% itu sesungguhnya termasuk tinggi di kawasan Asia Tenggara. Tarif PPN baru Indonesia merupakan yang tertinggi kedua di Asia Tenggara, setelah Filifina.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan kenaikan tarif PPN tidak dapat ditunda lantaran pemerintah akan menggunakannya untuk masyarakat dan ekonomi Indonesia. Untuk itu, perlu disiapkan fondasi yaitu melalui penguatan rezim pajak.
Apakah benar dan sudah dirasa tepatkah kebijakan Ini? Akankah nasib Rakyat berubah lebih baik? Atau Rakyat kembali menelan Pil Pahit kebijakan ini?
Kondisi Makin Merana
Sesuatu yang alamiah bahwa dengan ada kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen ini. Maka harga barang dan jasa akan naik karena sifat pajak ini adalah dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa, dan dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan, yaitu bahwa PPN dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi. Artinya jika kita membeli barang atau jasa maka akan langsung dikenai PPN sebesar 11 persen sehingga harga barang dan jasa akan lebih mahal.
Di tengah kesulitan rakyat menjangkau harga minyak goreng, kagetnya harga-harga naik, sulitnya memenuhi kebutuhan hidup sepanjang masa pandemi, ternyata empati memang bukan sifat dari para pemangku kekuasaan dalam demokrasi saat ini.
Adapun prediksi barang-barang yang berpotensi mengalami kenaikan harga per 1 April 2022 antara lain: 1. Barang elektronik, 2. Baju atau pakaian, 3. Sabun dan perlengkapan mandi, 4. Sepatu, 5. Berbagai jenis produk tas, 6. Pulsa telepon dan tagihan internet, 7. Rumah atau hunian, 8. Motor/mobil atau kendaraan dan barang lainnya yang dikenakan PPN.
Masyarakat kian merana dengan kondisi saat ini, semua bagaikan rangkaian memiskinkan secara sistemik ditengah-tengah harapan ingin bangkit dan sejahtera. Menjadi mimpi serta ilusi disistem demokrasi- kapitalisme saat ini.
Potret lain, betapa tidak menggemaskan, bahwa perusahaan besar mendapat keringanan pajak dari pemerintah. Bahkan katanya diberikan banyak fasilitas, salah satunya perusahaan smelter Cina di RI tidak perlu bayar pajak. Situasi ini berbanding terbalik dengan kebijakan PPN, pajak akan dibebankan kepada masyarakat luas.
Ekonom Faisal Basri menilai keputusan pemerintah untuk mengerek PPN sangat memaksakan. Ia pun menanyakan keberpihakan pemerintah yang seakan-akan membuat kebijakan untuk masyarakat Cina bukan RI. Perusahaan Cina mendapat fasilitas royalti nol persen. Sementara tarif PPN dinaikkan untuk dibebankan pada rakyat.
Meningkatkan Pendapatan Lewat Pajak adalah Kebijakan yang Keliru
Tak Asing lagi, dalam sistem demokrasi, pemerintah mengatasi defisit anggaran dengan melakukan utang dan meningkatkan pendapatan lewat pajak. Dengan dalih untuk mensejahterakan rakyat, pendapatan pajak dijadikan basis utama APBN, sementara pendapatan dari sektor SDA ditiadakan.
Padahal sektor SDA merupakan ladang basah yang bisa tumbuh subur dikembangkan secara mandiri untuk membangun negara yang sejahtera tanpa hutang. Berbagai kebijakan Investasi Asing dan Penanaman Modal, justru merugikan negara.
Cara pandang menaikkan tarif pajak merupakan win-win solution mengatasi krisis keuangan negara pun sangat salah kaprah. Karena pada faktanya, rakyat hingga saat ini dilanda berbagai penderitaan ekonomi yang merata. Dengan bertambahnya tarikan pajak justru memperparah keadaan yang terjadi.
Sementara, dalam Islam memerintahkan negara full mandiri mengelola segala SDA untuk kesejahteraan rakyat. Pada kondisi tertentu misalnya, jika terjadi defisit anggaran yakni penerimaan negara lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran yang wajib dipenuhi maka kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim dalam bentuk pajak yang sifatnya sementara atau pinjaman. Khalifah selaku kepala negara, akan menerapkan pajak pada masyarakat yang kaya saja dan tidak dipukul rata kepada seluruh masyarakatnya
Artinya, pajak tidak dibebankan pada masyarakat luas. Menurut Abdul Qadim Zalum, jika terjadi kekurangan pendapatan dari sumber pendapatan yang ditetapkan dalam Islam untuk membiayai pengeluaran, Khalifah dapat menerapkan pajak. Syaratnya, terdapat kebutuhan untuk menutupi kebutuhan dan kemaslahatan kaum muslim.
Khatimah
Islam ketika diambil sebagai peraturan dalam kenegaraan maka akan berupaya seoptimal mungkin mengatasi krisis keuangan negara tanpa membebankan rakyat dengan berbagai pungutan. Mengutamakan pembelanjaan negara dari sumber pendapatan yakni harta anfal, ganimah, fai, khumus, kharaj, dan jizyah. Sumber lainnya ialah harta milik umum, harta milik negara , ‘usyur, dan harta sedekah/zakat.
Islam memandang kepala negara harus sangat memahami hadis Rasulullah saw., “Barang siapa melepaskan kesusahan duniawi seorang muslim, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barang siapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim)
Menjadi tanggung jawab Pemimpin negaralah untuk melepaskan kesusahan rakyatnya. Sebagai ganjaran, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Masyaallah. Wallahualam.
Post a Comment