Oleh: Watik Handayani, S.Pd.
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
Saat ini
masyarakat dihebohkan dengan berita pernikahan beda agama. Seorang Muslimah
menikah dengan lelaki non-Muslim. Salah satunya yang dilakukan Muslimah Staf
Khusus Kepresidenan melangsungkan pernikahan beda agama yang dipamerkan di
medsos. Ternyata, kasus semacam ini bukan pertama kali dilakukan, menurut
laporan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), sejak 2005 angka
yang cukup menarik 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia.
Walaupun banyak dari berbagai kalangan yang mengingatkan haramnya menikah beda agama, tak dipungkiri banyak sekali dalih yang mereka lontarkan. Ada yang menyatakan semestinya perbedaan agama janganlah menjadi penghalang cinta dan pernikahan. Bahkan ada yang mengatakan hukum pernikahan seorang Muslimah dengan pria non-Muslim adalah khilafiyah di kalangan ulama.
Namun, apakah benar seperti itu? Sebenarnya sudah tuntas dibahas oleh para ulama tentang pernikahan Muslimah dengan lelaki kafir. Dasar hukum pernikahan beda agama pun jelas disebutkan dalam firman Allah SWT Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 221 yang artinya, “Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh budak wanita yang beriman lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian.”
Juga berdasarkan firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang perempuan-perempuan yang beriman berhijrah kepada kalian, hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka” (TQS al-Mumtahanah: 10).
Sebelum ayat tersebut turun kepada kaum Muslim, waktu itu memang diizinkan untuk menikah dengan orang-orang kafir, seperti putri Rasulullah Ruqayyah dan Ummu Kultsum menikah dengan putra-putra Abu Lahab yang merupakan golongan musyrik. Namun, setelah ayat-ayat di atas turun, Islam mengharamkan pernikahan wanita Muslimah dengan lelaki kafir, baik dari golongan ahlul kitab Nasrani, Yahudi dan golongan orang musyrikin.
Maka dari itu pernikahan seorang Muslimah dengan lelaki kafir jelas batil, dan tidak sah menurut syariah. Status hubungan mereka bukan pasangan suami-istri dalam pernikahan, tapi perzinaan. Ketika statusnya zina, akan berdampak pada status anak yang dilahirkan. Nasab anak mereka nanti bernasab pada ibunya saja.
Islam hanya mengakui nasab anak kepada ayah yang lahir dalam ikatan pernikahan yang sah yaitu satu agama yaitu Islam (Muslim). Seorang pria kafir tidak halal menjadi wali untuk anak-anak perempuan mereka kelak. Ia pun tidak saling mewarisi harta kepada istri maupun anak-anaknya. Nabi SAW bersabda: “Muslim tidak bisa mewarisi orang kafir dan orang kafir pun tidak bisa mewarisi Muslim” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Namun, saat ini begitu beraninya saat ini orang menampilkan pernikahan beda agama. Itulah bagian dari propaganda ajaran liberalisasi beragama yang tumbuh subur di dunia sekularisme-demokrasi (agama harus dipisahkan dari kehidupan, termasuk dalam urusan pernikahan) dan itu dianggap hanyalah urusan pribadi. Dalam sistem demokrasi sekuler, warga diberikan kebebasan berpendapat dan berperilaku, tidak peduli halal atau haram.
Selama pemahaman sekularisme dan ajaran demokrasi dianut oleh kaum Muslim, praktik pernikahan beda agama akan terus berjalan. Tidak ada yang mencegah mereka meskipun nikah beda agama dinyatakan melanggar undang-undang.
Maka, hanya dalam sistem Islam dapat melindungi akidah seorang Muslim. Karena negara dalam Islam wajib mendidik dan melindungi umat dari pemahaman yang keliru, seperti nikah beda agama. Negara wajib mencegah pernikahan batil tersebut dan akan memberikan hukuman kepada para pelakunya, juga pihak-pihak yang terkait.
Karena itu memberikan pencegahan menikah beda agama agar dapat melindungi akidah karena orang-orang kafir akan berusaha memengaruhi pasangannya yang Muslim untuk murtad dari Islam. Allah SWT berfirman: “Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Allah menerangkan ayat-ayat (perintah-perintah)-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (TQS al-Baqarah: 221).
Padahal, pernikahan dalam Islam bukanlah sekadar cinta dan kasih sayang, melainkan asas ketaatan pada Allah SWT, lalu bersama menunaikan hak dan kewajiban sesuai ajaran Islam. Pernikahannya pun akan mendapatkan keberkahan serta mewujudkan kehidupan sakinah mawaddah wa rahmah. Andaikan cinta yang jadi tolak ukur baik dan buruk, apalagi jadi ukuran halal dan haram, bisa jadi hubungan yang rusak dan menjijikkan seperti kumpul kebo, homoseksual atau incest dilegalkan. Na’udzubillahi min dzalik. []
Post a Comment